Jumat, 16 Maret 2012

BUKU PANDUAN KRISTALOGRAFI

ASSALAMUALAIKUM

MAKASIH ATAS PARTISIPASINYA, SAYA MERANGKUMKAN BUKU KRISTALOGRAFI AGAR MUDAH UNTUK DI BACA SEMOGA BERMANFAAT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah dan proses pembentukannya. Dalam Geologi, kita akan mempelajari semua hal tentang seluk-beluk Bumi ini secara keseluruhan. Dari mulai gunung-gunung dengan tinggi ribuan meter, hingga palung-palung didasar samudra. Dan untuk mengetahui semua itu, tentunya kita harus mempelajari apa-apa sajakah materi pembentuk Bumi ini.

Materi dasar pembentuk Bumi ini adalah batuan, dimana batuan sendiri adalah kumpulan dari mineral, dan mineral terbentuk dari kristal-kristal. Jadi intinya, untuk dapat mempelajari ilmu Geologi, kita harus menguasai ilmu tentang kristal. Ilmu yang mempelajari tentang bentuk-bentuk, gambar-gambar dari kristal disebut Kristalografi.

Dalam studi Geologi, kita tentunya harus terlebih dahulu menguasai tentang kristal sebelum mempelajari tingkat selanjutnya dalam ilmu Geologi. Karena itu kristal adalah syarat untuk dapat mempelajari Geologi.

1.2 Maksud dan Tujuan

1.2.1 Maksud

Dalam studi Geologi, tentu kita harus mempelajari tentang kristal dan semua yang berhubungan dengan kristal itu sendiri. Hal ini jelas harus dilakukan karena kristal adalah dasar dari ilmu Geologi itu sendiri. Kristal adalah dasar dari mineral, mineral adalah pembentuk batuan, dan Bumi ini terdiri dari batuan-batuan. Jadi, dalam studi kristal yang dilakukan pada awal studi Geologi ini dimaksudkan agar kita dapat menguasai hal-hal tentang kristal sebagai bekal untuk mempelajari tingkat yang lebih lanjut dalam ilmu Geologi.

1.2.2 Tujuan

Dalam kegiatan mempelajari dan praktikum Kristalografi, kita dituntut untuk dapat :

  1. mengenal dan menguasai bentuk-bentuk kristal
  2. mendiskripsikan kandungan unsur simetri dari tiap bentuk kristal dan mengklasifikasikannya berdasarkan hukum-hukum geometri
  3. menguasai “indices” dan dapat menghitung sudut antar bidang kristal
  4. dapat menentukan dan menjelaskan simbol-simbol yang ada pada kristal
  5. membuat proyeksi streografis dari masing-masing kelas kristal
  6. dapat mengenal mineral berdasarkan bentuk kristal idealnya

1.3 Landasan Teori

Bumi yang kita pijak ini adalah bagian dari alam semesta yang begitu luas. Sistem tata surya kita hanya satu dari milyaran bintang yang ada dijagat raya ini. Bisa kita bayangkan betapa kecilnya Bumi ini bila dibandingkan dengan alam.

Berbagai bahan pembentuk Bumi terbentuk oleh proses alam yang panjang sejak terbentuknya Bumi. Jangka waktu pembentukkan tersebut dapat kita ketahui dalam ilmu Geologi dengan mengamati batuan-batuan yang ada di Bumi. Batuan adalah kumpulan satu atau lebih mineral (terutama mineral golongan silika / pada Bowen’s series).

Yang dimaksud dengan Mineral sendiri adalah bahan anorganik, terbentuk secara alamiah, seragam dengan komposisi kimia yang tetap pada batas volumenya dan mempunyai kristal kerakteristik yang tercermin dalam bentuk fisiknya. Jadi, untuk mengamati proses Geologi dan sebagai unit terkecil dalam Geologi adalah dengan mempelajari kristal.

Kristalografi adalah suatu ilmu pengetahuan kristal yang dikembangkan untuk mempelajari perkembangan dan pertumbuhan kristal, termasuk bentuk, struktur dalam dan sifat-sifat fisiknya. Dahulu, Kristalografi merupakan bagian dari Mineralogi. Tetapi karena bentuk-bentuk kristal cukup rumit dan bentuk tersebut merefleksikan susunan unsur-unsur penyusunnya dan bersifat tetap untuk tiap mineral yang dibentuknya., maka pada akhir abad XIX, Kristalografi dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan tersendiri.

1.3.1 Pengertian Kristal

Kata “kristal” berasal dari bahasa Yunani crystallon yang berarti tetesan yang dingin atau beku. Menurut pengertian kompilasi yang diambil untuk menyeragamkan pendapat para ahli, maka kristal adalah bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya serta mengikuti hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya memenuhi hukum geometri; Jumlah dan kedudukan bidang kristalnya selalu tertentu dan teratur. Kristal-kristal tersebut selalu dibatasi oleh beberapa bidang datar yang jumlah dan kedudukannya tertentu. Keteraturannya tercermin dalam permukaan kristal yang berupa bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti pola-pola tertentu. Bidang-bidang ini disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut antara bidang-bidang muka kristal yang saling berpotongan besarnya selalu tetap pada suatu kristal. Bidang muka itu baik letak maupun arahnya ditentukan oleh perpotongannya dengan sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah kristal, sumbu kristal berupa garis bayangan yang lurus yang menembus kristal melalui pusat kristal. Sumbu kristal tersebut mempunyai satuan panjang yang disebut sebagai parameter.

Bila ditinjau dan telaah lebih dalam mengenai pengertian kristal, mengandung pengertian sebagai berikut :

1. Bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya :

¨ tidak termasuk didalamnya cair dan gas

¨ tidak dapat diuraikan kesenyawa lain yang lebih sederhana oleh proses fisika

¨ terbentuknya oleh proses alam

2. Mengikuti hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya mengikuti hukum geometri :

¨ jumlah bidang suatu kristal selalu tetap

¨ macam atau model bentuk dari suatu bidang kristal selalu tetap

¨ sifat keteraturannya tercermin pada bentuk luar dari kristal yang tetap.

Apabila unsur penyusunnya tersusun secara tidak teratur dan tidak mengikuti hukum-hukum diatas, atau susunan kimianya teratur tetapi tidak dibentuk oleh proses alam (dibentuk secara laboratorium), maka zat atau bahan tersebut bukan disebut sebagai kristal.

1.3.2 Proses Pembentukan Kristal

Pada kristal ada beberapa proses atau tahapan dalam pembentukan kristal. Proses yang di alami oleh suatu kristal akan mempengaruhi sifat-sifat dari kristal tersebut. Proses ini juga bergantung pada bahan dasar serta kondisi lingkungan tempat dimana kristal tersebut terbentuk.

Berikut ini adalah fase-fase pembentukan kristal yang umumnya terjadi pada pembentukan kristal :

¨ Fase cair ke padat : kristalisasi suatu lelehan atau cairan sering terjadi pada skala luas dibawah kondisi alam maupun industri. Pada fase ini cairan atau lelehan dasar pembentuk kristal akan membeku atau memadat dan membentuk kristal. Biasanya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan.

¨ Fase gas ke padat (sublimasi) : kristal dibentuk langsung dari uap tanpa melalui fase cair. Bentuk kristal biasanya berukuran kecil dan kadang-kadang berbentuk rangka (skeletal form). Pada fase ini, kristal yang terbentuk adalah hasil sublimasi gas-gas yang memadat karena perubahan lingkungan. Umumnya gas-gas tersebut adalah hasil dari aktifitas vulkanis atau dari gunung api dan membeku karena perubahan temperature.

¨ Fase padat ke padat : proses ini dapat terjadi pada agregat kristal dibawah pengaruh tekanan dan temperatur (deformasi). Yang berubah adalah struktur kristalnya, sedangkan susunan unsur kimia tetap (rekristalisasi). Fase ini hanya mengubah kristal yang sudah terbentuk sebelumnya karena terkena tekanan dan temperatur yang berubah secara signifikan. Sehingga kristal tersebut akan berubah bentuk dan unsur-unsur fisiknya. Namun, komposisi dan unsur kimianya tidak berubah karena tidak adanya faktor lain yang terlibat kecuali tekanan dan temperatur.

1.3.3 Sistem Kristalografi

Dalam mempelajari dan mengenal bentuk kristal secara mendetail, perlu diadakan pengelompokkan yang sistematis. Pengelompokkan itu didasarkan pada perbangdingan panjang, letak (posisi) dan jumlah serta nilai sumbu tegaknya.

Bentuk kristal dibedakan berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang simetri dan sumbu simetri) dibagi menjadi tujuh sistem, yaitu : Isometrik, Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan Triklin.

Dari tujuh sistem kristal dapat dikelompokkan menjadi 32 kelas kristal. Pengelompokkan ini berdasarkan pada jumlah unsur simetri yang dimiliki oleh kristal tersebut. Sistem Isometrik terdiri dari lima kelas, sistem Tetragonal mempunyai tujuh kelas, sistem Orthorhombik memiliki tiga kelas, Hexagonal tujuh kelas dan Trigonal lima kelas. Selanjutnya Monoklin mempunyai tiga kelas dan Triklin dua kelas.

Tabel 1.1 Tujuh Sistem Kristal

No

Sistem Kristal

Axial Ratio

Sudut Kristalografi

1

Isometrik

a = b = c

α = β = γ = 90˚

2

Tetragonal

a = b ≠ c

α = β = γ = 90˚

3

Hexagonal

a = b = d ≠ c

α = β = 90˚ ; γ = 120˚

4

Trigonal

a = b = d ≠ c

α = β = 90˚ ; γ = 120˚

5

Orthorhombik

a ≠ b ≠ c

α = β = γ = 90˚

6

Monoklin

a ≠ b ≠ c

α = β = 90˚ ≠ γ

7

Triklin

a ≠ b ≠ c

α ≠ β ≠ γ ≠ 90˚

1.3.3 Sumbu, Sudut dan Bidang Simetri

Sumbu simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus pusat kristal, dan bila kristal diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu putaran penuh akan didapatkan beberapa kali kenampakan yang sama. Sumbu simetri dibedakan menjadi tiga, yaitu : gire, giroide, dan sumbu inversi putar.

Sudut simetri adalah sudut antar sumbu-sumbu yang berada dalam sebuah kristal. Sudut-sudut ini berpangkal (dimulai) pada titik persilangan sumbu-sumbu utama pada kristal yang akan sangat berpengaruh pada bentuk dari kristal itu sendiri.

Bidang simetri adalah bidang bayangan yang dapat membelah kristal menjadi dua bagian yang sama, dimana bagian yang satu merupakan pencerminan (refleksi) dari bagian yang lainnya. Bidang simetri ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu bidang simetri aksial dan bidang simetri menengah. Bidang simetri aksial bila bidang tersebut membagi kristal melalui dua sumbu utama (sumbu kristal).

1.3.4 Proyeksi Orthogonal

Proyeksi orthogonal adalah salah satu metode proyeksi yang digunakan untuk mempermudah penggambaran. Proyeksi orthogonal ini dapat diaplikasikan hamper pada semua penggambaran yang berdasarkan hukum-hukum geometri. Contohnya pada bidang penggambaran teknik, arsitektur, dan juga kristalografi. Pada proyeksi orthogonal, cara penggambaran adalah dengan menggambarkan atau membuat persilangan sumbu. Yaitu dengan menggambar sumbu a,b,c dan seterusnya dengan menggunakan sudut-sudut persilangan atau perpotongan tertentu. Dan pada akhirnya akan membentuk gambar tiga dimensi dari garis-garis sumbu tersebut dan membentuk bidang-bidang muka kristal.

Pada praktikum kristalografi yang dilakukan di laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan. Penggambaran kristal menggunakan proyeksi penggambaran orthogonal ini.

Tabel 1.2 Penggambaran Tujuh Sistem Kristal

No

Sistem Kristal

Perbandingan Sumbu

Sudut Antar Sumbu

1

Isometrik

a : b : c = 1 : 3 : 3

a+^bˉ = 30˚

2

Tetragonal

a : b : c = 1 : 3 : 6

a+^bˉ = 30˚

3

Hexagonal

a : b : c = 1 : 3 : 6

a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚

4

Trigonal

a : b : c = 1 : 3 : 6

a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚

5

Orthorhombik

a : b : c = sembarang

a+^bˉ = 30˚

6

Monoklin

a : b : c = sembarang

a+^bˉ = 45˚

7

Triklin

a : b : c = sembarang

a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚

1.4 Aplikasi Kristalografi Pada Bidang Geologi

Pada bidang Geologi, mempelajari kristalografi sangatlah penting. Karena untuk mempelajari ilmu Geologi, kite tentunya juga harus mengetahui komposisi dasar dari Bumi ini, yaitu batuan. Dan batuan sendiri terbentuk dari susunan mineral-mineral yang tebentuk oleh proses alam. Dan pada bagian sebelumnya telah dijelaskan tentang pengertian mineral yang dibentuk kristal-kristal.

Dengan mempelajari kristalografi, kita juga dapat mengetahui berbagai macam bahan-bahan dasar pembentuk Bumi ini, dari yang ada disekitar kita hingga jauh didasar Bumi। Ilmu kristalografi juga dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat berbagai macam mineral yang paling dicari oleh manusia. Dengan alasan untuk digunakan sebagai perhiasan karena nilai estetikanya maupun nilai guna dari mineral itu sendiri. Jadi, pada dasarnya, kristalografi digunakan sebagai dasar untuk mempelajari ilmu Geologi itu sendiri. Dengan alasan utama kristal adalah sebagai pembentuk Bumi yang akan dipelajari.

BAB II

TATA CARA PENDESKRIPSIAN

2.1 Jumlah Unsur Simetri

Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik pusat dari kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam penggambarannya.

Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah sebagai berikut:

¨ Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar kristal dengan poros pada sumbu utamanya.

¨ Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.

¨ Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal.

¨ Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya titik pusat kristal.

¨ Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.

2.2 Herman-Mauguin

Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara umum (simbol Internasional).

Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.

Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan cara penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.

1. Sistem Isometrik

¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4.

¨ Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111, apakah bernilai

3 atau 3.

¨ Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai

yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat

diantara dua buah sumbu utama.

2. Sistem Tetragonal

¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau

4.

¨ Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.

¨ Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat

diantara dua sumbu utama lateral.

3. Sistem Hexagonal dan Trigonal

¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.

¨ Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.

¨ Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak

tepat diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.

4. Sistem Orthorhombik

Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari sumbu a, b, dan kemudian c.

5. Sistem Monoklin

Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.

6. Sistem Triklin

Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat simetri kristal.

Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m” (bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis dengan “m” saja.

Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian kristal :

¨ 6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.

¨ 6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus terhadapnya.

¨ m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.

2.3 Schoenflish

Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka yang masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.

Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada masing-masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik. Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.

1. Sistem Isometrik

Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.

¨ Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O (Octaheder)

¨ Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)

Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.

¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf h.

¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka diberi notasi huruf h.

¨ Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.

¨ Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.

2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan

Triklin

Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan, ada 2

kemungkinan :

¨ Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)

¨ Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)

Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan

menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C

(dari bagian 1) dan ditulis agak kebawah.

Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan

menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.

¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf h.

¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka dinotasikan dengan huruf h.

¨ Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf v.

¨ Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.

Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish

No

Kelas Simetri

Notasi (Simbolisasi)

1

Hexotahedral

Oh

2

Ditetragonal Bipyramidal

D4h

3

Hexagonal Pyramidal

D6h

4

Trigonal Pyramidal

C3v

5

Rhombik Pyramidal

C2v

6

Rhombik Dipyramidal

C2h

7

Rhombik Disphenoidal

C2

8

Domatic

Cv

9

Pinacoidal

C

10

Pedial

C

4.2 Indeks Miller-Weiss

Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.

Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri. Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu kristal.

Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan dan cara penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri kristal. Yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang telah didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan satu. Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut sama dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak terbatas, yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama dengan nol). Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, ITM, disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan tidak mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer bentuk. Hal ini adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan bidang-bidang yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya.

BAB III

SISTEM KRISTAL DAN DESKRIPSI

3.1 Sistem Isometrik

Photobucket

Gambar 3.1 Sistem Isometrik

Sistem ini juga disebut ancer regular, atau bahkan sering dikenal sebagai ancer kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.

Pada kondisi sebenarnya, system Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, copper, pyrope, platinum, halite dan spinel.

4.2 Sistem Tetragonal

Photobucket

Gambar 3.2 Sistem Tetragonal

Sama dengan system Isometrik, ancer ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.

Pada kondisi sebenarnya, ancer Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Tetragonal ini adalah zircon, beryl, apatite, erionite dan nepheline.

4.2 Sistem Hexagonal

Photobucket

Gambar 3.3 Sistem Hexagonal

Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).

Pada kondisi sebenarnya, ancer Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Hexagonal ini adalah calcite, alunite, dolomite, siderite, dan smithsonite.

4.2 Sistem Trigonal

Photobucket

Gambar 3.4 Sistem Trigonal

Beberapa ahli memasukkan ancer ini kedalam system Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada ancer Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.

Pada kondisi sebenarnya, ancer Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Trigonal ini adalah quartz, brulite, bentonite, gratonite, dan tourmaline.

4.2 Sistem Orthorhombik

Photobucket

Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik

Sistem ini disebut juga ancer Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.

Pada kondisi sebenarnya, ancer Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Orthorhombik ini adalah brite, celestite, aragonite, cerussite, dan witherite.

4.2 Sistem Monoklin

Photobucket

Gambar 3.6 Sistem Monoklin

Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.

Pada kondisi sebenarnya, ancer Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, kernite, malachite, colemanite dan ferberite.

4.2 Sistem Triklin

Photobucket

Gambar 3.7 Sistem Triklin

Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.

Pada kondisi sebenarnya, ancer Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = βγ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah turquoise, kyanite, albite, microklin dan anorthite।

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.2 Kesimpulan

Dengan mempelajari dan melakukan praktikum tentang Kristalografi yang menjadi bagian dari praktikum Kristalografi dan Mineralogi. Dapat saya ambil kesimpulan bahwa betapa pentingnya untuk dapat mengenal, mengetahui dan menguasai ilmu tentang kristal dalam studi Geologi. Karena kristal sendiri adalah merupakan salah satu dasar yang paling penting dalam ilmu Geologi itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan oleh kristal menjadi salah satu dasar untuk mempelajari ilmu tentang mineral yang akan dipelajari pada tahap selanjutnya. Jika tidak menguasai dan mengenal tentang kristal, akan sangat sulit untuk selanjutnya memmahami Mineralogi, dan mineral itu sendiri adalah pembentuk batuan, sedangkan batuan itu adalah inti dari Geologi. Hal ini juga menyebabkan Kristalografi dan Mineralogi menjadi syarat untuk dapat melanjutkan studi pada mata kuliah dan praktikum Petrologi yang akan dipelajari selanjutnya.

Selama melakukan praktikum Kristalografi, praktikan diharapkan mampu mengenal, mengklasifikasi, mendeskripsi serta menggambar sketsa dari masing-masing ancer kristal yang ada, yaitu, Isometrik, Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin serta Triklin. Dan tentu saja praktikan diharapkan mampu untuk mengetahui defenisi dari kristal itu sendiri, proses-proses pembentukkannya, dan juga mengetahui ancer-unsur yang ada pada kristal itu sendiri. Seperti sumbu simetri, sudut simetri, dan juga bidang simetri. Selain itu praktikan juga harus mengetahui aplikasi dari Kristalografi itu sendiri, khususnya dibidang Geologi.

Dalam praktikum Kristalografi yang dilakukan dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi pada jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan. Digunakan proyeksi Orthogonal dalam melakukan penggambaran atau sketsa kristal. Metode penggambaran ini dilakukan dengan menggunakan persilangan sumbu yang akan menghasilkan sketsa tiga dimensi dari kristal. Penggambaran kristal dilakukan sesuai dengan hasil deskripsi kristal yang telah dilakukan. Pendeskripsian dilakukan dengan langkah-langkah menentukan jumlah ancer-unsur simetri, kelas simetri, simbolisasi Herman-Mauguin, simbolisasi Schoenflish, indeks Miller-Weiss serta menentukan nama bentuk kristal dan contoh-contoh mineralnya.

Setelah mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, diharapkan untuk kedepannya dalam mempelajari Mineralogi akan dapat lebih mudah dengan memiliki dasar-dasar yang telah didapat pada Kristalografi.

4.2 Saran

Selama mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, telah banyak yang dapat kita pelajari. Baik dalam hal ilmu tentang kristal itu sendiri pada khususnya serta tentang aplikasi dan manfaatnya dalam bidang Geologi dan juga dikehidupan sehari-hari.

Dalam melakukan praktikum Kristalografi, dapat kita sadari bersama ada beberapa kekurangan yang cukup menghambat berjalannya proses praktikum. Salah satu yang paling dapat dirasakan adalah kurangnya jumlah sampel (contoh) kristal yang ada dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi. Maka diharapkan agar kedepannya kekurangan tersebut dapat ditutupi sehingga proses praktikum yang dilakukan dapat berjalan ancer. Dan satu hal lagi yang juga perlu diperhatikan adalah waktu praktikum yang kadang tidak tepat pada waktunya. Diharapkan agar untuk kedepannya kita dapat sama-sama untuk menjaga hal tersebut agar tidak terulang atau paling tidak dikurangi. Dengan begitu diharapkan praktikum yang dilakukan dapat lebih baik lagi.

Namun pada dasarnya, diluar kekurangan-kekurangan yang ada. Praktikum yang dilakukan sudah cukup baik. Dan tentu saja kita semua berharap agar dapat terus lebih baik lagi dimasa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Asisten, Team. 2003. “Penuntun Praktikum Kristalografi dan Mineralogi”.

Institut Teknologi Medan

Firdaus. 2008. ”Kristalografi”. http:/firdaus.unhalu.ac.id Diperoleh Tanggal 29

November 2009

Mondadori, Arlondo. 1977. ”Simons & Schuster’s Guide to Rocks and

Minerals”. Milan : Simons & Schuster’s Inc.

Noor, D. 2008. ”Pengantar Geologi”. Bogor : Universitas Pakuan

Prawira Budi, Triton. 2009. “Mengenal Sains : Sejarah Bumi dan Bencana

Alam.” Yogyakarta : Tugu Publisher

Salisbury, Edwar Dana. 1921. ”A Textbook of Mineralogy”. New York : John

Wiley & Sons.

Wijayanto, Andika. 2009. “Kristalografi”. http:/andikawijayanto.blogspot.com

Diperoleh Tanggal 29 November 2009

http://anakgeotoba.blogspot.com/

WASSALAMUALAIKUM

Leave a Reply

 
 

Blog Archive

Daftar Blog Saya

Blogger news