Senin, 19 Maret 2012

TEXSTUR SEDIMEN PART 2 BENTUK DAN KEBUNDARAN

Bentuk (shape) dan kebundaran (roundness) pasir dan gravel sejak lama digunakan untuk mengungkapkan sejarah endapan dimana partikel itu berada. Bentuk khas dari kerikil yang terbentuk oleh aksi es dan angin telah lama diketahui. Efek agen-agen lain tidak terlalu jelas dan menjadi bahan perdebatan hangat. Apakah kerikil gisik lebih pipih dibanding kerikil sungai? Apakah angin menyebabkan pembundaran partikel pasir lebih efektif dibanding air? Berapa limit besar butir minimal, jika ada, yang bentuknya dapat dipengaruhi oleh aliran air? Apakah partikel kuarsa dapat mengalami pembundaran yang efektif dalam satu daur sedimentasi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih belum mendapatkan jawaban konklusif. Padahal, jawaban konklusif itu akan membantu kita dalam menafsirkan sejarah geologi suatu sedimen.

3.2.1 Bentuk

Bentuk sebuah benda dapat digolongkan dengan banyak cara. Para ahli geometri telah mendefinisikan bentuk-bentuk reguler seperti kubus, prisma, bola, silinder, dan kerucut. Demikian pula, para ahli kristalografi telah mendefinisikan berbagai bentuk kristal. Tidak satupun diantara kedua sistem klasifikasi itu sesuai untuk diterapkan pada partikel sedimen. Bentuk partikel sedimen paling banter hanya mendekati bentuk geometris. Istilah-istilah yang digunakan untuk menyatakan kemiripan suatu partikel sedimen dengan benda geometris—misalnya prismoid, bipiramid (bipyramidal), piramid (pyramidal), membaji (wedge-shape), atau tabuler-sejajar (parallel-tabular)—memang dapat dipakai (Wentworth, 1936a). Namun, penggolongan seperti itu tidak saja kualitatif sifatnya, namun juga tidak memiliki kaitan dengan sifat dinamis benda-benda itu selama terangkut. Karena itu, kita memerlukan adanya suatu indeks bentuk yang memungkinkan dilakukannya analisis matematis atau analisis grafis sedemikian rupa sehingga kita akan dapat merekonstruksikan kurva frekuensi distribusi bentuk partikel.

Bentuk-bentuk tertentu tidak dapat dinyatakan dengan bilangan sederhana. Sebagai contoh, kristal euhedra dari beberapa mineral berat dan bentuk kurvatur khas dari fragmen gelas vulkanik sukar untuk dinyatakan secara numerik. Bentuk khas dari wind-faceted stone—seperti einkanter dan dreikanter (Bryan, 1931; Whitney & Dietrich, 1973)—broken rounds (Bretz, 1929), serta flat-iron form dari glacial cobble (Von Engelen, 1930) tidak dapat direduksi ke dalam satu angka tunggal. Walau demikian, untuk alasan yang telah dikemukakan di atas, suatu indeks numerik atau indeks kuantitatif sangat bermanfaat apabila digunakan dalam analisis bentuk partikel dan banyak usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk menemukan indeks seperti itu.

Salah satu ancangan yang digunakan adalah memilih suatu rujukan baku. Rujukan yang biasa digunakan adalah sebuah bola. Bola dipilih sebagai rujukan karena: (1) bola merupakan bentuk akhir yang akan dicapai oleh banyak fragmen batuan dan mineral yang terabrasi pada jangka panjang; dan (2) bola memiliki beberapa sifat unik. Diantara semua bentuk geometris yang volumenya sama, bola memiliki luas permukaan yang paling kecil. Karena itu, dibanding benda-benda lain yang volume dan densitasnya sama, bola memiliki settling velocity tertinggi ketika mengendap melalui suatu fluida (Krumbein, 1942b). Lihat gambar 3-17. Karena itu pula, di bawah kondisi pengangkutan suspensional, partikel yang membundar cenderung untuk terpisah dari partikel lain yang tidak berbentuk bola, meskipun densitas dan volumenya sama.

Idealnya, kebolaan (sphericity) suatu partikel didefinisikan sebagai s/S, dimana s adalah luas permukaan suatu bola yang volumenya sama dengan partikel, sedangkan S adalah luas permukaan aktual dari partikel itu. Untuk partikel berbentuk bola, maka s/S akan berharga 1,0. Partikel lain yang tidak berbentuk bola akan memiliki nilai s/S yang lebih kecil dari 1,0. Karena kita akan menemukan kesukaran untuk menentukan luas permukaan partikel sedimen yang pada umumnya berukuran kecil dan tidak beraturan, maka nilai kebolaan suatu partikel dapat didekati dari nilai dn/Ds, dimana dn adalah diameter sebuah bola yang volumenya sama dengan partikel, sedangkan Ds adalah diameter suatu bola imajiner yang dapat melingkupi partikel itu (umumnya merupakan nilai diameter terpanjang dari partikel itu) (Wadell, 1935).

Dalam suatu sampel pasir atau gravel, setiap partikel akan memiliki nilai kebolaan tersendiri. Walau demikian, sebagian partikel itu akan berbentuk seperti cakram (salah satu sumbunya pendek, sedangkan dua sumbu yang lain lebih kurang sama). Partikel lain mungkin berbentuk seperti batang (salah satu sumbunya panjang, sedangkan dua sumbu yang lain lebih kurang sama). Kedua bentuk itu akan memiliki nilai kebolaan yang rendah. Namun, indeks kebolaan seperti yang telah dijelaskan di atas tidak mampu membedakan kedua bentuk tersebut. Padahal, pembedaan antara kedua bentuk itu sangat penting artinya dalam penelitian tertentu, misalnya saja penelitian kemas gravel.

Hal itulah yang kemudian mendorong sejumlah ahli untuk mengajukan indeks kebolaan lain. Semua indeks itu melibatkan pendefinisian dan pengukuran beberapa “diameter” partikel dan pemilihan satu atau lebih nisbah untuk mengungkapkan bentuk. Zingg (1935) menggunakan nisbah b/a dan c/b (dimana a, b, dan c berturut-turut panjang, lebar, dan tebal partikel) untuk mendefinisikan empat kategori bentuk (gambar 3-18 dan tabel 3-8). Kategori-kategori itu—oblate, prolate, triaxial, dan equi-axial—dan hubungannya dengan indeks kebolaan Wadell diperlihatkan pada gambar 3-19.

Sebagian ahli juga mengusulkan ukuran lain, misalnya kepipihan (flatness) dan kepanjangan (elongation). Sebagian besar ukuran itu dikaji ulang oleh Konzewitsch (1961), Köster (1964), Flemming (1965), Humbert (1968), dan Carver (1971). Sneed & Folk (1958) mengusulkan suatu ancangan yang merupakan hasil penyempurnaan dari ancangan Zingg-Wadell dan mendefinisi-kan indeks proyeksi kebolaan maksimum (maximum projection sphericity index) (c2a–1b–2)1/3 yang mereka lihat berkorelasi lebih baik dengan settling velocity dibanding kebolaan operasional yang dikemukakan oleh Wadell.

Kesulitan-kesulitan praktis muncul pada semua metoda pengukuran dan pengungkapan hasil-hasil pengukuran itu. Semua metoda tersebut di atas melibatkan pengukuran yang hanya dapat dilakukan pada kerikil yang bebas matriks dan sukar atau tidak mungkin diterapkan pada pasir atau pada gravel dan pasir yang telah terlifitikasi. Walau demikian, kita tetap perlu mem-pelajari proses-proses menyebabkan munculnya bentuk partikel serta arti geologinya.

Apa yang dapat kita katakan mengenai kebenaan geologi dari bentuk partikel pasir atau gravel? Partikel kuarsa yang ada dalam suatu endapan pasir memiliki bentuk yang beragam. Pada umumnya partikel itu cenderung membundar. Walau demikian, dalam pasir yang paling matang sekalipun, partikel kuarsa terlihat agak memanjang, dimana nisbah sumbu panjang terhadap sumbu pendek berkisar mulai dari 1,0 hingga 2,5, dengan nilai rata-rata mendekati 1,5. Wayland (1939) menunjukkan adanya kecenderungan pemanjangan kuarsa detritus pada arah sumbu-c. Hal itu dinisbahkannya pada abrasi yang tidak seragam dan pada perbedaaan kekerasan pada arah kristalografi yang berbeda-beda. Walau demikian, Ingerson & Ramisch (1942) melihat bahwa partikel kuarsa yang berasal dari batuan beku dan batuan metamorf, bahkan granit, cenderung memanjang pada arah yang sejajar dengan sumbu-c (gambar 3-20). Dengan demikian, pemanjangan partikel kuarsa itu terutama ditentukan oleh bentuk asalnya. Bloss (1957) dan Moss (1966) memperlihatkan secara eksperimental bahwa kuarsa memiliki belahan prismatik dan belahan rhombohedra yang lemah sehingga partikel yang terbentuk akibat pemecahan kuarsa cenderung untuk memanjang pada arah yang sejajar dengan sumbu-c atau membentuk sudut dengan sumbu-c. Hal senada dikemukakan pula oleh Turnau-Morawska (1955). Dengan demikian, bentuk kuarsa detritus terutama dapat dinisbahkan pada bidang pertumbuhan atau pecahan asal. Diasumsikan bahwa kuarsa dari batuan metamorf memiliki bentuk asal yang lebih memanjang dibanding kuarsa yang berasal dari batuan beku (Krynine, 1946) dan bahwa perbedaan itu memungkinkan setiap orang untuk membedakan kuarsa yang berasal dari kedua batuan sumber itu (Bokman, 1952). Penelitian-penelitian yang dilakukan kemudian (Blatt & Christie, 1963) tidak mendukung asumsi itu.

Secara umum diyakini pula bahwa bentuk kerikil terutama ditentukan oleh bentuk asal partikel itu. Dalam beberapa kasus, bentuk asal partikel itu sendiri dikontrol oleh struktur batuan asalnya. Walau demikian, tidak diragukan lagi bahwa beberapa agen geologi menyebabkan terubahnya bentuk kerikil dan meninggalkan jejaknya dalam partikel itu seperti pada kasus eolian sandblast. Apakah kesimpulan di atas dapat diterapkan pada gravel gisik dimana, menurut beberapa peneliti, swash cenderung menghasilkan kerikil yang lebih pipih dibanding aksi sungai? Pendapat terakhir ini didukung oleh hasil-hasil penelitian Landon (1930), Cailleux (1945), Lenk-Chevitch (1959), serta Dobkins & Folk (1970). Walau demikian, pendapat itu ditentang oleh Gregory (1915), Wentworth (1922b), Kuenen (1964), dan Grogan (1945). Lihat gambar 3-21 dan 3-22. Berdasarkan hasil-hasil penelitian eksperimental dan lapangan, banyak ahli berpendapat bahwa penghancuran mekanis pada gisik tidak banyak mem-pengaruhi kepipihan gravel (Kuenen, 1964). Walau demikian, sebagaimana dikemukakan sendiri oleh Landon (1930), mungkin saja gravel terpilah sedemikian rupa sehingga gravel pipih cenderung untuk terakumulasi pada gisik. Hingga tingkat tertentu pendapat itu didukung oleh hasil-hasil penelitian Humbert (1968) yang menemukan bahwa kerikil pipih bermigrasi downbeach, sedangkan partikel yang lebih membundar tertinggal di belakang. Hal itu tidak mengandung pengertian bahwa kebolaan tidak terubah oleh abrasi. Namun, sebagian besar hasil penelitian yang diterbitkan selama ini—seperti karya Russell & Taylor (1937a), Plumley (1948), Sneed & Folk (1958), Humbert (1968), Unrug (1957), dan Dal Cin (1967)—menunjukkan bahwa pengubahan bentuk itu relatif kecil dan fakta yang memperlihatkan seolah-olah terjadi perubahan bentuk ke arah hilir mungkin disebabkan oleh pemilahan bentuk, bukan akibat perubahan bentuk. Walau demikian, Dobkins & Folk (1970), yang mempelajari dan meng-ukur kebolaan dan kebundaran sejumlah besar kerikl yang ada di sungai-sungai dan pantai Tahiti, menemukan fakta bahwa kerikil gisik memiliki kebundaran yang lebih tinggi, memiliki kebolaan yang lebih rendah, dan jelas lebih oblate dibanding kerikil sungai, meskipun material yang diangkut oleh arus pantai dan arus sungai itu memiliki komposisi yang sama.

Kesimpulan-kesimpulan di atas menunjukkan bahwa bentuk mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam proses sedimentasi dan dalam menentukan tanggapan partikel terhadap aliran. Krumbein (1942b) serta Sneed & Folk (1958) menemu-kan adanya korelasi yang baik antara indeks kebolaan atau indeks bentuk dengan settling velocity (gambar 3-17). Berbagai penelitian eksperimental oleh Briggs dkk (1962) menunjukkan bahwa kebolaan memegang peranan yang sama pentingnya dengan berat jenis dalam mempengaruhi settling velocity berbagai spesies mineral berat. Selain itu, tanggapan yang diberikan oleh partikel pasir atau gravel terhadap aliran sangat dipengaruh oleh bentuk partikel itu. Menurut definisinya, partikel ekuidimensional tidak memiliki pengarahan; partikel berbentuk cakram pipih diasumsikan memiliki imbrikasi yang jelas; partikel memanjang memberikan tanggapan yang lain lagi (lihat bagian 3.4.5).

3.2.2 Kebundaran

Kebundaran berkaitan dengan ketajaman tepi atau sudut suatu fragmen klastika; kebundaran tidak berkaitan dengan kebola-an. Beberapa bentuk geometris yang sudut-sudutnya 90o—kubus, prisma, balok, dsb (gambar 3-18)—memiliki sudut-sudut yang tajam sehingga jari-jari kurvaturnya berharga nol. Walau demikian, kita tahu bahwa bentuk benda-benda itu berbeda sama sekali. Istilah kebundaran digunakan secara keliru dalam literatur sebagai sinonim dari bentuk (Russell & Taylor, 1937a). Per-bedaan antara kedua istilah itu sangat mendasar dan hendaknya dicamkan dengan baik dan benar. Kebundaran pertama kali di-definisikan dengan jelas oleh Wentworth (1919) sebagai ri/R, dimana ri adalah jari-jari kurvatur tepi partikel yang paling runcing, sedangkan R adalah setengah diameter terpanjang dari partikel. Wadell (1932) mendefinisikan kebundaran sebagai nisbah radius rata-rata dari kurvatur beberapa tepi partikel terhadap radius kurvatur maksimum yang dapat ditutupi oleh partikel. Karena definisi-definisi itu sukar diterapkan, akan lebih mudah untuk bekerja dengan gambar dua dimensi, yakni penampang melintang atau proyeksi partikel, bukan partikel itu sendiri yang merupakan benda tiga dimensi. Pada kasus itu, kebundaran didefinisikan sebagai radius rata-rata kurvatur sudut-sudut penampang melintang partikel dibagi dengan lingkaran terbesar yang dapat diletakkan dalam penampang partikel itu (gambar 3-23). Definisi yang disebut terakhir ini dapat dinyakan dengan persamaan:

clip_image002

dimana: ri adalah individu-individu radius lingkaran yang sisinya berimpit dengan sudut partikel.

R adalah jari-jari lingkaran maksimum yang dapat ditutupi oleh partikel.

N adalah jumlah lingkaran yang sisinya berimpit dengan sudut partikel.

Dengan definisi seperti itu, sebuah bola akan memiliki kebundaran 1,0. Selain itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bola juga akan memiliki kebolaan 1,0. Benda lain yang tidak berbentuk bola juga dapat memiliki kebundaran 1,0, misalnya saja benda berbentuk kapsul yang pada hakekatnya merupakan sebuah silinder yang ujung-ujungnya berupa setengah bola. Berbagai bentuk modifikasi dari definisi kebundaran yang telah disebutkan di atas diajukan oleh peneliti lain. Masalah itu telah dikaji ulang oleh Köster (1964), Humbert (1968), dan Pryor (1971).

Seperti telah dikemukakan di atas, istilah kebundaran selama ini digunakan agak serampangan. Demikian pula dengan istilah membundar (rounded), membundar tanggung (subrounded), menyudut tanggung (subangular), dan menyudut (angular). Agar pengertiannya menjadi lebih cermat, istilah-istilah itu akan didefinisikan kembali secara kuantitatif di sini. Hal itu terutama dilakukan dengan merujuk pada nilai-nilai kebundaran yang dulu diajukan oleh Wadell (Russell & Taylor, 1937b; Folk, 1955). Kelas-kelas kebundaran (tabel 3-9) tidak memiliki kisaran yang sama. Hal itu dilakukan karena kita biasanya sukar untuk membedakan partikel-partikel yang relatif membundar, apabila perbedaan kebundaran antara partikel-partikel itu relatif kecil. Di lain pihak, kita biasanya dapat membedakan partikel-partikel yang relatif menyudut, meskipun perbedaan kebundaran antara partikel-partikel itu relatif kecil. Dengan pemikiran seperti itu, Pettijohn mendefinisikan kembali limit-limit kelas kebundaran sedemikian rupa sehingga nilai tengah dari kelas-kelas kebundaran itu bersifat geometris. Powers (1953) mendefinisikan dan menamakan enam skala kebundaran sedemikian rupa sehingga limit-limit kelas kebundaran itu mendekati skala geometris dengan nisbah √2. Limit-limit kelas kebundaran itu kemudian diberi nilai r oleh Folk (1955) dengan cara yang mirip dengan cara Krumbein (1938) dalam memberikan nilai f untuk menyatakan besar butir.

Skala kebundaran Pettijohn (tabel 3-9 dan gambar 3-24) adalah sbb:

· Menyudut (angular) (0-0,15): sangat sedikit atau tidak ada jejak penghancuran; sudut dan sisi partikel tajam; sudut sekunder (tonjolan minor dari profil partikel; bukan sudut antar-muka partikel) banyak dan tajam.

· Menyudut tanggung (subangular) (0,15-0,25): sedikit jejak penghancuran; sudut dan tepi partikel hingga tingkat tertentu membundar; banyak terdapat sudut sekunder (10-20), meskipun tidak sebanyak seperti pada partikel menyudut.

· Membundar tanggung (subrounded) (0,25-0,40): jejak penghancuran cukup banyak; sudut dan sisi partikel membundar; jumlah sudut sekunder relatif sedikit (5-10) dan umumnya membundar. Luas permukaan partikel berkurang; sudut-dalam asli, meskipun membundar, masih terlihat jelas.

· Membundar (rounded) (0,40-0,60): Bidang-bidang asli hampir terhancurkan seluruhnya; bidang yang relatif datar masih dapat ditemukan. Sisi dan sudut asli menjadi melengkung dan membentuk kurva yang relatif besar; hanya sedikit ditemukan sudut sekunder (0-5). Pada kebundaran 0,60, semua sudut sekunder hilang. Bentuk asli masih terlihat.

· Sangat bundar (well rounded) (0,60-1,00): tidak ada permukaan, sudut, atau sisi asli; semuanya membentuk lengkungan-lekungan besar; tidak ada bagian yang datar; tidak ada sudut sekunder. Bentuk asli tidak terlihat lagi, namun dapat diperkirakan dari bentuknya yang sekarang.

Apa kebenaan geologi dari kebundaran dan apa manfaat kebundaran dalam menentukan jarak, arah, dan kecepatan per-gerakan partikel sedimen? Dengan diawali oleh Daubrée (1879), banyak peneliti mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut, baik dengan cara melakukan penelitian lapangan maupun penelitian laboratorium. Hasil semua penelitian itu menunjukkan bahwa kebundaran partikel makin tinggi dengan makin jauhnya jarak angkut dan bahwa laju pembundaran partikel pada mula-nya tinggi, namun kemudian menurun (gambar 3-25 dan 3-26). Fakta itu, meskipun telah dinyatakan oleh Daubrée (1879), baru dapat diungkapkan secara kuantitatif oleh Wentworth (1919, 1922a, 1922b). Krumbein (1941b) adalah orang yang pertama kali memformulasikan rumus matematika yang memperlihatkan hubungan antara kebundaran dengan jarak angkut. Dia menyatakan bahwa laju perubahan kebundaran merupakan fungsi dari perbedaan antara kebundaran pada suatu titik dengan limiting roundness. Limiting roundness itu sendiri merupakan sebuah angka yang nilainya tergantung pada beberapa ukuran dari material yang mengalami pembundaran serta pada rezim sungai atau gisik tertentu. Hubungan itu dapat dinyatakan dengan persamaan:

clip_image004

dimana: R adalah kebundaran pada suatu titik.

PL adalah limiting roundness.

k adalah koefisien pembundaran.

x adalah jarak.

Persamaan di atas tampaknya sesuai dengan data percobaan dan data lapangan (Krumbein, 1940, 1942a). Lihat gambar 3-27. Keraguan terhadap kesahihan persamaan itu muncul sejalan dengan diterbitkannya hasil penelitian eksperimental lain, baik yang dilakukan oleh Krumbein (1941b) sendiri, maupun hasil penelitian Plumley (1948) terhadap gravel dalam sungai-sungai di sekitar Black Hills. Proses pembundaran jauh lebih kompleks daripada apa yang tercermin dari persamaan itu. Plumley (1948) menyimpulkan bahwa perubahan kebundaran tidak hanya sebanding dengan perbedaan antara kebundaran pada suatu titik dengan limiting roundness, namun juga dengan pangkat sekian dari jarak angkut.

Baik hasil percobaan dengan menggunakan abrasion mill maupun hasil penelitian pada sungai alami sama-sama menunjukkan bahwa kebundaran bertambah sejalan dengan bertambahnya jarak (waktu) angkut. Selain itu, proses pembundar-an pada mulanya berlangsung cepat, namun kemudian makin lambat. Tampaknya memang ada suatu limiting roundness yang paling tidak sebagian diantaranya berhubungan dengan litologi. Sebagai contoh, nilai limiting roundness rijang lebih rendah dibanding limiting roundness kuarsa atau batugamping (Sneed & Folk, 1958). Selain itu, pembundaran gravel berlangsung cepat. Seberapa jauh suatu partikel gravel harus terangkut agar membundar baik (0,60)? Penelitian-penelitian lapangan dan laboratorium tidak memberikan satu jawaban pasti terhadap pertanyaan itu, namun memberikan nilai pendekatannya. Peng-ubahan suatu kubus menjadi sebuah bola yang diameternya sama mengharuskan hilangnya 47,5% volume atau berat kubus itu. Jadi, mungkin dapat dikatakan bahwa penghilangan berat sebanyak 1/3 hingga ½ bagian akan menyebabkan partikel mencapai kebundaran maksimum; penurunan ukuran pada tahap selanjutnya tidak akan disertai dengan peningkatan kebundaran. Seperti terlihat dalam data yang disajikan oleh Krumbein (1941b), penghilangan sekitar 1/3 bagian berkorespondensi dengan kebundar-an sekitar 0,60 (sangat bundar). Data itu juga menunjukkan bahwa penghilangan berat pada tahap selanjutnya tidak menyebab-kan kebundaran partikel menjadi lebih tinggi. Partikel batugamping yang diteliti oleh Krumbein (1941b) mencapai nilai ke-bundaran 0,60 setelah terangkut sejauh 11,7 km. Apabila kita menggunakan hasil penelitian Daubrée yang menyatakan bahwa suatu partikel granit akan kehilangan 0,001 hingga 0,004 berat per kilometer pengangkutan, maka partikel itu akan sangat bundar setelah terangkut 84–333 km. Meskipun perhitungan itu masih sangat kasar, namun secara umum mungkin benar. Kuenen (1956b), yang melakukan percobaan terhadap pergerakan gravel dalam circular flume, menemukan bahwa batu-gamping menjadi sangat bundar setelah terangkut hingga jarak sekitar 50 km; gabro kehilangan berat sekitar 35–40% setelah terangkut sekitar 140 km. Kuarsa urat memperlihatkan kehilangan berat 0,001 per kilometer jarak angkut dan, oleh karena itu, akan sangat membundar setelah terangkut sekitar 300 km.

Plumley (1948) menemukan fakta bahwa kerikil batugamping pada dua sungai di sekitar Black Hills menjadi sangat bundar (0,60) setelah terangkut sekitar 18 dan 37 km (gambar 3-26). Kerikil kuarsit dalam gravel di daerah Brandwine, Maryland, memiliki kebundaran 0,59 (Schlee, 1957). Singkapan terdekat yang mungkin menjadi sumber kerikil itu terletak sekitar 72 km dari tempat itu. Kuarsa dalam gravel Sungai Colorado, Texas, menjadi sangat bundar setelah terangkut kurang dari 161 km, sedangkan kerikil batugamping di daerah itu telah sangat bundar ketika memasuki sungai utama (Sneed & Folk, 1958). Hasil-hasil penelitian itu didukung oleh Unrug (1957) yang menemukan bahwa kerikil granit mencapai kebundaran maksimum setelah terangkut sekitar 125 km di Sungai Dunajec, Polandia. Hasil-hasil penelitian Dal Cin (1967) di Sungai Piave, Itali, juga mendukung hasil-hasil penelitian Sneed & Folk (1958).

Dengan mengetahui bahwa pembundaran terutama diperoleh pada beberapa kilometer pertama jarak angkut, jelas sudah bahwa gravel menyudut atau menyudut tanggung tidak mungkin terangkut lebih dari beberapa puluh kilometer, atau paling jauh terangkut 16–24 km, oleh sungai. Selain itu, dengan pengecualian untuk bagian proksimal dari suatu endapan gravel, kebundar-an hanya akan memperlihatkan sedikit variasi regional. Hal itu pada gilirannya membatasi manfaat kebundaran gravel sebagai indikator arus purba.

Pembundaran gravel gisik telah banyak diketahui. Walau demikian, untuk kasus gravel gisik, para ahli menemukan lebih banyak kesulitan untuk menghubungkan kebundaran dengan jarak angkut (gambar 3-22). Untuk kasus itu, para ahli hanya dapat menyatakan bahwa sering gravel itu terangkut, makin bundar gravel itu. Sebagaimana gravel sungai, gravel gisik juga tampaknya memiliki limiting roundness tertentu.

Berbeda dengan kasus pembundaran gravel, semua data penelitian lapangan dan laboratorium menunjukkan bahwa pem-bundaran pasir merupakan proses yang sangat lambat. Daubrée (1879) menemukan bahwa butiran-butiran pasir hanya kelihangan 0,0001 bagian per kilometer jarak angkut. Percobaan-percobaan abrasi yang dilakukan oleh Thiel (1940) terhadap butiran-butiran kuarsa berukuran pasir menunjukkan bahwa partikel itu kehilangan 22% setelah terangkut selama 100 jam dalam abrasion mill. Waktu angkut itu diperkirakan setara dengan jarak angkut 5000 mil (sekitar 8333 km). Dengan kata lain, partikel kuarsa itu kehilangan sekitar 0,0001 bagian per mil jarak angkut. Marshall (1927) menunjukkan bahwa partikel berdiameter 2–3 mm mengalami penghilangan 0,005 bagian per mil jarak angkut. Kuenen (1960a), dengan memakai flume (bukan memakai tumbling barrel), menemukan angka penghilangan yang lebih rendah lagi. Kuarsa hanya kehilangan 1% berat setelah terangkut 10.000 km (Kuenen, 1958). Penghilangan itu demikian sedikit sehingga pembundaran yang diakibatkan oleh penghilangan massa itu boleh dikatakan tidak terdeteksi sama sekali. Karena sebagian besar sungai memiliki panjang kurang dari 1000 km, maka dapat disimpulkan bahwa satu kali pengangkutan sungai tidak akan menyebabkan terjadinya pembundaran pada partikel pasir. Tentu saja kesimpulan yang disebut terakhir ini hanya sahih apabila data-data yang diperoleh Marshall (1927) dan Kuenen (1958; 1960a) juga sahih adanya.

Pengaruh aksi eolus terhadap pembundaran pasir, seperti diperlihatkan oleh penelitian-penelitian eksperimental yang dilaku-kan oleh Kuenen (1960b), jauh lebih efektif dibanding agen akuatis dimana penghilangan massa pada partikel kuarsa 100–1000 kali lebih tinggi dibanding dengan penghilangan massa yang terjadi akibat pengangkutan akuatis untuk jarak angkut yang sama. Aksi eolus menyebabkan partikel berbentuk kubus dapat berubah menjadi bola sempurna. Hasil berbagai percobaan yang di-lakukan oleh Kuenen (1960b) menunjukkan bahwa pengangkutan fluvial sama sekali tidak efektif dalam membundarkan partikel kuarsa dan felspar. Aksi gisik mungkin lebih efektif, namun diperkirakan tidak terlalu banyak mempengaruhi rata-rata dari semua pasir. Aksi eolus merupakan mekanisme abrasi yang potensial untuk pasir yang diameternya hingga 0,1 mm; aksi eolus tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap partikel yang diameternya kurang dari 0,05 mm. Dengan demikian, pasir membundar dapat digunakan untuk mengindikasikan bahwa, dalam keseluruhan sejarah pasir itu, paling tidak sekali diantaranya pernah terangkut oleh angin.

Efektivitas aksi gisik terhadap pasir masih belum dievaluasi sepenuhnya. Folk (1960), yang meneliti perselingan pasir kuarsa yang membundar kurang baik dan pasir kuarsa yang membundar baik dalam Tuscarora Quartzite (Silur) di West Virginia, menafsirkan pasir kuarsa yang membundar baik sebagai produk surf action. Swett dkk (1971) memperkirakan jarak angkut pasir dalam estuarium pasut memiliki nilai yang memadai untuk menyebabkan terbundarkannya partikel kuarsa, meskipun dalam laju pembundaran yang rendah sebagaimana yang dikemukakan oleh Kuenen.

Hasil berbagai penelitian lapangan cenderung mendukung hasil penelitian laboratorium. Penelitian klasik yang dilakukan oleh Russell & Taylor (1937b) menunjukkan bahwa pasir yang diangkut oleh Sungai Mississippi yang terletak diantara Cairo (Illinois) dan Teluk Mexico, dengan jarak sekitar 1770 km, tampaknya tidak menyebabkan penurunan pasir ke arah hilir. Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa aksi sungai tidak menyebabkan bundarnya partikel pasir dan bahwa penurunan kebundaran yang ke arah hilir sebenarnya disebabkan oleh pemecahan partikel. Penurunan kebundaran yang terlihat adalah dari 0,24 menjadi 0,18, atau sekitar 23,5%. Di lain pihak, Plumley (1948) menunjukkan bahwa pasir kasar (diameternya 1,0–1,414 mm) di Battle Creek, Black Hills (Dakota Selatan), mengalami peningkatan kebundaran 71% dari 0,21 menjadi 0,36 setelah terangkut 64 km. Walau demikian, pasir yang sama di Sungai Chayenne, Dakota Selatan, hanya mengalami peningkatan kebundaran sebanyak 5% dari 0,42 menjadi 0,44 setelah terangkut 150 mil (gambar 3-28). Kuarsa yang berukuran 0,088–0,250 mm dalam pasir Rio Grande, Argentina, tidak menunjukkan perubahan yang berarti setelah terangkut 100 km (Mazzoni & Spalletti, 1972). Pasir yang terangkut di sepanjang gisik Danau Erie, sebagaimana pasir di Sungai Mississippi, mengalami penurunan kebundar-an ke arah hilir (Pettijohn & Lundahl, 1943), penurunan mana agaknya berkaitan dengan aksi pemilahan. Karena kebundaran pada umumnya berkorelasi positif dengan kebolaan, maka penurunan kebolaan ke arah hilir akan disertai dengan penurunan kebundaran. Aksi pemilahan pada sungai besar yang mengalir tenang, seperti Sungai Mississippi, terus berlangsung sehingga setiap gejala peningkatan kebundaran ke arah hilir tertutupi oleh aksi pemilahan. Kemungkinan kecil saja bahwa sungai peng-angkut gravel dan bergradien tinggi di sekitar Black HIlls akan menyebabkan pembundaran partikel pasir dan bahwa Sungai Mississippi akan menyebabkan penurunan kebundaran akibat pemecahan.

Peranan pelarutan terhadap pembundaran kuarsa juga masih belum dianalisis secara memadai. Kuenen (1960b) ber-keyakinan bahwa efek pelarutan terhadap pembundaran partikel kuarsa dapat diabaikan karena jika pelarutan memegang peranan penting dalam pembundaran partikel kuarsa, maka partikel kecil lah yang akan terkena efek paling kuat. Di bawah kondisi tertentu, perlarutan in situ pada partikel kuarsa memang terjadi, terutama pada kuarsa yang ada dalam tanah. Crook (1968) secara khusus meminta perhatian para ahli terhadap efek pelarutan.

Perlu dicamkan bahwa apabila suatu partikel, terutama pasir kuarsa, telah membundar (0,60), maka sifat itu tidak akan hilang. Selain itu, karena pasir kuarsa umumnya akan masuk ke dalam siklus sedimentasi berikutnya, maka kuarsa membundar yang ditemukan dalam suatu endapan mungkin bukan merupakan produk siklus sedimentasi terakhir, melainkan produk siklus sedimentasi sebelumnya. Demikian juga dengan kerikil kuarsit dan kuarsa urat.

Banyak usaha telah dilakukan para ahli untuk menggunakan kebundaran pasir kuarsa untuk mengenal lingkungan peng-endapan, namun usaha-usaha itu kurang berhasil. Beal & Shepard (1956) serta Waskom (1958) hanya menemukan sedikit perbedaan kebundaran antara tubuh-tubuh pasir masa kini yang ada dalam beberapa sub-lingkungan pada zona pesisir di Gulf Coastal Region.

Leave a Reply

 
 

Blog Archive

Daftar Blog Saya

Blogger news