Minggu, 17 Juni 2012

Oleh-Oleh dari Sidratul Muntaha Shalat Lima Waktu

Apakah oleh-oleh yang dibawa Rasulullah saw sepulang dari Isra’ Mi’raj? Pada umumnya ulama sepakat bahwa beliau membawa ‘oleh-oleh’ perintah shalat 5 waktu. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kumpulan hadits shahihnya, lewat Anas Ibn Malik.

Disana diceritakan bahwa Rasulullah saw pada awalnya menerima perintah shalat 50 waktu, tetapi akhirnya diturunkan sampai 5 waktu, setelah Rasulullah disarankan oleh Nabi Musa untuk mohon keringanan. Maka, akhirnya jadilah perintah shalat itu hanya 5 waktu dalam sehari semalam.

Akan tetapi, apakah yang dimaksudkan dengan perintah ‘shalat 5 waktu’ itu? Di kalangan umat Islam ada beberapa persepsi yang berkembang.

  1. Ada yang berpendapat bahwa saat Mi’raj itulah Rasulullah saw menerima perintah shalat untuk pertama kalinya. Atau dengan kata lain, sebelum itu beliau belum menjalani shalat.
  2. Mirip dengan yang pertama, ada yang berpendapat bahwa dengan Isra’ Mi’raj itu Allah bertujuan untuk memberikan perintah dan mengajarkan ‘tatacara shalat’. Jadi tatacara shalat yang kita lakukan sekarang ini adalah ‘oleh-oleh’ Nabi saat Mi’raj ke Sidratul Muntaha.
  3. Namun, agak berbeda dengan dua pendapat di atas, ada yang mengatakan bahwa perintah shalat dalam peristiwa Isra’ Mi’raj itu hanya terkait dengan jumlah waktunya saja, yaitu 5 waktu : Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Sedangkan tatacara shalatnya sudah turun sebelumnya.
  4. Dan, lebih jauh lagi, ada yang mengemukakan pendapat bahwa peristiwa itu bukan untuk menerima perintah shalat, melainkan untuk menunjukkan tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan Allah kepada Rasulullah saw, yang sedang terhimpit beban berat dalam masa perjuangan beliau. Namun demikian, proses Isra’ dan Mi’raj itu sendiri memberikan pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya shalat yang khusyuk.

Bagi saya, keempat persepsi itu agak rancu. Dan memberikan pengaruh pada kepahaman kita secara mendasar. Karena itu kita harus mendiskusikan secara lebih mendalam. Untuk memahami pendapat-pendapat itu, ada baiknya kita menengok kembali beberapa landasan yang dipakai untuk memahami peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.

Yang pertama adalah hadits yang meriwayatkan peristiwa Isra’Mi’raj. Hadits itu terdapat dalam kumpulan hadits shahih Imam Muslim, yang diceritakan oleh Anas Ibn Malik. Di hadits yang cukup panjang itu diceritakan seluruh kisah perjalanan Nabi Muhammad saw pada malam itu. Dan salah satu informasinya, Rasulullah saw menerima perintah shalat 5 waktu, setelah terjadi ‘tawar-menawar’ dari 50 waktu.

Lepas dari ‘ketidak setujuan’ beberapa kalangan terhadap, proses ‘tawar menawar Eitu, menurut hadits tersebut, akhirnya Rasulullah saw menerima perintah shalat 5 waktu. Di sinilah muncul beberapa persepsi yang agak ‘rancu’.

Misalnya, tentang pendapat ‘apakah benar Rasulullah saw menerima perintah shalat pertama kalinya pada waktu itu’. Kenapa muncul pertanyaan demikian? Karena ada beberapa informasi di dalam hadits maupun Qur’an yang mengatakan bahwa perintah shalat itu sebenarnya diberikan untuk pertama kalinya bukan kepada beliau. Bahkan pada saat perjalanan Isra’ Mi’raj itu pun Rasulullah saw sudah menjalankan shalat di beberapa tempat pemberhentian. Termasuk juga shalat di masjidil Aqsha sebelum berangkat Mi’raj.

Maka, kita memang pantas untuk mempertanyakan, manakah informasi yang harus kita ambil sebagai kesimpulan : Rasullullah saw menerima perintah shalat pada saat Mi’raj di langit ke tujuh, ataukah sebelum itu beliau sudah menjalankan shalat.

Apalagi dalam berbagai ayat Qur’an Allah berfirman bahwa perintah shalat itu memang sudah diberikan sejak zaman Nabi Ibrahim as. Sehingga seluruh keturunan, anak cucu Nabi Ibrahim, juga telah menjalankan shalat. Tentu saja, termasuk Nabi Muhammad saw. Coba cermati ayat-ayat berikut ini.

Dalam beberapa ayat Qur’an disebutkan bahwa perintah shalat itu sebenarnya sudah diwahyukan sejak lama kepada para Nabi dan Rasul sebagai ibadah utama untuk berkomunikasi dengan Allah. Jadi bukan hanya pada saat Rasulullah saw saja shalat itu diperintahkan.

QSAl Anbiyaa’ (21):72 – 73

“Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim), Ishaq dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (dari Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh.”

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah,”

Ayat di atas secara tegas menginformasikan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub telah menerima wahyu untuk mengerjakan shalat (wa iqaamash shalaati). Selain kepada beliau bertiga, Musa ternyata juga sudah memperoleh perintah shalat itu. Hal tersebut diceritakan Allah kepada Nabi Muhammad dalam ayat berikut ini.

QS. Thahaa (20): 13 – 14

“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”

Lebih jauh, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah agar anak keturunan beliau dijadikan Allah sebagai orang-orang yang menjaga shalatnya, dan terus istiqamah untuk menegakkan. Termasuk di dalamnya adalah Nabi Isa as.

QS. Ibrahim (14): 39 – 40

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.”

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku-orang orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.”

QS. Maryam (19): 30 – 31

“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”

Dan yang lebih menarik, Allah memberikan gambaran bahwa cara shalat mereka juga dengan ruku’ dan sujud kepada Allah. Selain itu ditegaskan bahwa mereka tidak menyerikatkan Allah, mensucikan, dan mengagungkan, serta memuji muji KebesaranNya.

QS. Al Hajj (22): 26

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.“

QS. Maryam (19): 58 – 59

“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.

Kalimat ‘menyia-nyiakan shalat’ di bagian terakhir ayat di atas, menunjukkan kepada kita bahwa beliau-beliau adalah hamba-hamba Allah yang sangat taat menegakkan shalat. Karena digambarkan, banyak orang sesudah mereka yang menyia-nyiakan shalat, dan bermalas-malasan dalam mengerjakannya. Maka, lantas turun Rasul baru (sampai Nabi Muhammad saw.) untuk memompa kembali semangat dan ketaatan umat dalam menegakkan shalat.

QS. Al Hajj (22) : 78

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Dan kalau kita cermati ayat di atas, kita bahkan memperoleh informasi bahwa sejak zaman Nabi Ibrahim kita memang sudah disebut sebagai orang Islam. Juga pada zaman Nabi Muhammad, yang menjadi saksi atas keislaman kita. Maka, kita memperoleh perintah untuk mendirikan shalat sebagaimana Nabi Ibrahim juga menjalankan shalat.

Nah, berbagai ayat dan informasi di atas, saya kira memberikan penegasan kepada kita bahwa sebenarnya shalat itu sudah menjadi bagian wahyu-wahyu Allah sejak zaman Rasul-Rasul sebelumnya. Bukan hanya kepada Rasulullah Muhammad saw. Apalagi kalau kita baca hadits ‘shahih dan kuat’ berikut ini :

“Aku didatangi Jibril a.s. pada awal-awal turunnya wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudlu dan shalat”

(HR Imam Hakim – vol. III : 217, Al Baihaqi vol. I : 162, dan Imam Ahmad vol. V : 203, sebagaimana dikutip dalam buku ‘Shalat bersama Nabi Saw’, Hasan Bin ‘Ali as Saqqaf, Yordania, terjemahan oleh Drs Tarmana Ahmad Qosim, Agustus 2003).

Hadits Nabi ini menceritakan, sebenarnya turunnya perintah shalat itu terjadi di awal-awal masa kenabian. Berarti sejak awal masa kenabian beliau, Rasulullah saw memang sudah menjalani shalat. Bukan setelah peristiwa Isra’Mi’raj.

Dan agaknya ini ada kaitannya dengan masa turunnya surat Al Fatihah. Dalam bukunya, ‘Al Fatihah, Membuka Mata Batin dengan Surat Pembuka’, Achmad Chodjim menuturkan bahwa Al Fatihah adalah surat yang diturunkan di awal-awal masa kenabian.

Meskipun ada perbedaan pendapat tentang urutan ke berapa wahyu ini diturunkan, tetapi sebagian besar ulama sepakat bahwa surat Al Fatihah adalah surat yang diturunkan pertamakali secara lengkap 1 surat. Wahyu yang lainnya biasanya diturunkan secara terpotong-potong dalam satu atau beberapa ayat.

Maka, kalau kita amati antara turunnya wahyu Al Fatihah dan datangnya Jibril mengajari shalat kepada Rasulullah saw terdapat pada kurun waktu yang hampir bersamaan. Atau bahkan mungkin saling berkaitan. Hal ini, karena surat Al Fatihah merupakan surat yang wajib dibaca dalam shalat. Rasulullah saw mengatakan, tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al Fatihah.

Dengan adanya berbagai informasi di atas, maka agaknya kita perlu menata kembali kefahaman tentang turunnya perintah shalat pada saat beliau Mi’raj. Khususnya, persepsi yang berkembang di beberapa kalangan Islam selama ini, bahwa shalat untuk pertama kalinya diperintahkan kepada umat Islam pada saat Rasulullah saw Mi’raj.

Persepsi yang kedua, adalah yang berkait dengan ‘tata cara’ shalat. Diskusi kita di atas saya kira telah memberikan gambaran yang berbeda tentang turunnya perintah ‘tatacara’ shalat Rasulullah saw.

Secara umum, kita telah dapat menangkap informasi, dari berbagai ayat di atas, bahwa gerakan-gerakan shalat para Nabi sebelum Rasulullah saw pun sama, yaitu ruku’ dan sujud. Gerakan ruku’ adalah gerakan membungkuk dari posisi berdiri, dan kemudian dilanjutkan dengan bersujud yaitu menyentuhkan dahi kita ke permukaan Bumi.

Memang tidak ada penjelasan yang khusus tentang cara shalatnya umat sebelum Nabi Muhammad. Tetapi secara umum kita melihatnya memiliki dasar-dasar yang sama. Sehingga pada umat nasrani tertentu, di Timur Tengah, pun kita melihat mereka memiliki gerakan yang mirip dengan gerakan shalat umat Islam. Yaitu ada ruku’ dan sujudnya.

Dan, shalat yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita itu berasal dari apa yang diajarkan oleh Jibril kepada beliau. termasuk cara berwudlunya. Praktek shalat telah beliau jalankan, jauh sebelum peristiwa Isra’dan Mi’raj.

Yang menarik, tatacara shalat yang kita lakukan sebagai umat beliau ini adalah hasil penglihatan para sahabat terhadap shalat Rasulullah saw. Dan kemudian diteruskan pada generasi-generasi selanjutnya. Rasulullah saw tidak pernah mengajarkan secara khusus, beliau cuma mengucapkan “shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat E

Maka pada jaman itu, para sahabat selalu mencermati melihat, mendengarkan, dan menirukan bagaimana shalatnya Rasulullah saw. Termasuk saling menceritakan tentang tatacara shalat beliau.

Namun demikian, Rasulullah saw juga mengkoreksi praktek shalat yang dilakukan oleh sahabat. Di antaranya, yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim (diceritakan secara rinci dalam buku ‘Shalat Bersama Nabi Saw’, sebagaimana saya sebutkan di atas).

Digambarkan ada seorang laki-laki masuk masjid, sementara Rasulullah saw berada di bagian lain masjid itu. Rasul melihat laki-laki itu melakukan shalat 2 rakaat. Selesai shalat, laki-laki itu mendekati Nabi dan mengucapkan salam. Rasulullah saw menjawabnya.

Namun, beliau memerintahkan kepada laki-laki itu untuk mengulangi shalatnya: “Kembalilah, ulangi shalatmu, karena sesungguhnya kamu belum shalat”. Maka lelaki itu pun mengulangi shalatnya 2 rakaat. Setelah itu dia mendekat lagi kepada Nabi sambil mengucapkan salam.

Rasul menjawab salamnya, tapi kemudian mengucapkan perintah yang sama : “Kembalilah, ulangi shalatmu, karena kamu sesungguhnya belum shalat.” Maka, lelaki itu pun kembali melakukan shalat, dan setelah itu kembali kepada Rasulullah saw. Tapi lagi-lagi Rasul menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya. Hal itu terjadi sampai tiga kali. Akhirnya, si lelaki ‘menyerah’ kepada Rasul.”

Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, aku tidak dapat melakukan shalat yang lebih baik dari pada ini (maka perlihatkanlah kepadaku) dan ajari aku karena sesungguhnya aku manusia biasa, kadang aku benar dan kadang aku salah. “Maka Rasulullah saw pun mengajari laki-laki tesebut, bagaimana cara shalat yang seharusnya.

Kisah ini, selain menggambarkan kepada kita bahwa Rasulullah saw tidak memberikan pelatihan shalat secara khusus kepada setiap sahabat, tetapi beliau tetap mengkoreksi orang-orang yang tidak melakukan shalatnya secara baik. Bahkan, ada kesan, orang-orang yang tidak menguasai ilmu shalat dengan baik, kualitas shalatnya juga dianggap tidak baik. Sehingga, secara tegas Rasulullah saw mengatakan bahwa dia sebenarnya belum shalat, karena itu perlu mengulanginya.

Kembali kepada tatacara shalat sebelum Rasulullah saw. Memang penulis belum menemukan penjelasan detil tentang perbedaan tatacara shalat Rasulullah saw dengan Rasul sebelumnya. Akan tetapi, secara umum, shalat mereka. memiliki makna yang sama. Apalagi dengan adanya gerakan ruku’ dan sujud.

Sebagaimana saya uraikan di depan, shalat memiliki makna untuk berserah diri kepada Allah, mengagungkanNya, mensucikanNya, dan memuji KebesaranNya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara shalat para Nabi itu. Akan tetapi, dalam bacaan yang diucapkan tentu memiliki perbedaan. Terutama pada Surat Al Fatihah dan syahadat serta shalawat yang dibaca pada saat Tasyahud. Hal ini disebabkan Al Fatihah memang baru turun pada zaman Rasulullah saw, dan syahadat serta. shalawat Nabi terkait langsung dengan beliau. Namun begitu, pada saat tasyahud akhir, kita yang umat Muhammad ini membaca shalawat untuk beliau dengan cara mendoakannya sebagaimana shalawat dan barokah yang dilimpahkan Allah kepada Nabi Ibrahim (dikenal sebagai shalawat lbrahimiyyah).

Hal ini, memberikan penegasan kepada kita bahwa memang ada keterkaitan yang sangat erat antara shalat Muhammad saw dengan shalat Ibrahim a.s. Intinya sama, tapi dengan redaksi yang berbeda.

Dalam buku ‘Shalat Bersama Nabi Saw’ dikatakan bahwa bacaan tasyahud diajarkan secara jelas oleh Rasulullah saw dengan redaksi tertentu. Sedangkan, setelah itu kita diwajibkan membaca shalawat Nabi, dengan redaksi yang lebih longgar. Dan sesudah bacaan shalawat itu kita. disunnahkan untuk berdo’a, menjelang salam.

Bacaan tasyahud akhir.

Attahiyatul mubaarakatush shalawaatuth thayyibaatulillah

Assalaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullaahi

wabarakaatuh assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadilahish

shaalihin Asyhadu anlaa i1aaha ifiallaah wa asyhadu anna

Muhammadarrasulullaah

“Salam sejahtera penuh berkah, dan shalawat (rahmat) yang baik (semuanya) hanya milik Allah. Semoga salam sejahtera ditetapkan kepada engkau wahai Nabi, dan rahmat serta berkah (dari) Allah SWT Dan semoga pula salam sejahtera dilimpahkan kepada kami dan kepada semua hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. E

Bacaan Shalawat:

Allaahumma shalli’alaa Muhammad wa’ala ‘ali Muhammad kamaa shallaita ‘alaa lbraahim wa’alaa ‘ali Ibrahim wa baarik’alaa Muhammad wa’alaa ‘ali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa lbraahim wa ‘alaa ‘ali lbraahim fil ‘alaamfina innaka hamfidum majiid.

“Ya Allah berikanlah shalawat (rahmat) kepada Nabi Muhamad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana telah Engkau berikan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Dan berikanlah berkah kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad sebagaimana telah Engkau berikan berkah kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau di seluruh alam, Maha Terpuji dan Maha Mulia.

Maka dalam hal ‘tatacara’ shalat terkait dengan Isra’ Mi’raj, kita memperoleh ‘tanda-tanda’ atau ‘jejak’ bahwa tidak seluruh tatacara shalat Rasulullah saw yang kita jalankan sekarang ini diturunkan pada zaman Rasulullah saw. Sebagian besar dan pokok ternyata telah diajarkan sejak zaman Nabi Ibrahim. Dan kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantaraan malaikat Jibril.

Perintah untuk mengikuti Nabi Ibrahim itu banyak kita temui di dalam Al Qur’an, di antaranya adalah ayat-ayat di bawah ini.

QS. An Nahl (16): 123

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

QS. An Nisaa’ (4): 125

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”

QS. Ali Imran (3): 95

Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.

QS. Yusuf (12): 38

“Dan aku mengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri (Nya).”

Yang ketiga, persepsi mengenai shalat 5 waktu. Persepsi tentang turunnya perintah shalat 5 waktu pada saat Mi’raj Rasulullah saw lebih menemukan pijakannya, dibandingkan dengan perintah tentang ‘tata cara’ dan ‘perintah shalat pertama kali’ yang telah kita diskusikan di atas.

Perintah shalat 5 waktu itu, telah kita ketahui diceritakan dalam hadits tentang Isra’ Mi’raj yang, kita bahas di atas. Selain itu, perintah tentang waktu-waktu shalat juga difirmankan Allah dalam ayat berikut ini.

QS Al Israa’ (17): 78

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

Dalam tafsir Al Misbah, vol 7 : 525, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut memberikan perintah shalat 5 waktu secara langsung. Yang dimaksud dengan sesudah matahari tergelincir (li duluk asy syams) adalah shalat Dhuhur, Ashar dan Maghrib. Sedangkan yang dimaksud sampai gelap malam (ilaa ghasaq al lail) adalah shalat lsya’. Dan shalat subuh diistilahkan sebagai Qur-aan al fajr.

Menurut Quraish Shihab, penempatan perintah shalat 5 waktu dalam surat al Israa’ ini sangatlah tepat, karena berkait langsung dengan cerita Isra’ Mi’raj yang membawa ‘oleh-oleh’ perintah shalat 5 waktu. Meskipun kita tidak menemukan penjelasan yang eksplisit dalam firman Allah bahwa perintah shalat 5 waktu itu diterima oleh Rasulullah saw pada saat Mi’raj di langit ke tujuh.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa turunnya surat al Israa’ ini memang terjadi sebelum peristiwa Hijrah. Artinya, turun di Mekkah di sekitar peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut.

Jadi dalam persepsi ini dikatakan, bahwa sebenarnya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini Rasulullah saw memang tidak menerima perintah menjalankan shalat. Atau juga tidak diajari tata cara shalat. Rasulullah cuma menerima perintah, yaitu umat Muhammad mesti menjalankan shalat 5 waktu dalam sehari semalam. Akan tetapi mengenai tatacaranya sudah diterima oleh Rasulullah saw di awal-awal masa kenabian beliau dari malaikat Jibril. Bahkan beliau sudah menjalankannya.

Persepsi yang ke empat, adalah pendapat yang mengatakan bahwa perjalanan Isra’Mi’raj itu bukan bertujuan menerima perintah shalat. Melainkan sebuah perjalanan yang dimaksudkan Allah untuk ‘memompa’ semangat Rasulullah saw dalam memperjuangkan penyampaian risalah Islam. Karena pada waktu itu Rasulullah saw memang sedang mengalami keprihatinan yang sangat mendalam, akibat Lantas Allah menunjukkan tanda-tanda KebesaranNya di alam semesta kepada Rasulullah saw, dengan maksud membesarkan hati beliau. Sekaligus memberikan keyakinan yang lebih besar tentang kekuasaanNya. Sedangkan perintah shalat 5 waktu, menurut persepsi ini, diterima beliau lewat wahyu seperti biasanya. Termasuk perintah shalat yang terdapat pada QS. Al lsraa’ (17) : 78 tersebut.

Pendapat ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam QS. Al Israa’ (17): 1, yang bercerita tentang perjalanan Isra’, maupun QS. An Najm (53): 14-18 yang dijadikan dasar pijakan cerita Mi’raj. Kedua-duanya tidak menyinggung perintah shalat, melainkan bertujuan ‘mempertontonkan’ kebesaran Allah di alam semesta. Mulai dari langit pertama sampai ke tujuh, di Sidratul Muntaha.

Apalagi kalau kita ingat bahwa ternyata masjid al-Haram dan masjd al Aqsha tersebut adalah dua masjid yang dibangun oleh Nabi Ibrahim, dalam masa perjuangan beliau menyebarkan agama Islam. Maka, dalam konteks ini, Rasulullah saw diutus untuk napak tilas rute perjuangan Nabi Ibrahim itu bersama Jibril. Dimulai dari Mekkah ke Palestina kemudian balik lagi ke Mekkah.

Ini juga ada kaitannya dengan informasi Al Qur’an bahwa rumah ibadah yang tertua memang ada di Mekkah. Sedangkan yang di Palestina (al Aqsha) dibangun oleh Ibrahim sesudah yang di Mekkah. Dalam hadits Bukhari Muslim, yang diriwayatkan oleh Abu Dzar, Rasulullah mengatakan bahwa al Aqsha dibangun sekitar 40 tahun sesudah yang di Mekkah

(Tafsir al Misbah, vol. 7, Quraish Shihab, h1m. 404)

QS. Ali lmran (3): 96

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Barra’ra, katanya : setelah Rasulullah saw, sampai di Madinah, beliau sembahyang menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Beliau ingin supaya diperintahkan menghadap ke Ka’bah. Maka diturunkan oleh Allah ayat “Sesungguhnya telah Kami lihat tengadah mukamu ke langit (berdoa). Sebab itu Kami palingkan mukamu menghadap kiblat yang engkau sukai. (QS. 2: 144). Beliau diperintahkan menghadap ke arah Kabah. Ada seorang laki-laki sembahyang Ashar bersama dengan Nabi saw, kemudian itu dia pergi dan bertemu dengan satu kumpulan kaum Anshar. Lalu dia mengatakan, bahwa dia hadir sembahyang bersama Nabi saw. Dan beliau telah diperintahkan menghadap ke arah Kabah. Lalu orang yang sedang sembahyang itu berputar ketika sedang ruku’ dalam sembahyang Ashar.

Hadits ini bercerita tentang arah kiblat Rasulullah saw sesudah terjadinya Isra’ Mi’raj. Beliau menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan. Akan tetapi, hal itu memunculkan ‘rasan-rasan’ yang kurang mengenakkan hati dari orang-orang Yahudi, bahwa shalatnya umat Islam menghadap ke arah tanah kelahiran mereka. Maka, Rasulullah saw pun berdo’a kepada Allah sambil berharap turunnya perintah tentang arah kiblat. Dan memang lantas turun QS. Al Badarah (2) : 144, sebagaimana diceritakan oleh hadits di atas.

Dengan adanya cerita-cerita di atas, maka kita melihat adanya keterkaitan antara sejarah kedua masjid tersebut, dengan perjuangan penyampaian agama Islam oleh Nabi-Nabi sebelumnya, serta dengan tatacara shalat pada zaman Nabi Muhammad, termasuk penentuan kiblatnya.

Dalam tafsir al Misbah, vol 7, Quraish Shihab, halaman 405 diceritakan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj itu menjadi semacam Isyarat tentang ajaran tauhid yang dibawa para Nabi sejak zaman Ibrahim as sampai Nabi Muhammad saw. Agama Islam dikembangkan dimulai dari Masjid al Haram, kemudian berkembang ke Palestina, berpusat di Baitul Maqdis, dan kemudian berakhir di Masjid al Haram lagi.

Maka, persepsi yang keempat ini lantas memperoleh pijakan yang kuat, berdasarkan firman-firman Allah di dalam al Qur’an. Untuk itu, di bawah ini saya kutipkan lagi kedua surat yang terkait dengan perjalanan tersebut.

QS. Israa’ (17): 1 -Kisah Israa’

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba Nya pada suatu malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (Kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

QS. An Najm (53): 14 – 18 -Kisah Mi’raj

“Di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Surga tempat tinggal. Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Kekuasaan Tuhannya yang paling besar”

Kalau kita mencoba mencermati kembali QS. lsraa’(17): 1, maka kita tidak memperoleh sedikit pun tentang perintah shalat. Padahal itulah satu-satunya ayat yang menceritakan perjalanan Rasulullah saw dari Mekkah ke Palestina. Bahkan, dengan sangat gamblang Allah menginformasikan di ayat itu, “agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (Kebesaran) Kami.” (linuriyahu min aayaatinaa). Jadi menurut ayat tersebut, tujuan Allah memperjalankan Rasulullah saw dari Mekkah ke Palestina adalah untuk menunjukkan tanda-tanda Kebesaran Allah di alam semesta.

Demikian pula, kalau kita lihat ayat-ayat di surat An Najm: 14-18, yang menggambarkan kejadian Mi’raj. Ayat-ayat inilah yang dijadikan pijakan oleh para ulama untuk memahami peristiwa Mi’raj Rasulullah saw. Dan sekali lagi ayat-ayat tersebut tidak menceritakan tentang perintah shalat. Melainkan, untuk menunjukkan betapa hebatnya ciptaan Allah yang telah dipertontonkanNya kepada Rasulullah di langit yang ke tujuh.

“Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda Kekuasaan Tuhannya yang paling besar” (laqad ra-aa min aayaati rabbihil qubraa).

Tentang kejadian Isra’ Mi’raj ini, ada ulama yang berpendapat bahwa keduanya terjadi dalam satu paket perjalanan, sebagaimana digambarkan oleh hadits Shahih Muslim, dari Anas Ibn Malik. Namun ada juga yang berpendapat bahwa antara Isra’ dan Mi’raj sebenarnya terjadi dalam waktu yang berbeda. Alasan pendapat yang kedua ini didasarkan pada ayat-ayat yang digunakan Allah untuk menceritakan Isra’ Mi’raj itu adalah ayat yang berbeda. dan turun dalam masa yang berbeda pula.

Namun demikian, dalam konteks pembahasan turunnya shalat, kedua-duanya tidak menceritakan tentang perintah shalat. Melainkan bertujuan untuk menunjukkan Kekuasaan dan Kebesaran Allah di alam semesta. Sedangkan perintan shalat diberikan Allah lewat wahyu-wahyu seperti biasanya. Dan tata cara shalatnya diajarkan oleh Jibril di awal-awal masa kenabian beliau.

Berikut ini adalah sebagian dari puluhan perintah shalat yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah saw.

QS. Al Baqarah (2): 43

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.”

QS. Al Baqarah (2): 45

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”

QS. Al Baqarah (2): 110

Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.

QS. Al Baqarah (2): 153

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

QS. Al Baqarah (2): 238

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.

QS. An Nisaa’ (4): 43

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, hingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

QS. An Nisaa’ (4): 103

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

QS. Al Maa-idah (5): 6

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, danjika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

QS. Ibrahim (14): 31

“Katakanlah kepada hamba-hamba Ku yang telah beriman. Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang terangan sebelum datang harrii (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan”

QS. Al Hijr (15): 98

maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat).

QS. Al Israa’ (17): 78

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

QS. Thaahaa (20):14

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.

QS. Thaahaa (20): 132

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.

QSAl ‘Ankabuut (29): 45

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Lebih jelas lagi soal datangnya perintah shalat itu, kalau kita membaca ayat-ayat di dalam surat Al Muzammil (73) : 1 – 9. Ayat-ayat ini adalah wahyu di awal-awal masa kenabian. Bahkan ini adalah wahyu kedua setelah turunnya surat Al ‘Alaq. Ya, di wahyu kedua itu Allah sudah memerintahkan kepada Nabi untuk melakukan shalat.

QS. Al Muzammil (73):1 – 9

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada Nya dengan penuh ketekunan. (Dia lah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.”

Di ayat-ayat tersebut Allah telah memerintahkan Nabi untuk melakukan shalat malam, secara khusyu’, sebagai persiapan untuk menerima wahyu-wahyu berikutnya yang sangat berat. Ini menunjukkan kepada kita bahwa perintah shalat itu memang sudah turun sejak awal masa kenabian beliau. Dan ini sesuai dengan hadits Nabi yang mengatakan bahwa Jibril datang kepada beliau untuk mengajarkan tatacara wudlu dan tatacara shalat di awal-awal masa kenabian.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat di dalam al Qur’an yang memerintahkan untuk menjalankan ibadah shalat. Jumlah ayat tentang shalat tersebut ada puluhan. Mulai dari yang mengandung perintah mengerjakan, waktu pelaksanaannya, cara mencapai kekhusyukan, sampai perintah agar kita paham apa yang kita baca di dalam shalat. Semuanya telah difirmankan Allah dengan jelas.

Yang belum jelas di dalam al Qur’an adalah tentang tatacara shalat itu sendiri. Nah, untuk itu Rasulullah saw mengatakan kepada umatnya agar melihat dan menirukan tatacara shalat yang beliau lakukan sepanjang hidupnya. Dan, tatacara shalat itu langsung kita praktekkan secara turun temurun sejak dulu sampai sekarang. Itulahtatacara shalat yang diajarkan oleh malaikat Jibril kepada beliau.

Kembali kepada pembahasan kita tentang persepsi ke empat. Dengan demikian mereka berpendapat, bahwa perintah shalat itu sebenarnya disampaikan Allah kepada Rasulullah saw lewat firman dalam berbagai ayatNya. Termasuk yang berkait dengan waktu-waktu pelaksanaannya, mulai Subuh sampai Isya’.

Jadi shalat 5 waktu itu pun diperintahkan Allah lewat wahyu sebagaimana wahyu yang lain. Bukan lewat Isra’ dan Mi’raj. Kenapa demikian? Karena ternyata perintah shalat 5 waktu itu bisa kita temukan dalam al Qur’an, diantaranya adalah QS. An Nisaa’: 103 dan QS. Israa: 78.

Perjalanan Isra’ Mi’raj, lantas dimaknai sebagai perjalanan yang memberikan penegasan terhadap Kebesaran Allah di alam semesta, kepada Rasulullah saw. Karena itu, selama dalam perjalanan tersebut diperlihatkan seluruh petilasan agama-agama tauhid yang diperjuangkan oleh para Rasul sebelum beliau. Sehingga dikabarkan juga, beliau berhenti di beberapa tempat petilasan para Rasul terdahulu. Dan disana beliau melakukan shalat 2 rakaat. Hal ini untuk, memberikan motivasi yang besar kepada Rasulullah saw bahwa para Nabi terdahulu juga mengalami perjuangan yang berat. Ltulah ‘pesan’ yang ada pada perjalanan Isra’ dari Mekkah, ke Palestina.

Sedangkan perjalanan Mi’raj ke langit ke tujuh adalah perjalanan spiritual melintasi berbagai dimensi yang menghasilkan pelajaran kekhusyukan dalam shalat. Hal ini, telah saya uraikan di bagian terdahulu tentang Mi’raj Rasulullah saw menembus berbagai batas langit. Dimana kekhusyukan beliau itu telah memberikan penglihatan-penglihatan yang menakjubkan di setiap perpindahan dimensi.

Leave a Reply

 
 

Blog Archive

Daftar Blog Saya

Blogger news