Tiap membicarakan wanita karir, biasanya melintas sosok yang sudah baku dibenak kita. Tubuh tinggi langsing berbalut stelan blazer. Dia memakai rok mini–kadang super mini—membuat hidup kaum lelaki semakin complicated saja. Dia juga bersepatu hak tinggi yang mempermudah datangnya penyakit varises. Warna-warni kosmetiknya begitu semarak dan semerbak. Pokoknya, ilmunya tentang bersolek dan mematut diri tak kalah canggih dari ahli tata rias dan perancang busana.

Tak cukup mendandani fisik, ia juga mematut psikisnya. Cara hidup, cara gaul, cita dan impiannya mencangkok budaya jahiliyah moderniyah. Persis dan tuntas sampai ke akarnya. Tak ada batas muhrim dan non muhrim. Tak ada batas halal dan haram. Semua serba boleh.

Kehidupan karir seperti ini tak lepas dari peran sentral–kafirin, fasiqin, munafiqin—pemilik modal yang kapitalistik. Di tangan mereka terkonsentrasi uang melimpah dengan daya menjajah. Sebagian besar wanita pekerja didikte cara berbusana bahkan sampai berapa cm panjang rok mereka oleh raja-raja uang dan kapten-kapten industri ini. Sayangnya, para wanita ini happy-happy saja meski dijajah, karena ada imbalan uang. Demi uang ini pula ada muslimah yang menanggalkan kerudungnya. “Aku sudah ke sana ke mari melamar kerja, tapi ditolak terus. Terpaksa deh buka kerudung biar gampang cari kerja. Habis, gimana dong, Mbak? (Lho, kok malah ngasih PR ke penulis).

Kalau begitu, jadi wanita karir itu haram, ya? Sebenarnya berkarir itu halal jika berada dalam koridor syar’i. Ada tiga hal yang harus dipenuhi muslimah jika ingin berkarir. Niatnya berkarir halal; caranya berkarir halal; dan tujuannya berkarir halal. Wuih, susah! Memang susah, karena kita berada dalam sistem yang tidak islami. Kita berada di lingkungan orang-orang ngueyeell. “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50).

Ngomong-ngomong, ada nggak sih wanita karir yang tidak dijajah meski menjadi manajer di perusahaan multi nasional? Tidak punya stelan blazer, malah berbusana muslimah gombrong. Tidak punya berbagai sepatu hak tinggi, malah cuma memakai sepasang sepatu bertahun-tahun. Tidak memiliki emas perhiasan se-gram pun, malah gajinya yang jutaan diinfaqkan. Tidak dipoles kosmetik, tapi natural, apa adanya. Tidak mencangklong tas kerja trendy, malah membawa dompet kecil saja.

Alhamdulillah ada. Dan semoga semakin banyak muslimah yang bisa semerdeka dia. Wanita karir ini berprinsip Hasbunallahu wani’mal wakil. Dan tentu saja tidak cengeng. Allah tidak akan menolong hambaNya yang ongkang-ongkang. Tidak ada jihad tanpa kerja keras lahir batin.

Sungguh, dia tidak dijajah bosnya yang orang Hong Kong. Dia merdeka dengan karirnya sebagai seorang muslimah. Sang Bos sangat menghargai cara hidupnya sebagai muslimah. Tidak bersalaman dengan lelaki non muhrim meskipun dia presiden direktur. Tidak mengucapkan selamat natal meskipun sehari-hari bertemu. Tidak menghadiri ulang tahun meskipun sudah disediakan meja khusus di restoran terkenal. Tidak datang ketika dijamu di klub karaoke terkenal di Jakarta Barat.

Ini kisah nyatanya….

Baru setahun lebih menikah dengan seorang ustadz, suaminya dipenjara rezim Orde Baru karena ceramah agama di Tanjung Priok (lebih kurang tahun 1986). Wanita ini masih kuliah di FHUI tingkat III ketika itu dan memiliki seorang bayi. Awal suami di penjara, santunan dari keluarga dan teman-teman masih lancar. Lama kelamaan berkurang dan rasa malu membuatnya rikuh meminta-minta. Berhari-hari ia hanya menggenggam uang seribu perak kadang malah cuma cepek. Ia sering mengutang sayur di warung tetangga milik penjaga penjara di Cipinang, Jakarta Timur.

Meski biaya terseok-seok, kuliahnya bisa selesai juga. Saking tak punya uang, biaya wisuda dibayari oleh dosennya, Ibu Chandra Motik. Setelah itu dia mulai melamar kerja. Benar saudara-saudara. Lamarannya ditolak karena cara berbusananya yang tidak fashionable (1988). Dia pantang menyerah karena prinsipnya: Lebih baik mati kelaparan karena berkerudung daripada bekerja tanpa berbusana muslimah. No way buka kerudung!

Alhamdulillah. Hasbunallahu wa ni’mal wakil. Dia diterima bekerja di Yayasan Al-Muslim dengan gaji Rp. 150.000 per bulan. Karena harus sering besuk ke penjara–tentu saja membutuhkan banyak biaya–si ibu berusaha menambah penghasilan. Dia mengajar ngaji karyawati Hotel Mandarin dengan honor Rp. 20.000 per pertemuan. Si ibu sering membawa bocahnya bekerja dan pergi mengajar agar si anak merasakan nikmatnya hidup sebagai muslim dan merasakan jihad. Learning by doing, istilahnya.

Cukup setahun dia pindah kerja ke Yayasan Pembinaan Manajemen dan setelah itu ke perusahaan eksportir rotan ke Eropa. Gajinya Rp. 250.000 per bulan. Dia juga mencari tambahan penghasilan dengan menerima catering makan siang dari kantor sebelah. Petugas pengantar makanan adalah bocah balitanya plus sebagai khadimah. Dia juga berjualan majalah Aku Anak Saleh dengan jumlah ratusan eksemplar. Si bocah balita ikut menjadi pengantar majalah kepada para langganan. Si anak memang selalu terlibat dalam setiap kegiatan ibunya. Subhanallah. Penghasilannya bisa mencapai satu juta rupiah per bulan.

Karena usaha catering mulai goyah lantaran kantor itu mau tutup, si ibu melamar kerja ke kedutaan Amerika. Ada jabatan lowong sebagai asisten Kepala Penerangan Kedutaan AS. Tes demi tes bisa lolos namun tanpa penjelasan rinci, dirinya ditolak begitu saja. Boleh jadi gara-gara jilbab. Nggak ngaruh. No way buka kerudung. Allah memuliakanku dengan dien-Nya. Dan cukuplah itu bagiku.

Tak lama kemudian dia bekerja di perusahaan Taiwan sebagai sekretaris Direktur Pabrik. Gajinya setengah juta rupiah (1991). Dia tetap berjualan majalah dan mengirim artikel ke majalah SABILI sebagai upaya mencari tambahan penghasilan.

Baru dua bulan, manajemen pabrik itu goncang. Dia kemudian melamar kerja di perusahaan garmen eksportir dengan 500 pekerja yang 99 % nya terdiri dari wanita. Pertama wawancara, Sang General Manager “a little bit shock”, karena si ibu menolak bersalaman sebagai tanda perkenalan baku di dunia karir. Alhamdulillah, Allah yang merupakan sentral dari segala sesuatu, menggerakkan hati sang GM. Anda diterima bekerja di pabrik baru kami di Cakung sebagai Kepala Personalia.

Tapi, bagaimana tanggapan para pekerjanya? Alhamdulillah, justru beberapa orang pekerjanya yang beragama lain kembali ke agama fitrah, Islam. Ia sekuat tenaga menerapkan suasana islami di lingkungan pabrik. Tak heran jika kemudian ada beberapa pekerja non muslim dengan suka rela memeluk Islam. Bahkan pekerja non muslim setiap memasuki ruang kerjanya mengucapkan “Assalamu’alaikum. Ibu….”

Jangan dikata pekerja yang mengenakan busana muslimah. Mereka dapat bekerja dengan tenang, meski di pabrik tetangga masih ada yang alergi dengan busana muslimah yang dipakainya. Namun tetap saja semakin banyak pekerja yang menutup auratnya.

***

Dari Sahabat