Rasa takut (khauf) selalu ada pada diri manusia. Ia muncul silih berganti dengan perasaan-perasaan lainnya. Meski keberadaannya wajar, namun umumnya manusia selalu berusaha menghilangkan rasa takut.

Bahkan, sebisa mungkin menggantikannya dengan keberanian (saja’ah). Maka, tak berlebihan bila Ibnu Hazm, dalam al-Akhlaq washiyar mengatakan, “Tak ada satu tujuan pun yang dicari manusia dalam hidup ini kecuali untuk menghilangkan perasaan takut dan duka cita.”

Memang, usaha menghilangkan perasaan ini menjadi tujuan inti, bahkan merupakan motif utama yang mendasari seluruh perbuatan dan aktivitas manusia. Orang mencari kekayaan dan harta sebanyak-banyaknya pada hakekatnya berusaha untuk menghilangkan ketakutan dan kemiskinan. Orang mencari popularitas merupakan usaha menolak ketertindasan dan perbudakan. Orang mencari ilmu pengetahuan karena takut akan bodoh dan dungu. Orang mencari kawan karena ingin membuang kesunyian dan keterasingan. Sejarah mencatat bagaimana Qarun tamak menimbun harta, karena takut akan kemiskinaan dan kehilangan harta. Fir’aun la’natullah ‘alaihi, juga takut jabatan dan kekuasaan tercabut dari genggamannya. Maka ia bunuh setiap bayi laki-laki yang lahir.

Tapi, cukupkah manusia dengan rasa takut seperti itu? Tidak. Ia membutuhkan dimensi lain dari rasa takutnya. Yaitu rasa takut ukhrawi. Rasa takut seperti inilah sebenarnya yang bisa mendatangkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Karena ia bermuara pada maghfirah Allah. Begitulah para salafushalih mencontohkan.

Umar bin Abdul Aziz, sewaktu kecil sangat peka dan mudah berurai air mata karena rasa takutnya kepada Allah SWT. Suatu hari, ibunya menjumpai Umar kecil sedang menangis di kamar. Melihat itu, ibunya menghampiri dan merengkuh puteranya ke dalam pelukan. Sang ibunda lalu menanyakan perihal kesedihannya itu. “Tiada sesuatu pun wahai Ibunda, hanya saja ananda takut karena teringat akan mati,” jawab Umar tulus.

Shalih Ibnu Kaisan, seorang ulama besar Madinah (guru dari Umar bin Abdul Aziz), mengisahkan masa kecil Umar. “Saya belum pernah mendengar seseorang yang demikian besar rasa takutnya kepada Allah SWT melebihi Umar.” Sedangkan Fatimah, istri Umar mengatakan, “Ia selalu mengingat Allah meskipun di tempat tidurnya, tubuhnya gemetar laksana seekor burung pipit yang kedingingan karena rasa takutnya. Bahkan aku sering berkata dalam hati, jangan-jangan esok hari, saat semua orang bangun dari tidurnya, mereka telah kehilangan khalifah mereka.” Sementara Ali bin Zaid memberitahukan, Umar bin Abdul Aziz selalu ketakutan seakan-akan neraka itu diciptakan untuk dirinya saja.”

Takut seperti ini akan melahirkan jiwa-jiwa muttaqin. Bukan seperti takutnya manusia kepada sesamanya, binatang atau sesuatu lainnya. Namun takut yang diliputi oleh hati yang khusyu’ dan menerima ketentuan qadar-Nya. Takut kalau dijauhkan rahmat dan barakah-Nya. Seperti ditulis Najati dalam Al-Qur’an wa ‘ilmun nafs, bahwa takut kepada Allah di samping melahirkan sikap muttaqin, juga dapat menghindarkan diri dari bahaya. Sebab, rasa takut membuat orang selalu berfikir dan berhati-hati dalam melangkah, serta mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi.

***

Oleh Taufik