Senin, 19 Maret 2012

SEDIMEN PASIR DAN BATU PASIR PART 3

Lithic sandstone dan Subgraywacke

7.5.2.1 Definisi-Definisi

Batupasir yang mengandung fragmen batuan dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding felspar disebut lithic sandstone (Pettijohn, 1954), lithic arenite (Williams dkk, 1954), atau litharenite (McBride, 1963). Litharenite analog dengan lithic tuff, yakni tuff yang banyak mengandung fragmen batuan. Proporsi fragmen batuan dalam batupasir sangat bervariasi. Hanya batupasir yang mengandung fragmen batuan ≥ 25% saja yang layak untuk disebut lithic arenite. Batupasir yang mengandung fragmen batuan 10–25% merupakan bentuk transisi yang kemudian dinamakan sublitharenite (McBride, 1963) atau protokuarsit (protoquartzite). Istilah protokuarsit diusulkan oleh Krynine (Payne dkk, 1952).

Krynine menggunakan istilah graywacke untuk menamakan graywacke klastik tipe Pegunungan Harz maupun lithic arenite. Sebenarnya, sebagaimana didefinisikan pertama kali oleh Krynine (1940), istilah graywacke hanya dapat diterapkan pada lithic arenite. Krynine (1945) kemudian mendefinisikan ulang istilah itu dan menyatakan adanya dua tipe graywacke, yakni: (1) high-rank graywacke, yakni graywacke yang banyak mengandung felspar; dan (2) low-rank graywacke, yakni graywacke yang miskin akan felspar. Jadi, low-rank graywacke memiliki definisi yang mirip dengan lithic arenite. Pengertian dan tata peristilahan seperti itu selama beberapa lama diikuti oleh Folk (1954), namun sudah tidak dipakai lagi pada masa sekarang. Sebagai gantinya, untuk batuan tersebut digunakan istilah litharenite (Folk dkk, 1970).

Istilah subgraywacke digunakan pertama kali untuk menamakan suatu tipe transisi antara batupasir kuarsa dengan gray-wacke (Pettijohn, 1949). Sebagaimana didefinisikan pertama kali, subgraywacke mengandung felspar < 10% dan mengandung matriks > 20%. Istilah itu kemudian didefinisikan ulang (Pettijohn, 1954) sebagai batupasir yang mengandung matriks < 15% dan mengandung 25% butiran labil, di dalam butiran labil mana fragmen batuan lebih banyak dibanding felspar. Dengan definisi seperti itu, subgraywacke pada dasarnya merupakan lithic arenite. Subgraywacke, dan lithic arenite pada umumnya, sekilas tampak mirip dengan graywacke, terutama dalam hal warna dan kandungan fragmen batuan.

7.5.2.2 Pemerian Umum dan Varietas

Lithic arenite umumnya berwarna abu-abu muda dengan kadar fragmen batuan yang cukup tinggi, terutama fragmen batuan sedimen dan fragmen batuan metamorf tingkat rendah. Biasanya banyak mengandung lempeng mika. Kuarsa penyusun batuan ini umumnya menyudut tanggung hingga membundar, sedangkan felspar jarang dan hanya ditemukan di beberapa tempat, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Secara keseluruhan, pasir itu terpilah cukup baik dan partikel penyusunnya diikat oleh semen (biasanya semen kuarsa atau kalsit). Matriks jarang atau tidak ditemukan dalam batupasir ini, meskipun matriks semu (pseudomatrix) yang terbentuk akibat penghancuran partikel lempung atau akibat presipitasi lempung autigenik mungkin ada.

Fragmen batuan penyusun lithic arenite tidak hanya banyak, namun juga bervariasi. Lithic arenite dapat mengandung selusin atau lebih tipe fragmen batuan. Dalam beberapa lithic arenite, fragmen batuan vulkanik ditemukan secara melimpah; dalam lithic arenite lain, fragmen batuan yang banyak ditemukan adalah fragmen batuan sedimen dan fragmen batuan meta-morf. Lithic arenite yang banyak mengandung detritus batuan vulkanik disebut batupasir vulkanik (volcanic sandstone) atau batupasir vulkaniklastik (volcaniclastic sandstone). Batuan itu hendaknya tidak tertukar dengan batupasir piroklastik (pyroclastic sandstone; pyroclastic arenite) yang merupakan produk langsung dari letusan gunungapi. Secara umum, fragmen batuan vulkanik asam cenderung lebih banyak ditemukan; fragmen batuan vulkanik basa cenderung terubah menjadi matriks. Sebagian besar lithic arenite mengandung fragmen batuan metamorf tingkat rendah filitik, misalnya batusabak, filit, dan sekis serisit. Batu-pasir yang banyak mengandung fragmen batuan seperti itu dinamakan batupasir sekis (schist arenite) (Krynine, 1937). Istilah filarenit (phyllarenite) (Folk, 1968) juga digunakan untuk menamakan batuan seperti itu. Istilah yang disebut terakhir ini diguna-kan karena banyaknya mika, baik sebagai fragmen batuan maupun sebagai lembaran detritus dalam batupasir tersebut. Banyak lithic arenite kaya akan fragmen batuan sedimen. Ada dua varietas batupasir tersebut yang perlu diketahui. Pertama, batupasir rijang (chert arenite). Sebagai contoh, rijang membentuk 20–90% Cutbank Sandstone (Kapur) di Montana (Sloss & Feray, 1948). Pasir Jura yang sangat kaya akan rijang dan terletak di Montana (Suttner, 1969) juga termasuk ke dalam kategori ini. Kita perlu ekstra hati-hati dalam membedakan rijang detritus dari partikel batuan riolitik yang telah mengalami devitrifikasi. Hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Pasir yang kaya akan rijang mungkin mengindikasikan asal-usul yang relatif dekat dengan daerah sumber, baik dari terrane batugamping rijang di daerah iklim lembab atau dari formasi rijang berlapis.

Karbonat detritus banyak ditemukan dalam lithic arenite tertentu. Batupasir yang kaya akan karbonat detritus dinamakan calclithite (Folk, 1968). Istilah calclithite dimunculkan untuk membedakan batupasir itu dari kalkarenit (calcarenite). Istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menamakan pasir karbonat yang material penyusunnya berupa partikel rangka, oolit, dan material lain yang terbentuk dalam cekungan pengendapan. Pasir karbonat detritus yang merupakan endapan terigen sering ditemukan dalam lingkungan masa kini, namun relatif jarang ditemukan dalam rekaman geologi. Dolomit detritus banyak ditemukan dalam batupasir Kapur di western interior, Amerika Serikat (Sabins, 1962). Baik dolomit detritus maupun batugamping detritus banyak ditemukan dalam batupasir Molassa di bagian utara Pegunungan Alpina (Füchtbauer, 1867b). Karena reduksi sebagian besar limestone terrane terjadi melalui pelarutan serta karena residu klastika hanya berupa rijang dan lempung, maka calclithite memerlukan erosi yang cepat dan relief yang tinggi, sedangkan batupasir rijang mengimplikasikan relief yang rendah dan pelarutan batugamping. Calclithite adalah analog berukuran pasir dari gravel dan konglomerat batugamping. Selain rijang dan batugamping mikritik atau dolomit, lithic arenite juga dapat mengandung fragmen batuan pelitik berbutir halus seperti serpih, batulumpur, dan batulanau. Karena fragmen-fragmen itu relatif mudah hancur, maka kehadirannya dalam lithic arenite meng-indikasikan jarak angkut yang dekat atau asal-usul intraformasional. Selain itu, fragmen-fragmen tersebut dapat terdeformasi akibat pembebanan. Fragmen serpih secara khusus dapat terlindi dan tertekan ke dalam ruang antar partikel lain sedemikian rupa sehingga kenampakannya menjadi mirip dengan matriks pengisi ruang pori (Allen, 1962). Dalam kondisi seperti itu, fragmen lempung mungkin tidak akan dikenal sebagai sebuah partikel detritus. Matriks yang sebenarnya akan hadir dalam semua ruang pori, sedangkan matriks semu seperti itu hanya akan melingkupi sebagian ruang pori, sedangkan ruang pori lain mungkin terisi oleh semen. Selain itu, fragmen batuan tidak semuanya mirip. Karena itu, fragmen batuan yang telah tertekan seperti itu akan bervariasi dari satu ruang pori ke ruang pori yang lain.

Sebagaimana yang mungkin telah diperkirakan, lithic arenite merupakan kategori batupasir yang beragam komposisinya. Hal itu tercemin baik dalam modal analyses (tabel 7-6) maupun dalam komposisi kimia ruah (tabel 7-7). Modal analyses gagal untuk mengungkapkan semua “cerita” mengenai lithic arenite, kecuali apabila kategori “fragmen batuan” dipisah-pisah ke dalam spesies yang ada. Pengenalan spesies fragmen batuan berukuran kecil agak sukar untuk dilaksanakan dan memerlukan pengalaman yang cukup banyak. Kemas yang menjadi penciri batuan ini terawetkan dengan baik dalam partikel-partikel besar, meskipun kemas pada batuan yang berbutir halus juga masih dapat terlihat, bahkan dalam kelas butiran yang halus (Boggs, 1968). Kuarsa sudah barang tentu merupakan partikel utama penyusun lithic arenite. Dalam pasir vulkanik, kuarsa itu mungkin berasal dari material vulkanik (Webb & Potter, 1969). Kuarsa dalam phyllarenite kemungkinan besar merupakan kuarsa sedimen yang berasal dari batuan sedimen pasiran serta berasosiasi dengan fragmen batuan sedimen. Karena itu, kuarsa dalam phyll-arenite memperlihatkan pembundaran yang merupakan warisan dari daur sedimentasi sebelumnya, bahkan mungkin memper-lihatkan cincin kuarsa sekunder yang terabrasi. Kuarsa dari phyllarenite yang sebenarnya, yakni kuarsa yang berasosiasi dengan fragmen batuan metamorf tingkat rendah, cenderung memperlihatkan pemadaman bergelombang dan polikristalin dibanding kuarsa vulkanik atau kuarsa yang berasal dari batuan sedimen tua. Batupasir ini juga mengandung mika detritus (mika yang terletak sejajar dengan bidang perlapisan) dalam proporsi yang tinggi dan dalam banyak kasus ter-konsentrasi pada bidang perlapisan serta kemungkinan besar akan memperlihatkan gejala pelengkungan atau deformasi akibat kompaksi pasir.

Lithic arenite umumnya tersemenkan oleh kalsit (hal ini terutama berlaku pada lithic arenite Mesozoikum dan Kenozoikum) atau oleh kuarsa. Lithic arenite hanya mengandung sedikit atau tidak mengandung matriks sama sekali, meskipun sebagian diantaranya mengandung matriks semu yang merupakan produk penggerusan fragmen serpih. Sebagian lithic arenite mengan-dung mineral lempung yang dipresipitasikan dalam ruang antar partikel detritus, bahkan ada juga yang mengandung zeolit.

Komposisi kimia dari lithic arenite mencerminkan komposisi unsur rangka dan semen yang bervariasi. Hasil analisis kimia lithic arenite hanya dapat dipahami dengan benar apabila si analis mengetahui komposisi mineralnya. Tingginya kadar CO2 dan CaO dapat berarti bahwa batupasir itu mengandung semen kalsit, banyak mengandung fragmen rangka binatang, atau mungkin mengindikasikan kehadiran fragmen batugamping detritus. Tingginya SiO2 dapat mencerminkan tingginya kadar kuarsa detritus, namun hal itu juga dapat dinisbahkan pada rijang detritus atau semen silika, atau pada ketiga material penyusun tersebut. Berbeda dengan graywacke, sebagian besar lithic arenite memiliki kadar Na2O dan MgO yang rendah serta kadar K2O yang tinggi. Walau demikian ada juga pengecualian untuk itu. Sebagai contoh, kehadiran dolomit detritus akan meningkatkan kadar MgO dalam suatu lithic arenite.

7.5.2.3 Keberadaan dan Kebenaan

Lithic sandstone mungkin merupakan tipe batupasir yang memiliki kelimpahan paling tinggi. Banyak, jika bukan sebagian besar, batupasir Paleozoikum di bagian tengah Pegunungan Appalachia merupakan lithic sandstone. Contoh batupasir itu adalah Oswego sandstone (Ordovisium) (Krynine & Tuttle, 1941), Third Bradford Sand (Devon) (Krynine, 1940), formasi Pocono (Karbon Awal) (Pelletier, 1958), formasi Mauch Chunk (Karbon Awal) (Hoque, 1968; Meckel, 1967), serta Pottsville Formation (Karbon Akhir) (Meckel, 1967). Batupasir-batupasir itu kaya akan kuarsa, miskin akan felspar, dan tersemenkan oleh kuarsa. Fragmen batuan metamorf tingkat rendah dan fragmen batuan sedimen banyak ditemukan dalam batupasir-batupasir itu.

Banyak batupasir Jura dan Kapur di Pegunungan Rocky merupakan lithic arenite. Contohnya adalah batupasir yang kaya akan rijang di Montana (Sloss & Feray, 1948; Suttner, 1969) dan Alberta (Lerbekmo, 1963). Chico Formation (Kapur) di California juga merupakan lithic arenite (Williams dkk, 1954).

Sebagian besar batupasir Tersier dalam Cekungan Molasa di bagian selatan Jerman dan Swiss berupa lithic arenite. Banyak diantaranya mengandung fragmen batuan karbonat mikritik (Füchtbauer, 1964; Gasser, 1968). Tidak semua lithic arenite berasal dari sabuk orogen. Banyak pasir Tersier di Gulf Coast merupakan lithic arenite. Contohnya adalah pasir “Frio” (Oligosen) (Nanz, 1954), pasir Oakville (Miosen) (Folk, 1968a), dan Wilcox Formation (Williams dkk, 1954).

Protokuarsit atau sublitharenite juga sering ditemukan. Contohnya adalah sebagian dari Tuscarora Quartzsite (Silur) di bagian tengah Pegunungan Appalachia (Yeakel, 1962) dan Anvil Rock Sandstone (Karbon Akhir) di Illinois Basin (Hopkins, 1958).

Pasir dalam sungai-sungai besar masa kini kemungkinan besar berupa lithic sand. Rata-rata dari 187 sampel pasir Sungai Ohio mengandung 62% kuarsa, 31% fragmen batuan, dan 6% felspar (Friberg, 1970). Pasir seperti itu jelas merupakan tipikal dari lithic arenite.

Lithic arenite dan protokuarsit juga banyak ditemukan dalam rekaman geologi dan keduanya kemungkinan besar merupakan tipe batupasir yang paling tinggi kelimpahannya. Berdasarkan hasil penelaahan terhadap 121 sampel batupasir yang umur dan penyebarannya beragam, Pettijohn (1963) memperkirakan bahwa lithic arenite membentuk sekitar 26% dari semua pasir, sedangkan arkose hanya menyusun sekitar 15%. Lithic arenite paling banyak ditemukan dalam paket endapan Kapur dan Tersier. Diantara 718 sampel batupasir Kapur, Paleosen, dan Eosen yang berasal dari bagian barat Venezuela, 400 sampel (atau sekitar 56%) diantaranya berupa lithic sandstone dan sublithic sandstone (van Andel, 1958). Hanya 79 sampel (atau sekitar 11%) saja yang berupa arkose atau subarkose. Lithic sandstone memegang peranan yang lebih kurang sama dengan peranan yang dimainkan oleh graywacke dalam paket flysch tua. Walau demikian lithic arenite tidak hanya muncul dalam geosinklin, namun juga di luar geosinklin. Batupasir molassa kemungkinan besar berupa lithic arenite.

Lithic arenite merupakan pasir tidak matang karena sebagian besar material penyusunnya relatif lemah, baik secara mekanis maupun kimiawi. Hanya saja, para ahli belum mengetahui berapa banyak pasir yang dihasilkan dari batuan berbutir halus. Disintegrasi batuan berbutir kasar, tanpa disertai dekomposisi, akan menghasilkan pasir. Walau demikian, batuan berbutir halus diperkirakan akan terdisintegrasi menjadi partikel-partikel berukuran lanau. Komponen batuan yang secara mekanis tidak stabil tampaknya mudah terdisintegrasi di daerah dengan tingkat abrasi tinggi, misalnya di daerah limpasan gelombang. Fragmen batuan yang tidak stabil secara kimia akan terhancurkan selama berlangsungnya diagenesis dan menjadi matriks. Lithic arenite mungkin merupakan pendahulu dari graywacke pada endapan geologi tua. Untuk menghasilkan arkose diperlukan provenansi yang terbatas dan hal itu kemungkinan besar hanya terpenuhi pada cekungan penyaliran berukuran kecil. Lithic arenite umumnya mencerminkan provenansi yang lebih luas, yakni cekungan penyaliran yang relatif luas dan kemungkinan besar memiliki litologi bedrock yang lebih bervariasi. Dengan demikian, lithic arenite kemungkinan menjadi endapan sungai besar, baik endapan aluvial maupun delta, serta paling jelas ditemukan di wilayah miogeosinklin, meskipun tidak hanya terbatas pada wilayah tersebut.

7.5.3 Graywacke dan Batuan Lain yang Berkaitan Dengannya

Karena lithic sandstone mungkin memiliki kaitan dengan graywacke, maka pembahasan selanjutnya akan ditujukan pada graywacke. Istilah graywacke sendiri telah menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Perdebatan itu tidak hanya berkisar pada asal-usul batuan tersebut, namun juga pada definisi istilah graywacke itu sendiri. Hingga dewasa ini telah sekian banyak makalah membahas tentang masalah tersebut. Masalah tata peristilahan telah dikaji ulang dengan sangat baik oleh Dott (1964), Okada (1971), serta Pettjohn dkk (1972). Graywacke merupakan sebuah istilah lama yang pertama kali agaknya diterapkan pada batupasir Devon-Karbon Awal di Pegunungan Harz, Jerman. Baru-baru ini, batuan itu diteliti ulang dengan sangat hati-hati oleh Helmbold (1952) dan Mattiat (1960). Ciri-cirinya yang paling menonjol adalah warna abu-abu tua, kompak, banyak mengandung felspar dan fragmen batuan, tidak memiliki semen, serta mengandung matriks yang disusun oleh intergrowth berbutir halus yang disusun oleh serisit, klorit, serta partikel kuarsa dan felspar yang berukuran lanau. Berbeda dengan arkose, graywacke kaya akan FeO, MgO, dan Na2O. Meskipun ada beberapa kesulitan untuk mendefinisikan graywacke secara cermat, namun memang ada sekelompok batuan yang kenampakan dan sifat-sifatnya mirip dengan graywacke klasik yang ada di Pegunungan Harz. Matriks berwarna gelap dan berbutir halus menjadi aspek yang esensil dari batuan ini.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, istilah graywacke pernah digunakan dalam pengertian yang lebih luas hingga mencakup apa yang sekarang disebut sebagai lithic arenite. Meskipun lithic arenite kelihatannya mirip dengan graywacke, namun sebenarnya tidak mengandung matriks, sarang, atau mengandung semen. Istilah graywacke dalam pengertian luas seperti itu sekarang sudah ditinggalkan oleh para ahli.

Matriks merupakan jantung dari masalah graywacke. Seberapa banyak matriks itu dan berapa limit atas dari besar butir matriks itu? Sebagaimana dikemukakan oleh Okada (1971), prosentase matriks yang membedakan wacke (yang salah satunya adalah graywacke) dari batupasir “bersih” diletakkan secara bervariasi oleh para ahli, mulai dari 5 hingga 25 persen. Dott (1964) serta Gilbert (dalam Williams dkk, 1954) sepakat untuk meletakkan limit itu pada angka 10%. Sebagian besar ahli memilih angka 15%. Angka yang disebut terakhir inilah yang digunakan dalam buku ini. Limit atas dari besar butir matriks juga bervarias. Okada (1971) mencatat bahwa kebanyakan ahli meletakkan limit itu pada angka 20 mikron. Mengikuti pendapat Pettijohn dkk (1972), limit yang digunakan dalam buku ini adalah 30 mikron.

7.5.3.1 Kemas dan Komposisi

Secara umum, graywacke berwarna abu-abu tua hingga hitam, kompak, umumnya tidak memiliki stratifikasi internal atau gejala penyubanan, serta umumnya (namun tidak selalu) memperlihatkan grading. Pada singkapan kecil, graywacke dapat tertukar dengan batuan beku basa. Di bawah mikroskop, graywacke memperlihatkan kenampakan seperti mikrobreksi yang disusun oleh kuarsa yang menyudut, tajam, dan mirip dengan keratan bersama-sama dengan felspar dan fragmen batuan yang menyudut, dimana semua unsur rangka itu tertanam dalam matriks yang dalam beberapa sampel jumlahnya menyamai bahkan melebihi jumlah unsur rangka. Matriks itu berupa agregat mikrokristalin yang disusun oleh kuarsa, felspar, klorit, dan serisit, serta, pada beberapa tempat, digantikan secara tidak lengkap oleh material karbonat. Di bawah nikol bersilang, matriks hampir tidak tampak berbeda dengan fragmen batuan yang berbutir halus. Keduanya sukar untuk dibedakan. Sebagian ahli (mis. de Booy, 1966) berpendapat bahwa karena adanya kesulitan tersebut, volume matriks dalam graywacke telah diberi nilai yang berlebihan. Dalam sebagian graywacke, terdapat pengarahan folia dari serisit dan klorit. Pengarahan seperti itu dapat dipandang sebagai pendahulu dari skistositas. Walau demikian, dalam kebanyakan graywacke, matriksnya bersifat khaotik.

Komposisi graywacke agak bervariasi. Kuarsa umumnya merupakan material penyusun dominan. Dalam kebanyakan gray-wacke, kelimpahan kuarsa < 50%; pada sebagian graywacke, kelimpahannya ≤ 25%, bahkan ada pula yang < 10% (tabel 7-8). Hampir di setiap bagian graywacke, kuarsa hadir sebagai partikel yang menyudut dan umumnya memiliki gejala pemadaman bergelombang yang kuat. Sebagian graywacke mengandung kuarsa vulkanik. Sejalan dengan makin banyaknya material vulkanik (kuarsa vulkanik, fragmen batuan vulkanik, felspar yang memperlihatkan zonasi kuat, serta kristal euhedra yang terpecah-pecah), graywacke berubah secara berangsur menjadi tuff dan batupasir tufaan yang diendapkan pada lingkungan akuatis. Felspar biasanya hadir dalam graywacke. Pada beberapa kasus, jumlah felspar menyamai, bahkan melebihi jumlah kuarsa. Secara umum, felspar itu berupa plagioklas, biasanya very sodic, mendekati albit. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa hasil analisis kimia ruah graywacke sering memperlihatkan kadar Na2O yang tinggi. Sebenarnya, felspar penyusun graywacke mungkin sebelumnya lebih bersifat calcic, dimana kalsium yang larut tampak dalam batuan sebagai replacement kalsit yang tidak merata. K-felspar umumnya tidak hadir dalam graywacke. Sukar untuk menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Hal itu mungkin dapat dinisbahkan pada provenansi. Maksudnya, material penyusun graywacke itu berasal dari batuan sumber dioritik kuarsa atau batuan granitik sodic. Hal itu juga dapat dinisbahkan pada beberapa aksi diagenesis atau meta-morfisme tingkat rendah (Gluskoter, 1964).

Mika detritus, baik yang berupa muskovit maupun biotit (dan biotit yang mengalami kloritisasi) sering ditemukan, namun biasanya dalam jumlah yang relatif sedikit.

Fragmen batuan hadir dalam graywacke dalam kelimpahan dan keragaman yang tinggi. Mattiat (1960), misalnya saja, menemukan ada 19 tipe fragmen batuan dalam Kulm Graywacke di Pegunungan Harz. Fragmen batuan yang rata-rata membentuk 26% fraksi pasir dalam graywacke itu berupa batuan vulkanik asam hingga basa, beberapa tipe batuan metamorf tingkat rendah (termasuk kuarsit, sekis mika, sekis serisit, dan sekis klorit), serta fragmen batuan sedimen (termasuk beberapa tipe batupasir dan sabak).

Berdasarkan kelimpahan relatif dari felspar dan fragmen batuan yang ada didalamnya, graywacke dapat dibedakan menjadi dua kategori utama: (1) feldspathic graywacke, di dalam batuan mana felspar lebih melimpah dibanding fragmen batuan; dan (2) lithic graywacke, di dalam batuan mana fragmen batuan lebih melimpah dibanding felspar. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, graywacke berubah menjadi volcanic graywacke sejalan dengan bertambahnya kadar kuarsa vulkanik, felspar yang mem-perlihatkan zonasi, fenokris yang pecah-pecah, dan fragmen batuan vulkanik. Banyak volcanic wacke sangat miskin akan kuarsa. Batuan itu selanjutnya berubah secara berangsur menjadi tuff endapan akuatis. Istilah quartz wacke pernah digunakan untuk menamakan graywacke yang sangat kaya akan kuarsa. Batuan itu jarang ditemukan dan ditafsirkan merupakan produk provenansi batuan sedimen.

Dengan beberapa pengecualian, graywacke memiliki komposisi kimia ruah yang relatif jelas (tabel 7-9). Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, graywacke kaya akan Al2O3, FeO, MgO, dan Na2O. Tingginya kadar Na2O mencerminkan bahwa felspar yang hadir didalamnya kemungkinan berupa albit; tingginya kadar MgO dan FeO muncul karena adanya matriks klorit yang kaya akan besi. Graywacke berbeda dari arkose karena dalam graywacke kadar Na2O lebih tinggi dibanding K2O, kadar MgO lebih tinggi daripada CaO, dan kadar FeO lebih tinggi dibanding Fe2O3. Graywacke memiliki komposisi ruah yang tidak jauh berbeda dari granodiorit. Komposisi graywacke biasanya berbeda dengan komposisi batuan sumber karena mengalami pengayaan dalam SiO2 dan pengurangan dalam Al2O3, besi, alkali, dan tanah alkali. Jadi, kemiripan kimia antara graywacke dengan granodiorit mengindikasikan pelapukan dan pemilihan yang terhambat. Pasir masa kini di Columbia River (Whetten, 1966) memiliki komposisi kimia ruah yang sangat mirip dengan graywacke. Komposisi mineralnya mengindikasikan provenansi campuran dari batuan granitik dan batuan vulkanik.

7.5.3.2 Masalah Matriks

Sebagaimana dikemukakan oleh Cummins (1962), matriks merupakan “esensi dari masalah graywacke“. Matriks telah di-jelaskan dengan banyak cara. Selama matriks itu memiliki komposisi yang mirip dengan batusabak, matriks dianggap sebagai hasil rekristalisasi di bawah kondisi metamorfisme tingkat rendah pada lumpur detritus asli. Jika demikian halnya, maka masalah yang ada adalah bagaimana caranya untuk menjelaskan pengendapan pasir dan lumpur secara bersamaan. Arus akuatis normal berlaku sebagai agen pemilah sedemikian rupa sehingga pasir dan lumpur akan terakumulasi secara terpisah. Sungai yang didominasi oleh pasir dan mengangkut lumpur sekalipun relatif “bersih” dan bebas akan lumpur. Woodland (1938), salah seorang yang pertama-tama menelaah masalah tersebut, berpendapat bahwa elektrolit-elektrolit yang ada dalam air laut akan menyebabkan terjadinya flokulasi lumpur sedemikian rupa sehiingga pasir dan lumpur akan diendapkan secara bersamaan. Walau demikian, hanya sedikit (jika ada) pasir laut-dangkal masa kini yang memperlihatkan gejala seperti itu.

Masalah matriks dari graywacke juga pernah dijelaskan berdasarkan cara-cara pengangkutan dan pengendapan tertentu. Kuenen & Migliorini (1950), misalnya saja, menyatakan bahwa “… semua gejala graded graywacke yang luar biasa dan semula menjadi teka-teki dapat dengan mudah dijelaskan sebagai produk aktivitas arus turbid berdensitas tinggi.” Arus yang disusun oleh material halus yang tersuspensi tersebut mampu mengangkut pasir melalui lereng bawahlaut menuju perairan dalam di tempat mana, setelah terhambat, akan mengendapkan bebannya yang berupa pasir dan lumpur. Endapan itu berupa graded graywacke yang mengandung matriks lumpur. Pengendapan pasir seperti itu dalam cekungan laut-dalam dapat menjelaskan kegagalan kita selama ini dalam menemukan endapan masa kini yang ekivalen dengan graywacke. Walau demikian, endapan seperti itu tidak muncul di laut-dalam masa kini dan endapan yang diperkirakan merupakan produk arus turbid umumnya tidak mengandung matriks (Hollister & Heezen, 1964). Pembahasan-pembahasan teoritis (Kuenen, 1966) juga menunjukkan bahwa endapan yang mengandung matriks tidak lebih dari 10%.

Gagasan lain yang dirancang untuk menjelaskan munculnya matriks dalam pasir adalah infiltrasi lumpur setelah pasirnya sendiri diendapkan; infiltrasi itu sendiri terjadi akibat adanya pergerakan air pengisi ruang pori yang berasal dari lapisan-lapisan yang terletak di atas dan di bawah endapan yang mengandung matriks itu (Emery, 1964; Klein, 1963).

Matriks jelas merupakan produk rekristalisasi dan sejak lama diketahui bahwa sebagian matriks bereaksi dengan partikel detritus yang ada disektiarnya. Batas-batas kuarsa yang rusak akibat kerja air dapat hilang seluruhnya; batas-batas yang terlihat sekarang merupakan jenis chevaux-de-frise dari kristal klorit berwarna hijau yang masuk menembus kuarsa transparan. Fakta seperti yang disebutkan terakhir ini telah diketahui sejak lama oleh Greenly (1897) serta didukung oleh ahli lain (Krynine, 1940). Irving dan Van Hise (1892) menisbahkan matriks pada “… alterasi felspar menjadi material mikaan.” Baru-baru ini, Cummins (1962) menisbahkan semua, atau hampir semua, matriks pada diagenesis. Dia menyatakan bahwa sebagian besar turbidit Tersier dan Resen tidak mengandung matriks dalam jumlah yang relatif banyak sebagaimana terlihat dalam turbidit Paleozoikum dan Prakambrium. Turbidit Paleozoikum dan Prakambrium diasumsikan telah terkubur jauh di dalam bumi dan mengalami meta-morfosa sedemikian rupa sehingga material penyusun yang labil, terutama fragmen batuan dan felspar, terubah (gambar 7-7). Apabila pasir masa kini, yang secara kimia mirip dengan graywacke (Hawkins & Whetten, 1969), dikenai oleh tekanan 1 kb maka dalam pasir itu akan terbentuk graywacke sintetis. Percobaan tersebut, bersama-sama dengan hasil penelitian Brenchley (1969), yang menunjukkan bahwa matriks sebagian volcanic graywacke Ordovisium rata-rata menyusun 40–60% ruah batuan tidak akan ada apabila dalam batuan tersebut terdapat semen kalsit, mengindikasikan bahwa matriks terbentuk akibat proses-proses diagenesis. Semen kalsit agaknya menghambat pembentukan matriks.

Hingga disini kita dapat menyimpulkan bahwa matriks dapat terbentuk oleh beberapa cara. Sebagaimana dikemukakan oleh Dickinson (1970), kita dapat mengenal adanya protomatriks (protomatrix), ortomatriks (orthomatrix), epimatiks (epimatrix), dan matriks semu (pseudomatrix). Protomatriks adalah lempung detritus yang terjebak diantara partikel-partikel pasir. Ortomatriks merupakan material hasil rekristalisasi. Epimatriks adalah material hasil perubahan diagenetik terhadap partikel berukuran pasir. Matriks semu adalah material hasil deformasi dan penekanan fragmen pelit yang lunak. Meskipun dapat terbentuk oleh salah satu cara tersebut di atas, namun matriks dalam graywacke tua agaknya merupakan epimatriks yang terbentuk akibat meta-morfisme tingkat rendah atau diagenesis tingkat tinggi yang berlangsung jauh di dalam bumi. Proses terbentuknya matriks seperti itu dinamakan oleh Kuenen (1966) sebagai graywackezation.

7.5.3.3 Masalah Soda

Tingginya kadar Na2O dalam graywacke telah diterangkan dengan banyak cara (Engel & Engel, 1953).

Natrium oksida agaknya terutama terdapat dalam felspar yang komposisinya mendekati albit. Tanner Graywacke (Helmbold, 1952), misalnya saja, mengandung 3,5% Na2O yang, jika terkandung dalam albit, hal itu mengindikasikan bahwa albit dalam graywacke itu memiliki kelimpahan sekitar 30%. Hal itu sejalan dengan data pengamatan selama ini yang menunjukkan bahwa graywacke mengandung 30–40% felspar dan bahwa 80–90% diantara felspar itu memiliki komposisi An3-10.

Felspar merupakan komponen detritus. Apakah khuluk felspar yang cenderung berupa albit itu merupakan khuluk asli atau merupakan produk diagenesis? Asosiasi yang erat antara eugeosynclinal graywacke dengan batuhijau (greenstone; spilite) mengindikasikan bahwa masalah itu erat kaitannya dengan asal-usul spilit (Turner & Verhoogen, 1960). Ada beberapa bukti menunjukkan terjadinya albitisasi pasca-pengendapan. Graywacke mengandung potongan kalsit yang tidak beraturan bersama-sama dengan urat kalsit. Albitisasi felspar mungkin menyebabkan terlepasnya CaO. Selain itu, jika albit merupakan material penyusun asli, mengapa batusabak yang berasosiasi dan berselingan dengan graywacke tidak kaya akan soda? Strata pelitik yang berselingan dengan graywacke dalam beberapa paket graywacke di New Zealand memiliki nisbah Na2O/K2O yang normal, dimana kadar K2O jauh lebih tinggi dibanding Na2O, sedangkan dalam graywacke yang berselingan dengannya justru K2O jauh lebih rendah dibanding Na2O (Reed, 1957). Di lain pihak, batuan plutonik dalam banyak paket endapan eugeosinklin kaya akan soda dan sebagian diantaranya berasosiasi dengan strata pelitik yang memiliki kadar Na2O lebih tinggi dibanding angka normal (Walker & Pettijohn, 1971). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ketidakhadiran K-felspar merupakan salah satu ciri khas dari graywacke. Ketidakhadiran K-felspar dinisbahkan pada pelarutan dan penghilangan pasca-pengendapan (Gluskoter, 1964).

Masalah Na masih belum terpecahkan.

7.5.3.4 Keberadaan dan Kebenaan Geologi

Graywacke umumnya ditemukan dalam rekaman geologi tua, sebagian besar berumur Paleozoikum atau lebih tua dari itu, dan umumnya merupakan bagian dari paket endapan yang mirip dengan flysch. Graywacke umumnya berasosiasi dengan batuhijau (Tyrrell, 1933) serta merupakan batupasir tipikal untuk sabuk lipatan eugeosinklin. Graywacke eugeosinklin cenderung kaya akan felspar dan dapat dipandang sebagai bentuk transisi menuju volcanic wacke. Contoh-contoh graywacke Prakambrium adalah paket endapan Arkean di Perisai Canada (Pettijohn, 1934; Donaldson & Jackson, 1965; Walker & Pettijohn, 1971) dan di Perisai Fennoscandia (Simonen & Kuovo, 1951) serta paket endapan Prakambrium “tua” di Afrika Selatan (Anhaeusser dkk, 1969). Contoh-contoh graywacke Paleozoikum adalah graywacke di Wales (Woodland, 1938; Okada, 1967), di Southern Highland, Scotlandia (Walton, 1955), Harz graywacke (Fischer, 1933; Helmhold, 1952; Mattiat, 1960), serta graywacke di New South Wales, Australia (Crook, 1955, 1960). Contoh-contoh graywacke Mesozoikum adalah graywacke di New Zealand (Reed, 1957), Fransiscan di California (Davis, 1918; Taliaferro, 1943; Bailey & Irwin, 1959), serta Kuskokwim graywacke (Kapur) di Alaska (Loney, 1964).

Graywacke juga ditemukan dalam geosinklin dimana vulkanisme jarang atau tidak terjadi. Contoh graywacke yang tidak berasosiasi dengan vulkanisme adalah graywacke dalam Thomson Slate dekat Duluth, Minnesota (Schwartz, 1942) dan Chelmsford Sandstone di Sudbury, Ontario, Canada (Williams, 1957). Formasi Martinsburg (Ordovisium) di bagian tengah Pegunungan Appalachia (McBride, 1962), graywacke dalam Normanskill Slate (Ordovisium) di New York (Weber & Middleton, 1961), serta Formasi Haymond (Karbon Akhir) di Texas (McBride, 1966) merupakan contoh graywacke Paleozoikum yang baik. Graywacke yang lebih muda antara lain graywacke Kapur di Jepang (Shiki, 1962; Okada, 1960, 1961) serta banyak graded sandstone di Pegunungan Appenine, Itali (Sestini, 1970). Semua contoh graywacke tersebut di atas merupakan graywacke miogeosinklin yang dicirikan oleh melimpahnya fragmen batuan; bukan oleh melimpahnya felspar.

Sebagai kesimpulan, graywacke (sebagaimana didefinisikan dalam buku ini) membentuk 1/5 hingga 1/4 batupasir serta paling banyak ditemukan dalam sabuk orogen Paleozoikum atau sabuk orogen Prakambrium. Graywacke tidak ditemukan dalam paket endapan kraton atau daerah perisai yang tidak terdeformasi. Sebagian besar graywacke merupakan endapan laut dan, dalam contoh-contoh yang disitir di atas, diyakini merupakan pasir turbidit yang termasuk ke dalam fasies flysch. Walau demikian, tidak semua pasir flysch dan tidak semua pasir turbidit merupakan graywacke.

7.5.4 Batupasir Kuarsa

7.5.4.1 Definisi-Definisi

Semua pasir terigen kaya akan kuarsa; tidak banyak kasus yang menunjukkan bahwa kuarsa bukan merupakan material utama penyusun batupasir. Karena itu, hampir semua batupasir dapat dinamakan batupasir kuarsa. Walau demikian, dalam batupasir tertentu, kuarsa hampir menjadi satu-satunya tipe komponen. Pasir seperti itu dinamakan ortokuarsit (orthoquartzite) oleh Tieje (1921). Istilah itu kemudian dipopulerkan dan didefinisikan secara cermat oleh Krynine (1945) yang menerapkan istilah tersebut untuk menamakan pasir yang seluruhnya disusun oleh partikel kuarsa yang tersemenkan oleh silika. Batuan seperti itu pada dasarnya merupakan kuarsit dalam pengertian tradisional, yakni batuan yang, apabila pecah, maka bidang-bidang pecahan akan memotong partikel-partikel kuarsa, bukan melalui sisi-sisinya. Batuan seperti itu bukan batuan metamorf (atau, dengan kata lain, bukan metakuarsit), melainkan merupakan batuan sedimen (atau, dengan kata lain, ortokuarsit). Sebagaimana ditekankan oleh Krynine (1948), banyak ortokuarsit mengandung semen karbonat. Sejalan dengan makin berkurangnya proporsi material non-silikaan dalam ortokuarsit, maka kohesivitas batuan itu juga makin menurun. Dengan demikian, meskipun istilah ortokuarsit memiliki pengertian yang lebih luas hingga mencakup batuan yang tidak terlalu kohesif seperti itu, bahkan mencakup pula pasir kuarsa masa kini yang lepas, namun perluasan seperti itu menimbulkan kerancuan dan kontroversi karena ber-tentangan dengan konsep lama mengenai “kuarsit” sebagai batuan yang sangat kompak (Mathur, 1958). Istilah lain yang diusul-kan untuk menamakan batuan seperti itu adalah batupasir kuarsa (quartz arenite) (Williams dkk, 1954), batupasir kuarsa (quartzarenite) (McBride, 1963). Istilah ortokuarsit digunakan secara luas selama bertahun-tahun, namun literatur masa kini menunjukkan bahwa istilah tersebut secara berangsur-angsur digantikan posisinya oleh istilah batupasir kuarsa (quartz arenite).

7.5.4.2 Kemas dan Komposisi

Sebagaimana didefinisikan di sini, batupasir kuarsa adalah pasir yang disusun oleh partikel detritus, dimana paling tidak 95% diantara partikel detritus itu berupa kuarsa. Partikel-partikel itu umumnya tersemenkan oleh kuarsa yang memperlihatkan kesinambungan optik dengannya. Pada kondisi seperti itu, batupasir kuarsa benar-benar merupakan ortokuarsit. Batupasir kuarsa yang lain tersemenkan oleh kalsit atau tidak tersemenkan sama sekali. Varietas batupasir kuarsa yang tersemenkan oleh kuarsa sangat resisten terhadap erosi dan, oleh karena itu, seringkali membentuk punggungan. Banyak batupasir kuarsa merupakan endapan selimut yang relatif tipis. Sebagian lain cukup tebal (ketebalannya sekitar 1000 m), terutama batupasir kuarsa Prakambrium. Gelembur dan graded bedding banyak ditemukan dalam batupasir kuarsa.

Kuarsa dalam ortokuarsit umumnya berupa kuarsa monokristalin. Kuarsa polikristalin relatif kurang stabil dibanding kuarsa monokristalin sehingga banyak diantaranya hilang selama berlangsungnya proses-proses pembentukan batupasir kuarsa (Blatt, 1967). Karena itu pula, kuarsa dalam batupasir kuarsa seringkali memperlihatkan pemadaman yang tajam, bukan pemadaman bergelombang (Blatt & Christie, 1963). Kuarsa dalam batupasir kuarsa terpilah sangat baik dan membundar. Karena itu, batu-pasir kuarsa merupakan tipe batuan klastika yang secara tekstural maupun komposisional memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi.

Material lain jarang ditemukan dalam batupasir kuarsa. Material yang biasa hadir dalam batupasir kuarsa adalah partikel rijang atau fragmen kuarsit. Mineral berat sangat jarang ditemukan dalam batupasir kuarsa dan, kalaupun ada, biasanya berupa partikel turmalin dan zirkon yang membundar baik, meskipun ilmenit dan rutil masih mungkin ditemukan (atau leucoxene yang berasal dari rutil dan ilmenit).

Silika merupakan jenis material yang biasa berperan sebagai penyemen dalam bapasir kuarsa. Silika itu biasanya diendap-kan sebagai kuarsa yang memperlihatkan kesinambungan optik dan kristalografi dengan kuarsa detritus. Dalam pasir yang tidak tersemenkan sepenuhnya oleh silika, kuarsa sekunder memperlihatkan faset-faset kristal yang memantulkan cahaya sedemikian rupa sehingga batupasir itu akan tampak berkilauan di bawah sinar matahari. Kristal kuarsa hasil pertumbuhan sekunder menjadi material pembatas ruang pori dalam batupasir kuarsa. Dalam pasir yang lebih mudah diremas, partikel kuarsa memper-lihatkan ujung-ujung piramidal yang berkembang baik. Pengamatan terhadap batupasir kuarsa menunjukkan bahwa ujung-ujung piramidal itu lebih kurang berimpit dengan sumbu panjang dari kuarsa detritus yang berperan sebagai “inti”. Hasil akhir dari proses pembesaran partikel kuarsa seperti tersebut di atas adalah menurunnya volume ruang pori serta tumbuhnya partikel-partikel kuarsa yang saling berdampingan sedemikian rupa sehingga memperlihatkan pola saling kesit (interlocking); jejak batas-batas partikel detritus biasanya ditandai oleh suatu garis inklusi. Dalam sejumlah batupasir kuarsa, “cincin debu” (“dust ring”) tersebut sangat samar, bahkan tidak terbentuk sama sekali. “Cincin debu” itu paling jelas terlihat apabila partikel detritus yang mengalami pertumbuhan itu semula terselimuti oleh material oksida besi.

Banyak ortokuarsit memperlihatkan gejala tekanan-pelarutan dalam bentuk pita stilolit (stylolitic seam) (Heald, 1955) dan kontak mikrostilotit (microstylolitic grain contact). Kontak tersebut biasanya melibatkan partikel-partikel rijang. Pressure solution membantu mentransformasikan pasir kuarsa menjadi kuarsit. Proses tersebut telah dijelaskan secara mendetil oleh Skolnick (1965). Proses yang sama dapat terjadi apabila pasir kuarsa lepas dikenai oleh tekanan tinggi dan peningkatan temperatur jika dalam ruang-ruang pori terdapat larutan yang sesuai (Maxwell, 1960; Ernst & Blatt, 1964). Walau demikian, kenampakannya sangat menyesatkan. Ortokuarsit, apabila diamati dengan menggunakan teknik luminescence microscopy, memperlihatkan bahwa banyak kasus yang diasumsikan merupakan kasus pressure solution sebenarnya tidak lebih dari sekedar produk akhir dari pembesaran partikel kuarsa (Sippel, 1968).

Sebagian batupasir kuarsa tersemenkan oleh silika lain, misalnya opal dan kalsedon, yang membentuk selimut pada partikel-partikel detritus. Semen kalsedon dapat berwujud serat-serat halus, dimana arah penyeratannya tegak lurus terhadap permukaan partikel. Secara umum, semen opal hanya ditemukan secara terbatas pada batupasir yang sangat muda. Dalam batupasir yang relatif tua, semen opal mengalami devitrifikasi yang terubah menjadi kalsedon.

Batupasir kuarsa yang relatif muda juga dapat tersemenkan oleh karbonat, terutama kalsit (meskipun kadang-kadang juga oleh dolomit). Dalam batupasir seperti itu, setiap ruang pori terisi, atau terisi sebagian, oleh satu kristal karbonat. Dalam kasus yang luar biasa, kristal karbonat yang tumbuh dalam ruang pori itu dapat demikian besar dan menyelimuti sejumlah partikel detritus. Hal itu menyebabkan terbentuknya batupasir yang tampak berbintik-bintik. Sebagaimana telah dikemukakan sebelum-nya, semen karbonat dapat menembus dan mengkorosi partikel kuarsa detritus.

Sejalan dengan kehadiran felspar, batupasir secara berangsur berubah statusnya dari batupasir kuarsa menjadi subarkose atau, jika fragmen batuan muncul dalam jumlah yang relatif banyak, menjadi protokuarsit (protoquartzite; sublitharenite). Transisi itu juga dicirikan oleh kemunculan kuarsa polikristalin dalam jumlah yang cukup banyak serta oleh kehadiran partikel kuarsa yang agak menyudut.

Ortokuarsit dan batupasir lain yang berkaitan dengannya jarang yang mengandung fosil. Dalam ortokuarsit, dengan pengecualian ortokuarsit yang kaya akan material karbonatan, cangkang karbonat jarang dapat terawetkan dengan baik. Agregat kalsit dapat tersebar secara tidak merata dalam ortokuarsit. Agregat seperti itu ditafsirkan sebagai material penyusun rangka organisme yang telah mengalami pelarutan dan represipitasi. Krynine (1940) menemukan efek pelarutan parsial pada rangka organisme, khususnya penipisannya, serta sementasi lengkap pada pasir yang ada dalam rangka tersebut oleh kalsit.

Sebagaimana diperlihatkan pada tabel 7-10, batupasir kuarsa dan batupasir lain yang berkaitan dengannya sangat kaya akan SiO2. Pada beberapa kasus, batupasir kuarsa hanya mengandung oksida lain dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari 1%. Batupasir seperti itu merupakan salah satu bentuk konsentrasi silika yang paling besar dan paling murni yang pernah dikenal selama ini. Batupasir seperti itu merupakan sumber silika komersil dan, jika mengandung besi dalam jumlah yang cukup rendah, sesuai untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kaca. Batupasir yang mengandung relatif banyak semen karbonat akan mengandung CaO dan CO2 dalam jumlah yang cukup tinggi dan, dalam beberapa kasus, juga mengandung MgO, sejalan dengan berkurangnya kadar SiO2. Varietas batupasir yang berbutir halus, dan batupasir kuarsa yang merupakan bentuk transisi menuju subarkose dan protokuarsit, akan mengandung Al2O3 dan K2O dalam jumlah yang relatif tinggi.

7.5.4.3 Penyebaran dalam Ruang dan Waktu

Ortokuarsit ditemukan di banyak tempat dalam paket endapan yang umurnya beragam. Walau demikian, kelihatannya ortokuarsit paling banyak ditemukan dalam endapan Prakambrium dan Paleozoikum awal. Endapan Arkean agaknya tidak terlalu banyak mengandung ortokuarsit. Contoh endapan Prakambrium seperti itu adalah Sioux Quartzite di Minnesota, Iowa, dan South Dakota (Rothrock, 1944); Baraboo dan Waterloo quartzite di Wisconsin (Brett, 1955), Sturgeon Quartzite dan Mesnard Quartzite di Michigan; Palms Quartzite di Wisconsin dan Michigan; Upper Lorain Quartzite di pesisir utara Danau Huron, Ontario (Hadley, 1968); serta Odjick Formation di Northwest Territories (Hoffman dkk, 1970). Endapan-endapan itu memiliki ketebalan 1000 m atau lebih dan umumnya mengandung struktur lapisan silang-siur dan gelembur. Sedimen pelitik jarang yang menyisip diantara lapisan-lapisan ortokuarsit tersebut, bahkan tidak ada sama sekali. Contoh lainnya adalah Sibley Sandstone (Keweenawan) di Thunder Bay, Danau Superior, dan Hinckley Sandstone (Thiel & Dutton, 1935) di Minnesota. Athabaska Formation di bagian utara Saskatchewan (Fahrig, 1961, yang melingkupi daerah seluas 104.000 km2, dan Thelon Formation dengan luas penyebaran yang lebih kurang sama di Northwest Territories (Donaldson, 1967) adalah batupasir kuarsa Prakambrium akhir.

Endapan Paleozoikum awal di Amerika Serikat banyak yang berupa batupasir kuarsa. Berbeda dengan batupasir kuarsa Prakambium, batupasir kuarsa Paleozoikum awal tidak tersemenkan dengan baik, jauh lebih tipis, namun tersebar cukup luas. Pada Upper Mississippi Valley dapat ditemukan endapan Kambro-Ordovisium seperti Dresbach, Franconia, dan Jordan sandstones (Graham, 1930), endapan Ordovisium seperti New Richmond dan St. Peter sandstones (Dake, 1921; Thiel, 1935). Di bagian tengah Pegunungan Appalachia, ditemukan Gratesburg dan Chickies Quartzite yang berumur Kambrium serta Oriskany sandstone yang berumur Devon. Keduanya merupakan contoh yang baik dari batupasir kuarsa. Tulip Creek sandstone (Ordovisium) di Pegunungan Arbuckle, Oklahoma, serta Blakeley dan Crystal Mountain sandstones di Pegunungan Ouachita juga merupakan ortokuarsit. Contoh batupasir kuarsa di bagian barat Amerika Serikat adalah Flathead Quartzite (Kambrium) di Wyoming, Eureka Quartzite (Ordovisium) di Nevada, serta Swan Peak Quartzite di Idaho (Ketner, 1966). Contoh batupasir kuarsa Paleozoikum akhir antara lain Tensleep Sandstone di Wyoming dan Casper Formation dan Weber Quartzite di Utah.

Dakota Sandstone (Kapur) di Great Plains dan beberapa pasir Tersier yang relatif tipis, misalnya Cohansey sandstone di New Jersey (Carter, 1972), juga merupakan batupasir kuarsa.

Contoh batupasir kuarsa di Eropa adalah Hardebergs sandstone di Swedia (Hadding, 1929), Malvern Quartzite (Kambrium) di Inggris, serta batupasir Lauhavuori di Finlandia (Simonen & Kuovo, 1955). Beberapa batupasir Kapur, termasuk didalamnya Quadersandstein di Pegunungan Harz (Rinne, 1923), merupakan contoh yang baik untuk batupasir kuarsa. Fountainebleau Sandstone (Tersier) di Prancis (Cayeux, 1929) juga merupakan contoh yang baik untuk batupasir kuarsa.

Dari penjelasan singkat di atas, jelas sudah bahwa batupasir kuarsa sering ditemukan (batupasir itu mungkin menyusun 1/3 semua batupasir), bahwa sebagian besar batupasir kuarsa berumur Prakambrium atau Paleozoikum awal (batupasir kuarsa yang paling tebal adalah batupasir kuarsa Prakambrium), dan bahwa batupasir kuarsa banyak ditemukan di daerah kraton yang stabil. Banyak batupasir kuarsa berasosiasi erat dengan batugamping dan dolomit. Sebagian besar batupasir kuarsa tidak mengandung sisipan serpih. Meskipun ortokuarsit merupakan batupasir yang khas untuk daerah perisai yang stabil, namun sebagian batupasir kuarsa juga menyebar hingga tepi sabuk miogeosinklin. Banyak ahli menafsirkan bahwa batupasir seperti itu sebenarnya dulu diendapkan di daerah stabil. Ortokuarsit juga tidak pernah ditemukan dalam fasies eugeosinklin, meskipun ada pengecualian untuk itu. Ketner (1966), misalnya saja, menemukan ortokuarsit Ordovisium (yakni Valmy Formation) dalam mandala eugeosinklin di Nevada, di tempat mana ortokuarsit berasosiasi dengan batuhijau (greenstone) dan rijang berlapis.

7.5.4.4 Asal-Usul dan Kebenaan Geologi

Tingginya kadar kuarsa dan sempurnanya pemilahan dan pembundaran yang diperlihatkan oleh ortokuarsit merupakan indikator dari tingginya kematangan komposisi dan tekstur dari batupasir itu. Batuan itu jelas merupakan produk akhir dari pelapukan, pemilahan, dan abrasi. Agar tersedia waktu yang memungkinkan terbentuknya produk seperti itu, maka daerah sumber dan tempat pengendapan batupasir itu kemungkinan besar merupakan daerah yang secara tektonik bersifat stabil atau batupasir itu telah mengalami beberapa kali siklus sedimentasi. Sebagian besar ahli, berdasarkan hasil penelitian eksperimental mengenai abrasi pasir (Kuenen, 1959b) serta berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai sungai masa kini, misalnya Sungai Mississippi (Russell & Taylor, 1937; Russell, 1937), berpendapat bahwa tipe batupasir kuarsa sebagaimana yang ditemukan dalam rekaman geologi tidak akan pernah dapat dihasilkan oleh aksi sungai, berapapun lamanya proses itu berlangsung.

Kuenen (1960) menyimpulkan bahwa pembundaran pasir hanya dapat tercapai pada lingkungan eolus dan bahwa tingginya pembundaran pasir mengindikasikan bahwa pasir itu suatu saat pernah berperan sebagai endapan eolus, meskipun hal itu tidak berarti bahwa lingkungan pengendapan terakhir dari pasir itu adalah lingkungan eolus. Kesimpulan itu mengimplikasikan bahwa batupasir kuarsa memiliki asal-usul yang kompleks dan bahwa batupasir itu merupakan endapan beberapa siklus sedimentasi. Asal-usul seperti itu sukar untuk dapat diketahui berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam batupasir itu sendiri. Bukti-bukti konklusif seperti worn overgrowth memang pernah ditemukan, namun jarang yang dapat terlihat.

Meskipun Kuenen telah menarik kesimpulan seperti itu, namun hasil-hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa proses pencucian dan winnowing yang berulang-ulang terhadap pasir yang ada pada zona limpasan (surf zone) dapat menghasilkan pasir yang sangat matang. Hasil pengamatan Folk (1960) terhadap perselingan pasir yang membundar baik dengan pasir yang pembundarannya relatif rendah dalam Tuscarora Quartzite (Silur) di West Virginia mengindikasikan bahwa perbedaan kebundar-an itu merupakan produk dari lingkungan pengendapan lokal, dimana pasir yang paling matang ditafsirkan sebagai endapan gisik. Proses pencucian dan winnowing lokal seperti itu tampaknya mampu “membersihkan” pasir.

Sebagian besar pasir masa kini bukan merupakan batupasir kuarsa. Beberapa pengecualian untuk itu (Mizutani & Suwa, 1966) adalah pasir yang berasal dari batupasir kuarsa yang terletak relatif berdekatan dengan tempat pengendapan pasir itu. Kasus seperti itu ditemukan pada beberapa pasir gisik di Gulf Coast, sebelah baratlaut Florida, di tempat mana pasir tersebut mengandung lebih dari 99% silika (Burchard, 1907). Tidak adanya pasir kuarsa masa kini, serta jarangnya ditemukan batupasir kuarsa dalam rekaman geologi yang relatif muda (kecuali mungkin batupasir Kapur), melimpahnya batupasir kuarsa dalam paket endapan Kambrium, serta jarang ditemukannya batupasir kuarsa dalam paket endapan Arkean perlu mendapatkan penjelasan. Seseorang dapat menyimpulkan bahwa ortokuarsit menandai masa-masa stabilitas tinggi—base levelling dan pelapukan yang berlangsung lama. Jika memang demikian halnya, maka bumi sekarang ini (mungkin sejak Kapur) berada dalam kondisi yang tidak stabil dan memiliki relief yang tinggi. Kondisi ketidakstabilan itulah yang kemudian menyebabkan terbentuknya tipe-tipe batupasir lain yang tidak matang. Hubungan antara stabilitas tektonik dengan petrografi batupasir akan dibahas lebih jauh pada bagian akhir dari bab ini.

7.5.5 Batupasir Lain

Ada beberapa tipe batupasir yang tidak termasuk ke dalam kategori-kategori batupasir yang telah dijelaskan di atas. Selain pasir vulkanik dan pasir kabonat, masih terdapat tipe-tipe pasir khusus seperti pasirhijau (greensand), batupasir fosfat (phosphatic sandstone), batupasir kalkarenit (calcarenaceous sandstone), pasir plaser (placer sand), dan itacolumit (itacolumite).

7.5.5.1 Pasirhijau

Istilah pasirhijau (greensand) digunakan untuk menamakan pasir yang kaya akan glaukonit. Di bawah suryakanta, pasirhijau yang hampir sempurna akan tampak seluruhnya disusun oleh glaukonit; kelimpahan kuarsa < 1%. Walau demikian, dalam kebanyakan pasirhijau, kuarsa merupakan material penyusun utama dengan kelimpahan 50% atau lebih. Pasir yang terutama disusun oleh glaukonit berwarna hijau muda hingga hijau tua. Pasir campuran memiliki kenampakan seperti garam-dan-merica. Pasirhijau banyak ditemukan dalam endapan Kapur dan Eosen di Dataran Pantai timur Amerika Serikat, terutama di sekitar New Jersey dan Delaware (Ashley, 1918; Mansfield, 1920). Meskipun individu-individu lapisan pasir hijau jarang yang memilki ketebalan lebih dari 7,5 meter, namun umumnya memiliki penyebaran yang cukup luas. Pasirhijau merupakan sumber kalium yang potensial. Komposisi kimia dari beberapa pasirhijau disajikan dalam tabel 7-11. Sebagaimana yang mungkin telah diperkirakan, komposisi pasirhijau sangat bervariasi, tergantung pada proporsi glaukonit dan material detritus lain serta pada jenis dan volume semen yang ada didalamnya.

Asal-usul dan kenampakan pasirhijau erat kaitannya dengan masalah glaukonit. Pengetahuan kita mengenai geologi dan penyebaran glaukonit telah disarikan oleh Hadding (1932), Cloud (1955), Galliher (1936, 1939), Goldman (1919), Takahashi (1939), dan Schneider (1927). Menurut Cloud (1955), glaukonit hanya terbentuk pada air laut yang salinitasnya normal; pembentukan glaukonit hanya memerlukan sedikit kondisi reduksi (kondisi oksidasi lemah, menurut Chilingar, 1955); pem-bentukannya difasilitasi oleh kehadiran material organik; terbentuk pada perairan yang dalamnya 10-400 depa; hanya terbentuk pada daerah yang laju sedimentasinya rendah; serta terutama terbentuk dari mineral mika atau lumpur dasar laut yang kaya akan besi. Sebagaimana dikemukakan oleh Hadding (1932) dan peneliti lain, tempat pembentukan glaukonit mungkin tidak sama dengan tempat pengendapannya karena glaukonit dapat terombakkan dan terangkut ke tempat lain.

Galliher (1936, 1939) menyimpulkan bahwa glaukonit berasal dari biotit melalui pelapukan bawahlaut. Dia mengamati sejumlah partikel transisi yang menunjukkan transformasi tersebut. Dia juga menyatakan bahwa, di Monterey Bay (California), pasir yang kaya akan biotit dan terletak dekat pesisir kemudian berubah secara berangsur secara horizontal ke arah lepas pantai menjadi pasir lanauan yang disusun oleh campuran mika dengan glaukonit, kemudian berubah lagi menjadi lumpur glaukonit pada kedalaman 100 depa. Gruner (1935) menunjukkan susunan ion dari unit cell glaukonit dan biotit sangat mirip (bahkan mungkin sebenarnya identik) sehingga transformasi biotit menjadi glaukonit tidak memerlukan perubahan yang besar. Meskipun hasil-hasil pengamatan Galliher memperoleh dukungan dari ahli lain yang melakukan penelitian di tempat lain (misalnya Edwards, 1945), namun sebagian glaukonit tampaknya tidak terbentuk dari mika (Allen, 1937). Sebagaimana dikemukakan oleh Takahashi (1939), glaukonit berasal dari sejumlah material, misalnya pelet kotoran; zat lempungan pengisi ruang kosong yang ada dalam foraminifera, radiolaria, dan cangkang organisme laut; atau mineral silikat seperti gelas vulkanik, felspar, mika, atau piroksen. Material organik agaknya menjadi fasilitator proses glaukonitisasi. Material asal mengalami penghilangan alumina, silika, dan alkali (kecuali kalium) dan mendapatkan ferric iron dan kalium. Air laut agaknya merupakan salah satu persyaratan esensil yang memungkinkan terjadinya proses glaukonitisasi.

Meskipun pasir glaukonit dapat ditemukan mulai dari Prakambrium hingga masa sekarang, namun pasir itu agaknya lebih banyak ditemukan dalam endapan Kambrium. Dengan demikian, Kapur tampaknya merupakan zaman glaukonitisasi. Di banyak tempat, misalnya di Dataran Pantai Atlantik, masa pembentukan glaukonit itu terus berlanjut hingga Paleosen dan Eosen.

7.5.5.2 Batupasir Fosfat

Material fosfatik, yang umumnya dinamakan kolofan (collophane) dan merupakan fluorapatit karbonat yang tersusun buruk, dapat membentuk semen dalam pasir, namun dapat pula menjadi material penyusun rangka batupasir.

Banyak pasir mengandung sedikit material rombakan fosfatik, material rangka fosfatik, atau nodul dan granul fosfatik. Pasir glaukonit (tabel 7-11) cenderung kaya akan material fosfatik. Dalam beberapa pasir, fosfat berperan sebagai semen (sebagai kristal-kristal renik yang menyelimuti partikel kuarsa atau sebagai material mikrokristalin pengisi ruang-ruang pori) (Bushinsky, 1935; Gressman & Swanson, 1964). Sebagian fosforit merupakan pasir yang disusun oleh granul atau ooid fosfatik yang ber-campur dalam proporsi yang beragam dengan partikel-partikel kuarsa detritus.

7.5.5.3 Batupasir Kalkarenitan

Batupasir, terutama batupasir kuarsa, berubah secara berangsur menjadi batugamping kalkarenit. Tipe transisi antara keduanya adalah campuran kuarsa detritus dan material rombakan detritus (material rangka dan material oolitik). Istilah batupasir kalkarenitan (calcarenaceous sandstone) disarankan untuk digunakan sebagai nama batupasir seperti itu. Istilah itu diciptakan untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dengan batupasir gampingan (calcareous sandstone). Istilah batupasir gampingan digunakan untuk menamakan batupasir biasa yang tersemenkan oleh material karbonat. Kita juga perlu berhati-hati dalam membedakan kalkarenit dan batupasir kalkarenitan di satu pihak dengan calclithite. Calclithite adalah lithic sandstone yang mengandung material rombakan karbonat terigen.

Pasir masa kini yang ada di beberapa tempat merupakan campuran dari detritus karbonat kimia atau biokimia dengan kuarsa detritus. Di pantai timur Florida, komponen-komponen silikaan diangkut ke selatan oleh shore drift dan bercampur dengan material rombakan cangkang yang terbentuk di tempat itu. Di bagian utara, kuarsa berperan sebagai material penyusun dominan; makin ke selatan, proporsi material karbonat makin banyak (Martens, 1935).

Contoh pasir kalkarenitan purba banyak ditemukan, misalnya Loyalhanna di Pennsylvania (Adams, 1970) dan Greenbrier di West Virginia (Rittenhouse, 1949). Kedua pasir itu berumur Karbon Awal. Loyalhanna disusun oleh sekitar 40–45% kuarsa, 35% karbonat detritus, dan 30% semen karbonat. Komposisi kimia batuan ini disajikan pada tabel 7-11. Cow Creek Formation (Kapur) di dekat Fredericksburg, Texas, mungkin terbentuk di pantai dan merupakan pasir kalkarenitan.

7.5.5.4 Pasir Plaser

Pasir plaser (placer sand) merupakan tipe pasir yang jumlahnya relatif tidak banyak. Walau demikian, dilihat dari kacamata mineralogi, pasir itu sangat menarik. Selain itu, meskipun volumenya kecil, namun pasir plaser seringkali memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena kaya akan titanium, zirkon, dan thorium. Plaser merupakan akumulasi lokal yang dihasilkan oleh aksi sungai dan gisik. Pasir plaser biasanya relatif tipis (ketebalannya jarang > 1 atau 2 m) dan memiliki penyebaran yang relatif terbatas.

Contoh pasir plaser gisik masa kini sangat banyak. Pasir plaser di Oregon (Griggs, 1945) memiliki konsentrasi kromit; pasir plaser di Florida dimanfaatkan karena relatif kaya akan ilmenit, zirkon, dan rutil (Martens, 1928). Pasir plaser tua juga relatif banyak dan telah dieksploitasi. Sebagai contoh, pasir Cohansey (Pliosen) di New Jersey telah dieksploitasi karena mengandung rutil (Markewicz, 1969) dan pasir Kapur Akhir di Montana dieksploitasi karena mengandung magnetit dan titan (Stebinger, 1914).

Salah satu tipe batupasir plaser yang luar biasa ditemukan di Rand Basin (Prakambrium), Afrika Selatan, yang mengandung lapisan-lapisan tipis pirit detritus (Ramdohr, 1958).

7.5.5.5 Itacolumit

Itacolumit (itacolumite) adalah sekis kuarsa yang aneh. Nama Itacolumit sendiri diambil dari nama sebuah gunung di Brazil, yakni Gunung Itacolumi. Menurut Holmes (1928), orang yang pertama-tama memberi nama itacolumit adalah Humboldt. Itacolumit disusun oleh partikel-partikel kuarsa yang saling kesit dan sebagian mika. Itacolumit cukup fleksibel dan, oleh karena itu, sering dinamakan “batupasir fleksibel” (“flexible sandstone”) (Cayeux, 1929; Ginsburg & Lucas, 1949). Sebenarnya, itacolumit mungkin bukan batupasir, melainkan batuan metamorf. Itacolumit juga ditemukan di North Carolina (Foushee, 1954).

7.6 DIAGENESIS BATUPASIR

Tidak lama setelah pengendapan, pasir mulai menua dan berubah karakternya. Pasir tidak lagi merupakan material granuler lepas, melainkan tertransformasi menjadi batuan padat. Proses penambahan usia itu kompleks dan belum dapat dipahami sepenuhnya. Sebagian proses itu seluruhnya merupakan proses mekanis: pemecahan partikel, pelengkungan dan deformasi mika detritus, serta penekanan partikel-partikel pelit yang relatif lemah. Walau demikian, proses itu pada dasarnya merupakan proses kimia yang melibatkan pelarutan, represipitasi, dekomposisi, dan reaksi pada ruang antar partikel. Redistribusi material, seperti pelarutan kuarsa pada satu tempat serta presipitasinya di tempat lain, mendorong terjadinya sementasi dan penurunan volume ruang pori. Unsur rangka yang kurang stabil akan terdegradasi dan kehilangan identitasnya, tertransformasi menjadi matriks kristalin, dan kemudian dapat berinteraksi dengan unsur rangka yang relatif stabil. Hasil akhir dari pressure solution, devitrifikasi (pada material opal dan gelas), serta dekomposisi unsur detritus yang tidak stabil adalah terubahnya kemas batuan, hilangnya sebagian atau seluruh porositas, tersamarkannya tekstur asal, dan transformasi batuan menjadi kumpulan mineral yang lebih mendekati kesetimbangan.

Perubahan-perubahan tersebut di atas mempengaruhi pasir dengan cara yang berbeda. Pasir kuarsa murni hanya meng-alami perpindahan larutan kuarsa dan pengkonversian menjadi ortokuarsit. Pasir tidak matang, terutama lithic arenite yang banyak mengandung fragmen batuan yang tidak stabil, terkonversi menjadi graywacke. Pasir vulkaniklastik mungkin mengalami perubahan yang paling dramatis; perubahan itu tidak berbeda dengan perubahan pada retrograde metamorphism.

Gejala-gejala berskala besar seperti load cast, slump fold, dsb yang disebabkan oleh “deformasi sedimen lunak” biasanya tidak dipandang sebagai gejala diagenetik. Diagenesis melibatkan perubahan tekstur dan komposisi, namun tidak menghasilkan struktur. Walau demikian, struktur tertentu seperti konkresi dan stilolit dianggap sebagai produk diagenesis. Dalam buku ini, gejala-gejala segregasi berskala besar—nodul dan konkresi—akan dibahas secara khusus pada Bab 12.

7.6.1 Sementasi

Material yang dipresipitasikan secara kimiawi dan berperan sebagai semen dalam banyak batupasir merupakan material utama penyusun batuan tersebut. Jika ruang pori batuan tersebut kemudian terisi seluruhnya oleh material penyemen, maka semen akan membentuk 1/4 hingga 1/3 ruah batuan. Stratum batupasir yang tebalnya 100 m, misalnya saja, akan mengandung material penyemen yang apabila dikumpulkan dapat membentuk lapisan yang tebalnya 25 hingga 30 m. Selain itu, sementasi merupakan tahap akhir dalam pembentukan batupasir. Pengetahuan kita mengenai sementasi masih belum lengkap dan belum memuaskan; apa yang dewasa ini dianggap sudah cukup dipahami adalah asal-usul dan cara penempatan semen.

Masuknya semen jelas akan mempengaruhi porositas dan permeabilitas batuan. Karena itu, pemelajaran sementasi sangat menarik dilihat dari kacamata pemelajaran pergerakan fluida melalui batuan serta perkiraan mengenai volume total fluida tersebut. Sementasi, jika berlangsung lengkap, akan menghasilkan pasir “ketat” yang tidak mampu menyimpan dan mengalirkan fluida, misalnya air tanah, minyakbumi, dan gasbumi.

Banyak spesies mineral diketahui memegang peranan sebagai material penyemen. Material penyemen yang biasa ditemu-kan adalah silika (umumnya berupa kuarsa). Kuarsa biasanya diendapkan sebagai overgrowth pada permukaan kuarsa detritus. Di bawah kondisi yang relatif luar biasa, silika tidak diendapkan sebagai kuarsa, melainkan sebagai opal atau kalsedon. Batu-pasir dengan semen opal umumnya berumur relatif muda. Faktor-faktor yang memicu pembentukan opal sebagai material penyemen belum dipahami sepenuhnya, meskipun material itu agaknya berkaitan dengan konsentrasi ion (Millot dkk, 1963). Semen opal dalam batupasir Ogallala, Kansas, ditafsirkan merupakan produk replacement pada batupasir yang semula ter-semenkan oleh kalsit (Frye & Swineford, 1946). Lapisan-lapisan debu vulkanik yang berasosiasi dengan formasi itu ditafsirkan merupakan sumber silika yang kemudian memasuki batupasir tersebut. Pasir yang tersemenkan oleh opal umumnya berasosiasi dengan lapisan-lapisan debu vulkanik. Contohnya adalah Formasi Gueydan (Tersier) di Texas (McBride dkk, 1968).

Berbagai karbonat, terutama kalsit, juga sering berperan sebagai material penyemen. Dolomit juga dapat berperan sebagai semen, meskipun tidak sesering kalsit. Meskipun siderit relatif jarang berperan sebagai semen, namun sebenarnya lebih sering daripada apa yang diperkirakan selama ini. Semen siderit jarang ditemukan dalam singkapan semata-mata karena siderit tidak stabil di bawah kondisi atmosfir. Banyak batupasir yang tersemenkan oleh material pengandung besi sebenarnya merupakan batupasir sideritan. Penelaahan terhadap sebagian batupasir yang berbintik-bintik menunjukkan bahwa setiap bintik itu, berupa suatu daerah kecil yang tersemenkan oleh limonit, merupakan produk oksidasi siderit. Sebagian siderit itu masih dapat ditemukan di bagian tengah bintik tersebut.

Oksida besi, dan kadang-kadang sulfida besi, dapat berperan sebagai material penyemen. Silikat yang dapat berperan sebagai semen adalah felspar, kaolinit dan mineral lempung lain, serta zeolit. Meskipun lempung dapat terjebak pada saat pengendapan, namun sebagian kaolinit benar-benar dipresipitasikan sebagai zat kristalin kasar dalam ruang pori (Donaldson, 1967; Carrigy & Mellon, 1964). Zeolit sering ditemukan dalam batupasir vulkanik atau batupasir yang mengandung gelas vulkanik (Hay, 1966; Weeks & Eargle, 1963). Barit dan anhidrit merupakan material penyemen minor yang hanya memegang peranan penting secara lokal.

Hasil penelitian Tallman (1949) terhadap semen batupasir mendukung gagasan lama yang menyatakan bahwa silika merupakan semen yang paling umum dalam batupasir tua, sedangkan silika dan karbonat merupakan semen utama dalam batupasir Mesozoikum dan Kenozoikum. Kebenaan dari hasil pengamatan Tillman itu tidak terlalu jelas. Semen karbonat dalam batupasir tua mungkin telah tergantikan oleh silika, atau mungkin terlindi.

Hubungan antara semen dengan unsur rangka pasir sangat menarik, dan penting, untuk dikaji. Jika mineralogi semen sama dengan mineralogi partikel detritus, maka produk akhir dari secondary overgrowth pada partikel-partikel mineral akan berupa agregat kristalin yang saling kesit. Jika mineralogi semen tidak sama dengan mineralogi partikel detritus, maka keduanya dapat memperlihatkan hubungan tekstur yang beragam. Kalsit dalam batupasir yang tersemenkan sebagian, misalnya saja, dapat diendapkan sebagai selimut partikel-partikel renik (drusy coating) pada partikel detritus, sebagai mosaik diantara partikel-partikel detritus, atau sebagai partikel poikiloblastik yang mengandung banyak partikel detritus (Fuhrmann, 1968). Semen opal dan kalsedon dapat membentuk selimut yang bentuknya mirip dengan agate pada unsur-unsur rangka atau sebagai endapan botryoidal dengan serat-serat yang bentuknya mirip dengan kipas. Semen lain, misalnya kaolin, dapat muncul sebagai material polikristalin membongkah yang mengisi ruang pori.

Pada beberapa kasus, terutama pada kasus semen karbonat, ada reaksi antara semen dengan unsur-unsur rangka. Semen tampaknya “memakan” partikel detritus sebagaimana diperlihatkan oleh kontak yang tidak beraturan dan kontak “teluk” antara semen dengan unsur rangka. Pada beberapa tempat, hal itu berlangsung demikian jauh sedemikian rupa sehingga partikel asal hanya tersisa sebagai jejak-jejak mineral sisa yang terorientasi dan yang mengalami pemadaman secara bersama-sama. Rijang, felspar, bahkan kuarsa, rentan terhadap korosi seperti itu dan dapat digantikan oleh karbonat.

Semen biasanya mengisi semua atau sebagian ruang pori yang ada dalam pasir (gambar 7-8). Dalam beberapa kasus, semen karbonat dalam batupasir memiliki volume yang luar biasa banyaknya sehingga menyamai bahkan melebihi volume kuarsa detritus. Pada kondisi seperti itu, partikel-partikel kuarsa detritus itu tampak “mengambang” diantara semen karbonat (gambar 7-8C). Menurut sebagian ahli, hal itu terjadi akibat rekristalisasi karbonat detritus yang semula diendapkan bersama-sama dengan kuarsa detritus. Waldschmidt (1941) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena pertumbuhan semen yang pada gilirannya mendorong partikel-partikel kuarsa detritus untuk terpisah satu dari yang lain. Hal itu juga dapat terjadi akibat korosi dan penggantian partikel-partikel detritus oleh semen karbonat sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Sebagian batupasir memiliki lebih dari satu spesies mineral penyemen. Pada kasus seperti itu, adalah suatu hal yang penting untuk menentukan paragenesis atau umur relatif dari setiap semen itu. Waldschmidt (1941) berkeyakinan bahwa ada suatu urutan presipitasi dalam batupasir Rocky Mountain yang dipelajarinya. Kalsit terbentuk setelah kuarsa; jika ada tiga material penyemen, maka yang pertama kali terbentuk adalah kuarsa, kemudian diikuti oleh dolomit, dan terakhir kalsit. Jika ada empat material penyemen, maka yang pertama kali terbentuk adalah kuarsa, kemudian dolomit, berikutnya adalah kalsit, dan terakhir adalah anhidrit. Dalam beberapa batupasir yang mengandung tiga spesies semen, urut-urutannya adalah kuarsa, dolomit, dan anhidrit. Heald (1950), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap batupasir Paleozoikum di West Virginia, juga menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kalsit terbentuk setelah kuarsa. Walau demikian, berdasarkan hasil penelitian-nya terhadap batupasir Tersier di California, Gilbert (1949) menemukan bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa dolomit (dan dalam beberapa kasus juga kalsit) terbentuk lebih dahulu dibanding kuarsa.

Secara umum, urut-urutan presipitasi beberapa mineral penyemen dapat ditentukan berdasarkan prinsip yang menyatakan bahwa mineral yang terbentuk lebih dahulu akan memiliki bentuk yang lebih baik atau perawakan yang lebih euhedral serta akan lebih dekat dengan dinding ruang pori dibanding mineral yang terbentuk kemudian. Mineral yang terbentuk terakhir kali akan menutupi ruang-ruang yang belum terisi oleh semen sehingga bentuknya akan mengikuti ruang yang ada. Namun, dapatkah diasumsikan bahwa mineral-mineral itu terbentuk dalam ruang kosong? Hadding (1929), Cayeux (1929), dan Swineford (1947) memaparkan adanya batupasir yang pertama-tama tersemenkan oleh kalsit, namun semen itu kemudian digantikan oleh kuarsa. Bukti proses penggantian seperti itu adalah adanya inklusi kalsit dalam kuarsa sekunder. Dengan demikian, euhedralisme mungkin bukan merupakan petunjuk yang pasti untuk menentukan umur relatif mineral.

Masalah bagaimana dan kapan pasir menjadi tersemenkan serta sumber material penyemen masih belum dapat terpecah-kan. Banyak ahli sejak lama memperkirakan bahwa air meteorik (meteoric water) atau air artesis (artesian water) membawa material penyemen ke dalam batupasir dan kemudian mengendapkan silika atau karbonat. Memang, para ahli telah mengetahui bahwa airtanah membawa material tersebut dalam bentuk larutan, bahwa ada aliran artesis dalam batuan, dan bahwa material tersebut dapat terpresipitasikan dari larutan. Van Hise (1904) membahas masalah tersebut secara panjang lebar. Dia memper-kirakan bahwa silika (atau material penyemen lain) terlarutkan dalam zona pelapukan, kemudian diendapkan kembali dalam batupasir sebagai semen. Walau demikian, Van Hise menyatakan bahwa kadar silika dalam airtanah sangat rendah. Kadar silika dari air yang berasal dari igneous terrane berkisar mulai dari sekitar 10 ppm hingga sekitar 70 ppm (White dkk, 1963). Dengan mengambil angka 20 ppm sebagai contoh kasus, Van Hise memperkirakan bahwa untuk dapat menyemen 1 mil kubik pasir yang memiliki porositas 26%, akan diperlukan 130.000 mil kubik airtanah. Karena sebagian batupasir, terutama batupasir dalam cekungan struktur yang dalam, terisi oleh air garam, banyak ahli memperkirakan bahwa tidak ada air meteorik yang bersirkulasi melalui batuan tersebut. Jadi, untuk menjelaskan pembentukan semen dalam batuan tersebut, kita perlu memikirkan kemungkin-an sumber lain untuk material penyemen tersebut.

Johnson (1920) berpendapat bahwa silika yang menjadi material penyemen mungkin berasal dari air konat (connate water). Air konat pada dasarnya adalah air laut yang terjebak dalam batuan. Karena air laut rata-rata mengandung silika dalam proporsi yang lebih rendah dibanding air tanah (rata-rata hanya mengandung silika sekitar 4 ppm), jelas sudah bahwa air konat dalam batupasir tidak dapat menghasilkan silika dalam jumlah yang memadai untuk menyebabkan tersemenkannya batupasir. Karena itu, dia berpendapat bahwa air konat yang ada dalam serpih mungkin merupakan sumber dari silika. Serpih pada mulanya memiliki porositas yang lebih tinggi dibanding pasir serta mengalami kompaksi yang jauh lebih besar dibanding pasir. Selama berlangsungnya kompaksi, fluida yang terjebak dalam pori-pori serpih akan diperas keluar. Lapisan-lapisan batupasir yang berselingan dengan serpih itu dapat berperan sebagai saluran tempat keluarnya air konat. Di bawah temperatur yang relatif tinggi, sejalan dengan bertambahnya kedalaman, air yang terkandung dalam serpih dapat mengandung silika dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding angka normal. Silika itulah yang kemudian diendapkan dalam ruang-ruang pori batupasir sebagai semen. Di beberapa tempat, interstitial water dari lempung laut-dalam masa kini dapat dijenuhi oleh silika (hingga sekitar 80 ppm). Walau demikian, tingginya kadar silika dalam air itu mungkin terjadi akibat pelarutan cangkang diatom (Siever dkk, 1965). Sumber yang lebih mungkin untuk silika adalah transformasi pasca-pengendapan yang menyebabkan terubahnya monmorilonit dan/atau ilit-monmorilonit dari serpih menjadi ilit; transformasi itu menyebabkan keluarnya silika (Towe, 1962). Transformasi tersebut terjadi pada tempat yang sangat dalam. Kehadiran ilit dalam serpih tua mengindikasikan bahwa mekanisme tersebut berlangsung dalam skala luas. Pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh Füchtbauer (1967b) terhadap sementasi kuarsa dalam batupasir Dogger, dimana tingkat sementasi makin tinggi ke bagian lapisan batuan yang berbatasan dengan serpih, mendukung konsep yang menyatakan bahwa air yang lewat jenuh akan silika berasal dari serpih. Walau demikian, banyak batupasir yang tersemenkan tidak berasosiasi dengan serpih. Bagaimana batupasir seperti itu dapat tersemenkan?

Kesulitan-kesulitan dalam menisbahkan semen, baik pada air artesis maupun pada air yang dilepaskan dari serpih, telah memicu sebagian ahli untuk mencari sumber internal yang memungkinkan terbentuknya silika. Waldschmidt (1941) adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa silika yang berperan sebagai semen dalam batupasir berasal dari dalam tubuh batupasir itu sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh Gilbert (1949) dan beberapa ahli lain. Waldschmidt (1941) menyimpulkan bahwa larutan silika pada titik-titik kontak partikel dan presipitasi larutan itu pada ruang pori yang berdekatan dengan titik kontak tersebut merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap pembentukan batupasir yang tersemenkan oleh silika. Konsep itu pada dasarnya merupakan penerapan prinsip Riecke (Riecke’s principle) pada batuan yang bukan merupakan batuan metamorf. Batas-batas partikel kuarsa yang saling kesit digunakan oleh Waldschmidt sebagai bukti bahwa proses tersebut di atas memang terjadi dalam batupasir. Kontak cekung-cembung antara partikel-partikel kuarsa (yang analog dengan pitted pebbles dalam beberapa konglomerat; lihat Kuenen, 1942) serta batas-batas sutura (mikrostilolitik) antara partikel-partikel lain tampaknya mendukung gagasan Waldschmidt tersebut (Sloss & Feray, 1948; Thomson, 1959; Trurnit, 1968). Jika konsep itu benar adanya, maka kita akan menemukan adanya hubungan antara efek-efek pelarutan dan sementasi dengan kedalaman (serta peningkatan tekanan dan kedalaman sejalan dengan bertambahnya kedalaman). Beberapa peneliti (Taylor, 1950; Maxwell, 1964; Füchtbauer, 1967a) memperlihatkan atau mempostulasikan hubungan seperti itu. Hubungan itu diwujudkan oleh penurunan porositas sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Hasil penelitian Taylor (1950) sangat menarik. Dia melakukan pengamatan langsung terhadap khuluk dan jumlah kontak antar partikel sejalan dengan bertambahnya kedalaman dan menyimpulkan bahwa batupasir mengalami proses “kondensasi” sedemikian rupa sehingga kontak antar individu partikel berubah dari kontak tangensial, menjadi kontak cekung-cembung, dan kemudian menjadi kontak sutura. Dengan demikian, jumlah kontak antar partikel sebagaimana yang terlihat dalam sayatan tipis akan meningkat dari 1,6 dalam pasir yang tidak terkonsolidasi menjadi 2,5 pada kedalaman 2885 kaki (sekitar 879 m) dan menjadi 5,2 pada kedalaman 8343 kaki (sekitar 2543 m) (gambar 7-9). Taylor berkeyakinan bahwa perubahan-perubahan itu terjadi akibat pelarutan intrastrata serta akibat aliran padat partikel-partikel kuarsa. Pada kasus aliran padat partikel-partikel kuarsa, volume ruang pori akan berkurang tanpa harus disertai dengan presipitasi kimia. Bukti-bukti adanya tekanan, misalnya pelengkungan mika dan terpecahnya partikel-partikel kuarsa, sering ditemukan. Walau demikian, aliran padat itu sendiri sukar untuk dibuktikan dan kontak cekung-cembung mungkin merupakan efek pelarutan. Di lain pihak, hubungan antara pressure solution dengan beban dalam batupasir Karbon Akhir di bagian timur Amerika Serikat yang diteliti oleh Siever (1959) tidak memberikan kesimpulan yang konklusif. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Fairbairn (1950), Maxwell & Verrall (1954), Borg & Maxwell (1956), Maxwell (1960), Ernst & Blatt (1964), serta Heald & Renton (1966) menunjukkan bahwa pelarutan dan pengendapan-ulang silika dalam suatu sistem tertutup merupakan suatu realitas dan bahwa sementasi pasir dapat dicapai melalui transfer internal seperti itu.

Bukti petrografi dari pelarutan pada kontak antar partikel tidak selalu jelas. Dalam banyak kasus, tidak ada atau hanya sedikit terlihat adanya penetrasi terhadap partikel. Dalam kebanyakan kasus batas sutura pada kuarsa, batas-batas partikel kuarsa asal sukar atau tidak dapat teramati. Selain itu, Sippel (1968) menunjukkan bahwa partikel-partikel detritus asal dalam sebagian batupasir itu jelas terlihat dengan cathodeluminescence microscopy dan bahwa tidak terjadi penetrasi batas-batas partikel. Kuarsa sekunder hampir dapat dipastikan berasal dari hasil pelarutan pada kontak antar partikel. Pye (1944) dan Goldstein (1948) berpendapat bahwa sebagian atau sebagian besar semen silika berasal dari larutan material halus yang semula terkandung dalam pasir. Para ahli umumnya telah mengetahui bahwa, dalam satu larutan tertentu, partikel halus dapat terlarutkan pada waktu yang bersamaan dengan pertumbuhan partikel besar. Karena itu, partikel besar dalam suatu batupasir mungkin tumbuh sejalan dengan penghilangan partikel halus. Walau demikian, karena partikel halus tidak lagi dapat terlihat dalam batuan tersebut, sukar bagi kita untuk membuktikan kesahihan konsep tersebut. Heald (1955, 1956a) berpendapat bahwa silika berasal dari pelarutan intrastrata pada lapisan-lapisan stilolitik. Stilolit sebenarnya jauh lebih sering ditemukan dalam batupasir daripada yang diperkirakan semula dan pelarutan pada lapisan tersebut mungkin menghasilkan silika yang diperlukan untuk sementasi.

Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap Oriskany sandstone (Devon) dan batupasir lain di Appalachia, Krynine (1941), yang berpendapat bahwa baik pelarutan intrastrata maupun aliran artesis merupakan mekanisme yang tidak memadai untuk sementasi, menyatakan bahwa “… mungkin sekitar 95% silika ‘sekunder’ dalam Oriskany sandstone (dan banyak, jika bukan sebagian besar, kuarsit dan rijang) sebenarnya terbentuk pada waktu yang hampir bersamaan dengan pengendapan pasir itu sendiri.” Krynine berpendapat bahwa presipitasi semen silika “berlangsung di dasar laut tidak lama setelah partikel-partikel pasir diendapkan.” Dia tidak mengajukan bukti untuk mendukung pendapatnya itu. Selain itu, tidak ditemukannya sementasi dalam pasir laut masa kini, yang berlangsung lebih kurang bersamaan dengan saat diendapkannya pasir tersebut, menyebabkan hipotesis Krynine itu tidak mendapatkan dukungan yang berupa bukti-bukti mendasar.

Air hidrotermal, terutama air di sekitar mata air panas, secara khusus sangat kaya akan silika (dengan kadar ≥ 500 ppm). Walau demikian, air seperti itu agaknya tidak memegang peranan penting dalam sementasi pasir pada skala besar, meskipun sebagian ahli (misalnya Helad, 1956b) melaporkan terjadinya sementasi felspar sekunder di dekat tubuh batuan beku.

Semen karbonat menawarkan permasalahan yang mirip dengan permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan semen silika. Pertanyaan-pertanyaan utama adalah sumber karbonat dan waktu pemindahannya. Air artesis mengandung karbonat larut yang kemudian dapat menjadi semen dalam batupasir.

Sebagian pasir masa kini tersemenkan secara in situ. Salah satu contohnya adalah beach rock. Walau demikian, beach rock umumnya berupa pasir karbonat dan mungkin tersemenkan oleh material yang berasal dari batuan itu sendiri. Batupasir yang tersemenkan oleh aragonit dinisbahkan pada sementasi bawahlaut sebagaimana kasus pasir yang berasal dari paparan luar di dekat Delaware (Allen dkk, 1969). Air laut yang terjebak dalam ruang-ruang pori pasir laut dapat dijenuhi oleh karbonat. Walau demikian, kuantitasnya, jika dipresipitasikan, tidak memadai untuk menyemen pasir. Banyak semen karbonat terbentuk setelah kuarsa dan, oleh karena itu, tidak seumur dengan proses sedimentasi bahkan tidak berkaitan sama sekali dengan lingkungan pengendapan pasir tersebut.

Sumber yang lebih mungkin untuk semen karbonat adalah rangka organisme yang ada dalam pasir. Rangka seperti itu dapat terlarutkan dan terpresipitasikan sebagai semen. Sementasi di sekitar rangka organisme seperti itu atau di dalam rangka bivalve (Krynine, 1940) menunjukkan proses distribusi-ulang karbonat pada skala kecil. Pressure solution partikel-partikel karbonat dalam batupasir atau dalam formasi yang berdekatan dengannya, baik yang berupa batugamping maupun batupasir, yang mungkin terjadi melalui pengangkutan air pori pada jarak dekat, agaknya merupakan penalaran paling rasional untuk menjelaskan terbentuknya semen karbonat pada tahap akhir perkembangan batuan.

Walau demikian, dalam kaitannya dengan semen, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Faktor apa yang mengontrol terbentuknya tipe-tipe semen karbonat yang beragam (aragonit, kalsit, dolomit, siderit)? Batupasir yang mengandung dua atau lebih material penyemen merupakan masalah berikutnya. Tidak ada satupun teori sementasi batupasir yang dapat menjawab masalah tersebut. Penyebaran semen memerlukan analisis lebih lanjut. Mengapa suatu pasir “ketat” di tempat ini, namun “lepas” di tempat lain? Apakah hal itu berkaitan dengan sementasi asli atau dengan desementasi yang terjadi kemudian? Jawaban yang diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan itu melibatkan pemelajaran hubungan antara kuantitas dan jenis semen dalam batupasir dengan faktor-faktor geologi utama, misalnya struktur dan arus purba. Warner (1965) menunjukkan bahwa semen dalam Duchesne River Formation (Eosen) di Pegunungan Uinta lebih banyak ditemukan di bagian “hulu” dan bahwa jenis semen (kalsit atau kuarsa) berkaitan dengan batuan sumber, dimana kalsit lebih banyak ditemukan apabila batuan sumbernya berupa batugamping. Selain itu, agaknya ada juga hubungan antara kelimpahan semen dengan struktur. Dengan demikian, jelas sudah bahwa kita perlu melakukan “pemetaan” yang lebih banyak terhadap semen batupasir.

7.6.2 Desementasi

Jika fluida pengisi ruang pori dan partikel padat dari suatu batupasir tidak membentuk suatu sistem tertutup, maksudnya jika fluida dapat keluar masuk atau jika ion-ion dapat berdisfusi keluar masuk, maka fluida itu selain dapat mempresipitasikan semen, juga dapat menyebabkan terlarutkannya semen. Dengan kata lain, dalam sistem seperti itu, dapat terjadi pelindian semen atau desementasi. Proses seperti itu dapat terjadi pada kasus batupasir karbonatan dalam profil pelapukan. Namun, dapatkah proses seperti itu berlangsung pada skala besar jauh di dalam bumi?

Para ahli telah menemukan bukti-bukti proses penggantian parsial kuarsa dan partikel detritus lain oleh karbonat. Jika material penyemennya berupa kuarsa dan jika ada bukti bahwa material itu terbentuk akibat penggantian matriks karbonat, maka hal itu mengindikasikan telah terjadinya penggatian karbonat dalam jumlah yang banyak. Proses penggatian material karbonat seperti itu terjadi dalam Oriskany Sandstone (Krynine, 1941). Krynine sampai pada kesimpulan tersebut setelah mengamati bahwa sejumlah kecil karbonat muncul sejalan dengan berkurangnya ruang pori serta berkeyakinan bahwa karbonat itu merupakan sisa-sisa pelindian. Jika merupakan produk pengisian parsial ruang pori, material itu akan memperlihatkan sisi-sisi euhedral pada bagian yang bebas (bagian yang mengarah ke ruang pori). Hal itu tidak ditemukan dalam Oriskany sandstone. Mungkin banyak batupasir yang relatif lepas dan batupasir yang tersemenkan kurang kurat, misalnya St. Peter Sandstone (Ordovisium) di Upper Mississippi Valley, dahulu tersemenkan oleh karbonat, namun kemudian kehilangan semen itu akibat aliran air artesis pada arah yang sama dengan arah kemiringan lapisan-lapisan batupasir tersebut. Permukaan partikel kuarsa yang teretsa dalam batupasir ini, dan batupasir lain yang mudah diremas, mungkin merupakan rekaman “penyerangan” partikel kuarsa oleh seman karbonat yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Sebagai kesimpulan, agaknya tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa tidak terjadi penghilangan material karbonat dari batupasir gampingan karena dalam banyak batugamping sering terjadi pelarutan internal. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hal itu memang dapat terjadi. Selain itu, sebagaimana pada kasus batugamping, pelarutan dapat berlangsung jauh di bawah kondisi freatik pada tempat yang terletak jauh di bawah water table. Sebagaimana batugamping, proses itu juga dapat ber-langsung secara terbalik dan ruang pori yang semula dihasilkan oleh desementasi dapat terisi kembali oleh semen baru.

7.6.3 Pelarutan Intrastrata

Selain bukti-bukti pelarutan semen, terutama karbonat, batupasir juga memperlihatkan bukti-bukti lain dari pelarutan intrastrata (intrastratal solution).

Salah satu bukti yang paling sering ditemukan adalah lapisan stilolit. Stilolit, yang umumnya diperkirakan merupakan gejala batugamping, juga muncul dalam batupasir dan kuarsit. Stilolit tidak hanya muncul sebagai mikrostilolit yang terletak diantara partikel penyusun rangka batupasir, namun juga sebagai gejala bidang perlapisan (Heald, 1955; Stockdale, 1936; Conybeare, 1949).

Stilolit dalam batupasir memperlihatkan kemiripan dengan stilolit dalam batugamping. Stilolit tampak sebagai suatu bidang yang dicirikan oleh gejala saling kesit atau interpenetrasi timbal-balik pada kedua sisinya. Tonjolan-tonjolan yang mirip dengan geligi pada satu sisi tepat berpasangan dengan soket-soket pada sisi lain. Relief stilolit bervariasi mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa centimeter. Bidang stilolit itu sendiri dicirikan oleh suatu endapan tipis material yang relatif tidak mudah larut. Dalam batupasir, stilolit itu dapat berupa material batubaraan; dalam kuarsit, stilolit itu dapat disusun oleh oksida besi.

Bukti lebih lanjut dari pelarutan intrastara terdokumentasikan oleh penghilangan selektif beberapa spesies mineral berat tertentu. Pelarutan intrastrata terhadap mineral berat detritus diperlihatkan oleh Bramlette (1941) yang menemukan kumpulan mineral dalam konkresi gampingan dalam Modello Sandstone di California jauh berbeda dengan kumpulan mineral berat dalam batupasir yang terletak di luar konkresi itu (tabel 7-12). Masalah pelarutan intrastrata mineral berat dalam batupasir telah dibahas dalam banyak makalah, terutama makalah yang disusun oleh Pettijohn (1941), van Andel (1952; 1959), dan Weyl (1950). Adalah suatu hal yang penting untuk menentukan zonasi suatu paket endapan sedimen berdasarkan asumsi tidak terjadinya pelarutan intrastrata. Zona-zona itu mungkin merupakan zona stabilitas, bukan level stratigrafi yang sahih (Pettijohn, 1941).

Leave a Reply

 
 

Blog Archive

Daftar Blog Saya

Blogger news