Tekstur mencakup ukuran, bentuk, dan keteraturan komponen penyusun batuan. Tekstur pada dasarnya merupakan mikro-geometri batuan. Istilah “berbutir kasar”, “menyudut”, dan “terimbrikasi” merupakan ungkapan yang digunakan untuk mernyata-kan tekstur. Seorang ahli geologi mungkin tidak puas hanya dengan ungkapan seperti itu. Dia ingin memberikan pemerian yang lebih teliti; dia ingin tahu seberapa kasar komponen penyusun suatu batuan, bagaimana bentuk sudut-sudutnya, serta arah dan kemiringan imbrikasinya. Untuk itu, dalam bab ini kita akan memformulasikan definisi-definisi yang jelas dari setiap ungkapan itu, membahas metoda pengukurannya, serta teknik-teknik analisis statistik yang dapat diterapkan pada berbagai aspek tekstur. Selain itu, dalam bab ini kita juga akan mencoba memahami arti geologi dari setiap aspek tekstur tersebut.
Beberapa aspek tekstur bersifat kompleks dan tergantung pada aspek-aspek lain yang lebih mendasar. Sebagai contoh, porositas tergantung pada pembandelaan (packing), bentuk, dan pemilahan partikel penyusun batuan.
Berbeda dengan tekstur, yang pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antar partikel penyusun batuan, struktur merupa-kan gejala batuan berskala besar seperti perlapisan dan gelembur (ripple mark). Tekstur sebaiknya dipelajari dalam sampel genggam (hand specimen) atau sayatan tipis. Struktur, di lain pihak, sebaiknya dipelajari pada singkapan, meskipun ada juga struktur yang terlihat pada sampel genggam.
Sejak diendapkan, sebagian besar sedimen telah berbeda dengan batuan beku dan batuan kristalin lain karena memiliki rangka partikel (framework of grains) yang bersifat stabil dalam medan gravitasi bumi. Berbeda dengan mineral penyusun batuan beku dan batuan metamorf, yang satu sama lain berada dalam kontak menerus, kontak antar partikel sedimen adalah kontak noktah (kontak tangensial). Akibatnya, batuan sedimen memiliki rangka tiga dimensi yang terbuka. Partikel penyusun sebagian besar sedimen ditempatkan pada posisinya sebagai zat padat oleh fluida pengangkutnya, di bawah pengaruh gaya gravitasi. Partikel tersebut umumnya tidak terbentuk secara in situ. Karena itu, batuan sedimen dikatakan memiliki tekstur hidro-dinamik (hydrodynamic texture).
Sedimen yang baru terbentuk memiliki porositas yang tinggi. Porositas awal dari pasir sekitar 35–40%, sedangkan porositas awal dari lanau dan lempung mungkin sekitar 80%. Salah satu perbedaan utama antara batuan sedimen dengan batuan beku dan batuan metamorf adalah bahwa batuan sedimen memiliki porositas, sedangkan batuan beku dan batuan metamorf hanya sedikit atau tidak memiliki porositas. Namun, dari waktu ke waktu, ruang pori sedimen akan mengecil hingga mendekati nol. Ruang pori sedimen mengecil karena terjadinya presipitasi mineral dalam ruang pori. Mineral yang dipresipitasikan dalam ruang pori berasal dari larutan yang ada dalam ruang pori atau larutan yang masuk kedalamnya. Tekstur presipitat kimia itu, dan tekstur yang terbentuk akibat alterasi unsur-unsur rangka sedimen, disebut tekstur diagenetik (diagenetic texture). Sebagian besar komponen batuan yang memper-lihatkan tekstur diagenetik merupakan material kristalin. Tekstur diagenetik terkadang demikian pervasif sehingga tekstur awal (tekstur pengendapan) dari batuan itu tertindih atau bahkan hilang sama sekali. Walau demikian, dalam kasus-kasus umum, kemas awalnya masih terlihat sebagai relik atau “ghost” yang terlihat samar.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa hampir semua sedimen memperlihatkan dua kemas: kemas hidrodinamik dan kemas diagenetik. Kesimpulan ini tidak hanya sahih untuk batupasir, namun juga untuk sebagian besar batugamping. Jadi, perbedaan antara batupasir dengan batugamping sebenarnya terletak pada komponen penyusunnya, bukan pada kemasnya.
Banyak kemas diagenetik disusun oleh material mikrokristalin. Hal itu terjadi karena sedimen yang mengalami perubahan diagenetik itu memang berupa material mikrokristalin atau karena terjadinya degradasi pada material pembentuk rangka partikel yang semula berukuran besar. Degradasi parsial pada partikel pasir, yang prosesnya disebut “greywackesation”, menyebabkan terbentuknya matriks berbutir halus. Devitrifikasi (devitrification) partikel gelas atau shards juga menghasilkan produk seperti itu. Mikritisasi (micritization) dapat terjadi pada oolit dan sisa organisme dalam batugamping. Walau demikian, karena sedimen karbonat lebih rentan terhadap tekanan dan temperatur normal dibanding pasir, maka proses diagenetik cenderung menyebab-kan terbentuknya kemas kristalin kasar dalam batuan karbonat. Sayang sekali, tekstur sebagian sedimen, khususnya serpih, demikian halus sehingga sangat sukar dipelajari di bawah mikroskop. Pada batuan seperti itu, kita biasanya tidak dapat mem-bedakan kemas primer (kemas pengendapan) dengan kemas diagenetik. Karena itu, tidak mengherankan apabila pengetahuan kita mengenai tekstur batuan seperti itu jauh lebih sedikit dibanding pengetahuan kita mengenai batupasir atau batugamping.
Beberapa jenis sedimen tidak memperlihatkan tekstur hidrodinamik maupun tekstur diagenetik. Sedimen ini mungkin memliki tekstur biogenik (biogenic texture), bila dihasilkan oleh organisme, atau tekstur koloform (colloform texture) bila dihasilkan oleh pembentukan dan koagulasi gel.
Dalam bab ini pertama-tama kita akan mempelajari kemas pengendapan, terutama kemas hidrodinamik yang mencirikan pasir dan lanau, baik pasir dan lanau klastika maupun pasir dan lanau karbonat. Kemudian kita akan mempelajari kemas kristalin yang terbentuk akibat diagenesis atau sebab-sebab lain.
3.1 BESAR BUTIR PARTIKEL BATUAN DETRITUS
Besar butir partikel sedimen detritus sangat penting artinya karena merupakan variabel dasar yang digunakan untuk mem-baginya menjadi konglomerat, batupasir, dan serpih. Besar butir dan pemilahan (keseragaman butir) mencerminkan kompetensi dan efisiensi medium (agen) pengangkut. Dalam sedimen akuatis, besar butir dapat dipakai sebagai indikator untuk menentukan jarak endapan dari sumbernya. Endapan yang banyak disusun oleh partikel kasar biasanya tidak terangkut jauh. Jenis medium pengangkut dan cara pengangkutan akan mempengaruhi daya angkut dan daya pilah yang dimiliki oleh medium tersebut. Mengingat fungsinya yang cukup banyak, besar butir merupakan salah satu aspek tekstur yang perlu dipahami oleh setiap ahli sedimentologi.
Pemahaman yang menyeluruh tentang arti geologi dari besar butir hanya dapat diperoleh apabila:
1. Kita memahami pengertian besar butir.
2. Kita mengetahui karakter distribusi besar butir, proses-proses yang bertanggungjawab terhadap distribusi besar butir, serta hubungan antara besar butir dengan jarak dan arah pengangkutan.
3.1.1 Konsep Besar Butir
Apabila partikel penyusun sedimen klastika semuanya berbentuk bola, maka tidak akan muncul berbagai kesulitan yang berkaitan dengan masalah pengertian besar butir seperti sekarang ini. Hanya dengan menyatakan diameternya, orang sudah paham maksudnya. Kenyataannya, kita justru hampir tidak pernah menemukan partikel sedimen yang berbentuk bola; yang ada justru partikel yang tidak beraturan. Karena itu, para ahli sedimentologi dituntut untuk membuat suatu skema penggolongan yang sesuai dengan kenyataan tersebut. Jika ada yang mengatakan bahwa konglomerat A tersusun oleh kerikil berdiameter x, maka pertanyaannya adalah: Apa yang dimaksud dengan kata “diameter” dari partikel yang tidak beraturan seperti itu?
Pengukuran langsung diameter partikel yang tidak beraturan banyak menimbulkan masalah. Beberapa peneliti memakai istilah panjang, lebar, dan tebal untuk menyatakan ukuran partikel, tanpa menjelaskan pengertian ketiga istilah itu. Istilah diameter terpendek, diameter terpanjang, dan diameter menengah dari suatu elipsoid triaksial memang mudah dikatakan namun sukar dipraktekkan. Haruskah setiap diameter itu melalui suatu titik pusat? Haruskah kita mengkombinasikan nilai ketiga diameter itu dan kemudian membaginya untuk mendapatkan nilai diameter “rata-rata”? Atau apakah kita cukup menyatakan diameter menengahnya saja? Krumbein (1941) mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut dan membuat suatu kerangka definisi operasionalnya (gambar 3-1). Definisi-definisi yang agak berbeda dari berbagai definisi yang dikemukakan Krumbein (1941), diajukan oleh Humbert (1968).
Dalam praktek, istilah diameter memiliki pengertian yang beragam, tergantung cara pengukurannya. Semua metoda peng-ukuran partikel sedimen didasarkan pada suatu premis, yaitu bahwa semua partikel berbentuk bola atau hampir berbentuk bola atau bahwa hasil pengukuran dinyatakan sebagai diameter ekivalen bola. Karena tidak ada kondisi faktual yang memenuhi per-syaratan itu, maka nilai besar butir yang selama ini dikemukakan orang sebenarnya tidak ada yang benar. Jadi, besar butir suatu partikel sebenarnya tidak dapat diukur. Sebagai gantinya, beberapa sifat lain dipakai untuk “mengukur” diameter dan hasilnya kemudian dikonversikan ke dalam nilai diameter. Pengkonversian dilakukan dengan memakai beberapa asumsi. Sebagian orang meng-ukur volume suatu partikel, kemudian menghitung diameter bola yang volumenya sama dengan volume partikel itu. Diameter seperti itu disebut diameter nominal (nominal diameter) oleh Wadell (1932). Metoda itu tidak tergantung pada densitas atau bentuk partikel. Jadi, sahih untuk dipakai. Ahli lain “menguku” diameter berdasarkan settling velocity partikel. Karena settling velocity tidak hanya tergantung pada besar butir, namun juga pada bentuk dan densitasnya, maka metoda ini hanya sahih jika densitas dan bentuk butir partikel tetap. Hasil pengukuran itu selanjutnya direduksi dan dikonversikan ke dalam harga diameter atau jari-jari dengan asumsi bahwa butirannya berbentuk bola dengan densitas 2,65 (densitas kuarsa).
Pada bab ini kita tidak akan membahas semua metoda pengukuran besar butir (gambar 3-2). Masalah ini telah dibahas panjang lebar dalam beberapa buku seperti yang disusun oleh Krumbein & Pettijohn (1938), Dalla Valle (1943), Irani & Callis (1963), Köster (1964), Müller (1967), Folk (1968), Allen (1968), dan Carver (1971). Hubungan antara konsep besar butir dengan diameter dapat dilihat pada tabel 3-1. Kita harus memahami konsep dasar besar butir ketika menafsirkan hasil-hasil analisis besar butir karena limitasi setiap metoda menyebabkan hasil analisis itu hanya memberikan suatu nilai pendekatan.
3.1.2 Istilah-Istilah Besar Butir
Para ahli geologi menggunakan cukup banyak istilah untuk menyatakan besar butir partikel sedimen. Beberapa ahli telah mengganti istilah-istilah yang berasal dari bahasa umum dengan istilah-istilah yang kurang dikenal. Beberapa istilah tersebut, serta modifikasinya, dapat dilihat pada tabel 3-2.
Istilah-istilah psefit (psephite), psamit (psammite), dan pelit (pelite) yang diambil dari Bahasa Yunani serta istilah ekivalen-nya—rudit (rudite), arenit (arenite), dan lutit (lutite)—yang diambil dari Bahasa Latin, diusulkan untuk menggantikan istilah gravel, pasir, dan lempung. Ketiga istilah yang disebut terakhir ini tidak hanya menyatakan besar butir, namun mengimplikasikan juga komposisi atau sifat lain. Istilah lempung, misalnya saja, sekarang ini memiliki arti ganda, yaitu sebagai istilah besar butir dan jenis mineral. Jika istilah lempung kemudian disepakati untuk digunakan secara terbatas hanya untuk menyatakan jenis mineral, maka kita perlu mencari istilah lain untuk menyatakan besar butir yang semula disebut lempung. Istilah yang agaknya dapat digunakan sebagai pengganti istilah lempung dalam pengertian besar butir adalah lutit; suatu istilah yang sebenarnya tidak terlalu asing bagi kita karena dipakai dalam penamaan batugamping (ingat, batugamping klastika halus disebut kalsilutit). Sebenarnya, dalam prakteknya, pemakaian istilah lempung dalam pengertian berganda seperti tersebut di atas kurang disetujui oleh para ahli. Sebagai buktinya, agaknya tidak ada ahli geologi yang setuju untuk menamakan lumpur gamping murni sebagai lempung. Dengan dipakainya istilah lutit, kita dapat menamakan sedimen seperti itu sebagai kalsilutit (calcilutite). Sedimen lain yang disusun oleh partikel klastika berukuran lempung dapat disebut argilutit (argillutite). Analog dengan itu, pasir karbonat murni akan disebut batugamping, bukan batupasir. Tyrell (1921) mengusulkan agar istilah-istilah yang berasal dari Bahasa Latin digunakan untuk menamakan batuan sedimen, sedangkan istilah-istilah yang berasal dari Bahasa Yunani digunakan untuk menamakan batuan metamorf yang berasal dari batuan sedimen.
Istilah-istilah manapun yang dipilih, setiap istilah itu kemungkinan besar akan dipersepsikan secara beragam oleh orang yang terlibat dalam suatu bentuk komunikasi. Sebagai contoh, ketika seseorang mengatakan bahwa dia menemukan pasir, orang-orang yang mendengarnya mungkin mempersepsikan pasir itu dengan besar butir yang berbeda-beda karena limit-limit kelas pasir itu sendiri memang beragam (gambar 3-3). Fakta ini mendorong kita untuk membuat pembakuan. Sayang sekali, hingga kini keinginan itu masih belum tercapai. Para ahli rekayasa, ahli tanah, dan ahli geologi masih memakai rujukan yang berbeda. Sebernarnya, jangankan kesepakatan diantara orang-orang yang disiplin ilmunya berbeda-beda, diantara ahli-ahli sedimentologi sendiri masih belum ada kesepakatan.
Skala besar butir yang biasa digunakan oleh para ilmuwan di Amerika Utara adalah karya J. A. Udden (1898, 1914). Udden mengembangkan suatu skala geometri dan menggunakan istilah umum untuk menamakan setiap kelas besar butir (gravel, pasir, lanau, dan lempung). Pada 1922, Wentworth menyempurnakan skala Udden dengan mempertimbangkan pendapat para ahli yang didapatkannya melalui kuestioner. Pada 1947, suatu komite ahli geologi dan hidrologi mendukung penggunaan skala dan istilah besar butir Udden-Wentworth, kecuali untuk granul (granule) (Lane dkk, 1947). Sejak itu, skala Udden-Wentworth digunakan secara luas oleh para peneliti di Amerika Utara. Kemudian, setelah dilengkapi dengan notasi phi yang diperkenalkan oleh Krumbein pada 1938, skala besar butir Udden-Wentworth juga banyak dipakai di tempat lain.
Committee on Sedimentation dari National Research Council (Amerika Serikat) telah menerbitkan sejumlah laporan tentang tatanama sedimen, termasuk didalamnya pendefinisian ulang istilah-istilah besar butir. Skala besar butir yang mereka usulkan dapat dilihat dalam tabel 3-3, sedangkan definisi-definisi baru yang mereka ajukan adalah sbb:
1. Bongkah (boulder) adalah suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena terabrasi selama terangkut dan memiliki diameter minimal 256 mm. Bongkah hasil pelapukan in situ disebut bongkah disintegrasi (boulder of disintegration) atau bongkah ekstrafolasi (boulder of extrafolation). Blok (block) adalah fragmen batuan yang berukuran sama dengan bongkah, namun menyudut dan tidak memperlihatkan jejak pengubahan oleh media pengangkut.
2. Kerakal (cobble) adalah suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena terabrasi selama terangkut dan memiliki diameter 64–256 mm. Kerakal hasil pelapukan in situ disebut kerakal exfoliasi (cobble of exfoliation).
3. Kerikil (pebble) adalah suatu fragmen batuan yang lebih besar dari pasir kasar atau granul dan lebih kecil dari kerakal serta membundar atau agak membundar karena terabrasi oleh aksi air, angin, atau es. Jadi, diameter kerikil adalah 4–64 mm.
4. Akumulasi bongkah, kerakal, kerikil, atau kombinasi ketiganya dan tidak terkonsolidasi disebut gravel. Berdasarkan besar butir partikel dominannya, suatu gravel dapat disebut gravel bongkah (boulder gravel), gravel kerakal (cobble gravel), atau gravel kerikil (pebble gravel). Bentuk ekivalen dari gravel, namun sudah terkonsolidasi, disebut konglomerat (conglomerate). Seperti juga gravel, konglomerat dapat berupa konglomerat bongkah (boulder conglomerate), konglomerat kerakal (cobble conglomerate), atau konglomerat kerikil (pebble conglomerate). Rubble adalah akumulasi fragmen batuan yang lebih kasar dari pasir, menyudut, dan belum terkonsolidasi. Bentuk ekivalen dari rubble, namun telah terkonsolidasi, disebut breksi (breccia).
5. Istilah pasir (sand) digunakan untuk menamakan agregat partikel batuan yang berdiameter lebih dari 1/16–2 mm.
6. Wentworth (1922) mengusulkan istilah granul (granule) untuk menamakan material yang berukuran 2–4 mm.
7. Lanau (silt) adalah agregat partikel batuan yang berukuran 1/125–1/16 mm.
8. Lempung (clay) adalah agregat partikel batuan yang berukuran kurang dari 1/256 mm.
Setiap kategori itu dapat dibagi lebih jauh. Sebagai contoh, kelas pasir dapat dibedakan menjadi sub-kelas pasir kasar, pasir sedang, dsb. Istilah yang ekivalen dengan istilah-istilah tersebut adalah batupasir kasar, batupasir sedang, dsb.
Dalam beberapa hal, definisi-definisi di atas agak lemah karena memasukkan konsep lain, selain konsep ukuran. Kebundar-an, pengubahan besar butir (abrasi), dan media pengangkut (air, angin, dan es) sebenarnya tidak perlu diperhitungkan. Jadi, istilah-istilah itu tidak murni deskriptif; didalamnya terkandung implikasi genetik. Sebenarnya, mungkin tak seorangpun yang dapat mengikuti batasan itu. Jadi, untuk menentukan besar butir pasir, seseorang tidak perlu menentukan atau memisahkan partikel yang berasal dari batupasir tua dengan partikel yang berasal dari granit.
Dalam beberapa hal, tata peristilahan yang disusun oleh komite itu juga kurang lengkap. Sebagai contoh, komite itu telah menyebabkan terduplikasinya istilah blok yang sebelumnya khusus diterapkan untuk fragmen piroklastik. Selain itu, komite juga tidak mengusulkan istilah analog dari blok untuk fragmen yang diameternya kurang dari 256 mm. Hal itu tampaknya lewat dari perhatian komite. Barangkali komite itu menyetujui usul Woodford (1925) yang memperluas batasan blok, yaitu untuk fragmen menyudut, lebih kurang ekuidimensional, dan berdiameter lebih dari 4 mm. Istilah lemping (slab) telah diusulkan Woodford (1925) untuk menamakan fragmen pipih dengan diameter maksimum lebih dari 64 mm; istilah keping (chip) digunakan untuk menamakan fragmen pipih, menyudut, dan berdiameter kurang dari 64 mm; dan istilah lembaran (flake) dipakai untuk menama-kan fragmen pipih, menyudut, dan berdiameter maksimum 4 mm. Perhatikan bahwa definisi-definisi yang diusulkan oleh Woodford (1925) melibatkan dua sifat: besar butir dan bentuk butir. Karena itu, definisi-definisi itu juga kurang kritis.
Sebelum dan setelah diterbitkannya laporan-laporan Committee on Sedimentation, sebenarnya ada beberapa usulan yang diajukan untuk menyempurnakan tatanama besar butir. Sebagai contoh, Fernald (1929) mengusulkan istilah roundstone untuk menamakan batuan yang tersusun oleh partikel berukuran besar (bongkah, kerakal, dan kerikil). Shrock (1948b) mengusulkan istilah sharpstone untuk analog klastik dari rubble. Jadi, istilah sharpstone conglomerate bisa dipakai untuk menamakan breksi sedimen dan istilah roundstone conglomerate untuk menamakan konglomerat biasa. Dalam usulan Shrock (1948) di atas, sekali lagi kita melihat adanya dua konsep yang terkandung dalam pendefinisian istilah besar butir, yakni besar butir dan kebundaran.
Istilah granul yang diusulkan oleh Wentworth (1922) juga taksa. Istilah granul hingga saat ini masih dipakai untuk menama-kan presipitat kimia, khususnya yang disusun oleh silikat besi seperti granul grinalit (greenalite granule) dan granul glaukonit (glauconite granule). Para ahli umumnya juga tidak menyetujui istilah dan batasan kelas ini. Lane Committee memasukkan material yang berukuran 2–4 mm ke dalam kerikil.
Pembahasan tentang masalah tatanama atau kompendia istilah besar butir dan agregatnya dapat ditemukan dalam karya tulis Bonorino & Teruggi (1952) serta dalam tulisan lain, misalnya karya tulis Köster (1964).
Limit-limit kelas besar butir pada dasarnya bersifat arbitrer dan dipandang “benar” selama disepakati dan dilaksanakan secara konsisten oleh suatu kelompok studi sedimen. Walau demikian, Wentworth (1933) menyatakan bahwa skema peng-golongan yang diusulkannya didasarkan pada dasar “alami”. Dia berkeyakinan bahwa kelas-kelas besar butir utama berkaitan erat dengan cara pengangkutannya oleh aliran air dan dengan cara disintegrasi batuan. Bagnold (1941) menggunakan sifat dinamik dalam mendefinisikan pasir. Menurut Bagnold, limit bawah dari “pasir” merupakan ukuran butir yang terminal settling velocity-nya lebih kecil dibanding arus eddy naik, sedangkan limit atasnya merupakan ukuran butir yang bila terletak pada suatu bidang akan bergerak bila dikenai oleh tekanan langsung dari fluida atau dorongan butiran lain yang bergerak dalam fluida itu. Definisi yang didasarkan pada sifat dinamik ini tergantung pada khuluk fluida yang bergerak dan hanya sahih untuk kondisi aliran “rata-rata”. Lebih jauh Bagnold menyatakan bahwa pasir memiliki suatu karakter yang khas dan tidak dimiliki oleh material lain yang lebih kasar atau lebih halus daripadanya. Bagnold menamakan karakter itu sebagai daya akumulasi sendiri (the power of self-accumulation), yakni kemampuan pasir untuk memanfaatkan energi yang dimiliki medium pengangkut untuk mengumpul-kan partikel-partikel pasir yang terpisah-pisah ke tempat tertentu, sedangkan tempat lain dibiarkan tidak ditutupi oleh pasir.
3.1.3 Penggolongan Agregat Sedimen
Bila dalam masalah pemakaian istilah individu partikel klastika telah tercapai sedikit kesepakatan, para ahli sama sekali belum sepakat dalam pemakaian istilah agregat partikel sedimen. Karena agregat alami jarang tersusun oleh fragmen yang berukuran sama, maka masalah yang timbul dalam kaitannya dengan hal ini adalah tatanama agregat yang disusun oleh campuran fragmen yang berbeda ukurannya. Sebagai contoh, meskipun definisi kerikil telah disusun demikian rinci, namun definisi gravel atau konglomerat sendiri sama sekali belum tersentuh. Berbagai pendapat telah dikemukakan oleh para ahli untuk memecahkan masalah itu. Mungkin dengan tujuan mempertahankan pemakaian istilah gravel, sebagian ahli berpendapat bahwa gravel harus mempunyai besar butir rata-rata yang jatuh pada kisaran besar butir gravel. Ahli lain berpendapat bahwa suatu endapan baru dapat disebut gravel apabila mengandung paling tidak 50% (atau angka lain) partikel yang ukurannya termasuk ke dalam kategori gravel.
Metoda-metoda di atas, atau metoda lain, yang digunakan untuk menamakan agregat sedimen tidak ada yang ekivalen satu sama lain dan tidak ada satupun yang memuaskan semua pihak. Sebagai contoh, suatu sedimen yang terpilah buruk dan merupakan campuran gravel kasar dengan pasir mungkin akan digolongkan sebagai pasir kasar jika harga rata-rata besar butirnya jatuh pada kisaran besar butir pasir kasar, meskipun partikel pasir hanya menyusun 10-20% tubuh sedimen tersebut. Bila suatu saat kita menemukan sedimen yang terpilah buruk secara ekstrim, berupa campuran gravel, pasir, lanau, dan lempung dengan proporsi masing-masing tidak ada yang lebih dari 50%, akan dinamakan apa batuan seperti itu? Beberapa nama khusus pernah diusulkan oleh beberapa ahli misalnya Flint dkk (1960a, 1960b) serta Schermerhorn (1966).
Banyak usul diajukan para ahli untuk memecahkan masalah di atas. Secara umum ada dua ancangan yang diusulkan, yakni:
1. Mencoba membakukan tata peristilahan yang digunakan selama ini. Dengan cara ini, dukungan diberikan pada praktek pemakaian istilah-istilah tertentu dan limit-limit istilah tertentu didefinisikan kembali.
2. Membuat serangkaian batas arbitrer untuk bentuk-bentuk campuran serta mendefinisikan dan memberikan nama untuk tiap campuran itu menurut suatu kerangka pemikiran yang sistematis.
Ancangan pertama cenderung pada ketidakteraturan dan tampaknya akan mendorong munculnya batas-batas dan definisi-definisi yang kurang logis. Ancangan kedua akan menyebabkan timbulnya masalah ketidaksesuaian antara seorang peneliti dengan peneliti lain. Kedua ancangan di atas dapat dilukiskan dengan masalah penamaan campuran pasir dengan gravel. Misalkan ada suatu campuran pasir dan gravel yang membentuk sistem biner yang terdiri dari dua anggota-tepi (end-member), yaitu pasir dan gravel. Campuran sistem biner itu dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian memberi nama setiap kelompok itu (gambar 3-4A). Meskipun skema itu sederhana, namun ternyata kurang terpakai. Willman (1942) menyatakan bahwa sebagian besar endapan yang sehari-hari dinamakan gravel ternyata mengandung lebih kurang 50% pasir, bahkan ada juga yang mengandung pasir hingga 75%. Karena itu, dia mengusulkan skema penggolongan seperti yang terlihat pada gambar 3-4B. Jadi, yang dinamakan pasir kerakalan mengandung kerakal kurang dari 25%; gravel pasiran mengandung 50–75% pasir, dan 25–50% gravel. Menurut skema penggolongan itu, suatu endapan yang mengandung partikel berukuran gravel 25% akan disebut gravel. Karena itu, bila seseorang menyetujui klasifikasi itu, kemudian di lapangan dia menemukan endapan ter-konsolidasi yang disusun oleh 25% komponen berukuran gravel, maka dia harus menamakannya konglomerat.
Campuran tiga komponen seperti campuran pasir-lanau-lempung, meskipun jarang ditemukan, namun memang ada. Hingga dewasa ini banyak usaha dilakukan oleh para ahli untuk menyusun skema penggolongan campuran seperti itu (gambar 3-5). Seperti terlihat pada gambar 3-5, agregat tiga komponen dapat direpresentasikan oleh diagram segitiga sama sisi (triangular diagram), dimana setiap sudut segitiga itu mewakili jenis komponen, sedangkan sisi-sisinya sebanding dengan proporsi setiap komponen. Segitiga itu selanjutnya dapat dibagi menjadi beberapa ruang, dan sebuah istilah diberikan kepadanya.
Sebagaimana terlihat pada gambar 3-5, hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli geologi, oseanografi, ilmu tanah, dan rekayasa mengenai skema penggolongan campuran pasir-lanau-lempung. Sebagai contoh, istilah lempung dipakai sebagai nama agregat yang mengandung paling tidak 50% lempung (diagram A) atau minimal 80% (diagram D).
Untuk menggantikan sistem tiga komponen, beberapa ahli mengusulkan skema penggolongan lain yang didasarkan pada dua parameter. Sebagai contoh, Baker (1920) mendasarkan skema penggolongannya pada “besar butir ekivalei” (“equivalent grade”; maksudnya besar butir rata-rata) dan “faktor besar butir” (“grading factor”; maksudnya koefisien pemilahan). Niggli (1934), sebagaimana Baker, mengusulkan skema penggolongan yang hanya dapat dipakai bila si pemakainya mengetahui distribusi besar butir sedimen secara keseluruhan. Penentuan nama setiap jenis sedimen yang ada dalam skala itu didasarkan pada nisbah dua nilai kritis yang diperoleh dari kurva distribusi besar butir.
Dari seluruh penjelasan di atas, jelas sudah bahwa hingga sekarang bukan saja tidak ada kesepakatan mengenai tatanama, namun juga tidak ada satupun sistem penggolongan yang dapat digunakan tanpa melalui analisis besar butir yang lengkap. Di lain pihak, kita tahu bahwa analisis besar butir tidak mungkin, atau paling tidak sangat sukar, dilakukan pada sedimen yang sangat kompak. Karena itu, manfaat skema-skema klasifikasi itu relatif terbatas sewaktu diterapkan pada sedimen purba.
Meskipun secara teoritis sedimen klastika mungkin merupakan campuran dari tiga (atau empat) komponen, namun nyatanya endapan seperti itu jarang ditemukan. Sebagian besar sedimen disusun oleh satu komponen dan hanya sedikti diantaranya yang mengandung material lain. Karena itu, penyusunan skema klasifikasi tiga atau empat komponen yang rumit dapat dikata-kan tidak perlu. Kita mungkin perlu mencontoh skema klasifikasi yang disusun oleh Wentworth pada 1922 (tabel 3-4). Meskipun skema itu tidak mencakup semua tipe campuran yang mungkin ada, namun hampir tidak menemui hambatan bila diterapkan pada endapan alami, kecuali untuk jenis-jenis yang sangat spesifik. Berdasarkan analisisnya terhadap 50 hasil pengukuran Udden (1914) yang diambil secara random, Wentworth melihat bahwa hanya satu sampel (yakni sampel till) yang tidak sesuai dengan skema klasifikasi itu.
Prinsip seperti itu dipakai oleh Krynine (1948) yang mengusulkan bahwa istilah konglomerat, batupasir, dan batulanau dapat dipertahankan dan kata lain dapat ditambahkan jika memang diperlukan untuk menunjukkan adanya komponen lain dengan proporsi yang layak diperhitungkan. Sebagai contoh, suatu batupasir bisa disebut konglomeratik jika mengandung kerikil > 20%; disebut kerikilan jika mengandung kerikil 10–20%; disebut lanauan jika mengandung lanau > 20%; dan disebut lempungan jika mengandung lempung > 20%. Demikian pula untuk batuan lain.
Penggolongan breksi atau agregat lain yang disusun oleh partikel menyudut didasarkan pada azas yang sama dengan usulan Woodford (1925). Dengan memakai istilah rubble untuk agregat fragmen menyudut yang berukuran > 2 mm, kita dapat menamakan beberapa batuan sebagai berikut: breksi tersusun oleh > 80% rubble; breksi pasiran mengandung pasir > 10%; breksi lanauan mengandung lanau > 10%; breksi lempungan mengandung lempung > 10%. Selain itu, syarat lain yang diperlu-kan adalah tidak ada komponen lain yang proporsinya > 10%. Jika kasus seperti itu muncul, maka diusulkan untuk mengguna-kan istilah breksi tanah (earthy breccia). Kasus yang disebut terakhir ini dapat dipandang sebagai masalah khusus (lihat Bab 6).
3.1.4 Distribusi Besar Butir
3.1.4.1 Skala Besar Butir
Meskipun besar butir partikel sedimen membentuk suatu deret kontinu, namun para ahli menemukan bahwa deret itu perlu dan terasa bermanfaat apabila dibagi-bagi ke dalam sejumlah kelas besar butir. Skema penggolongan hasil pembagian itu disebut skala besar butir (grade scale). Alasan dibuatnya skala itu adalah:
1. Pembagian itu memungkinkan dilakukannya pembakuan tata peristilahan sedemikian rupa sehingga pemerian material sedimen dapat lebih sistematis dan, pada gilirannya, menghindarkan kita dari salah pengertian.
2. Pembagian itu memungkinkan distribusi besar butir mudah dianalisis secara statistik.
Kisaran nilai besar butir yang harus dibagi sangat lebar, mulai dari besar butir lempung yang mungkin hanya sekitar 1 μm, hingga bongkah yang berukuran lebih dari 1 m. Untuk kisaran yang begitu lebar, sukar bagi kita untuk membaginya berdasarkan skala linier karena, misalnya saja, jika 1 mm digunakan sebagai rentang tiap kelas, maka akan terlihat bahwa hampir semua material yang kita kenal sebagai pasir, lanau, dan lempung akan masuk ke dalam satu kelas tersendiri, sedangkan material yang kita kenal sebagai pasir atau gravel justru akan terbaik ke dalam 999 kelas. Jadi, untuk membagi kelas besar butir harus dipakai skala geometri. Dalam skala geometri, selang kelas yang panjang diterapkan pada partikel kasar dan selang kelas yang pendek diterapkan pada partikel halus. Ketika Bagnold (1941) menerapkan skala geometri untuk membagi kelas besar butir, dia melihat bahwa skala ini memang sesuai dengan keadaan alaminya.
Skala alami untuk besar butir partikel sedimen adalah skala geometri. Udden telah menyadari hal itu sejak 1898. Dia memilih satu milimeter sebagai titik awal, kemudian memakai perbandingan ½ (atau 2, tergantung darimana kita melihatnya) sedemikian rupa sehingga limit-limit kelas besar butir itu adalah … ¼, ½, 1, 2, 4, 8, … (gambar 3-3). Skala Udden itu didukung oleh Wentworth (1922) dan Lane Committee dari National Research Council (1947) (tabel 3-3).
Skala Udden memiliki beberapa kelemahan. Skala itu kurang sesuai untuk digunakan dalam menganalisis sedimen yang ter-pilah baik, misalnya pasir gumuk, karena jumlah kelas besar butir pada sedimen tersebut terlalu sedikit untuk dapat dianalisis secara statistik. Karena itu, skala Udden perlu disempurnakan dengan cara membagi setiap kelas besar butir menjadi beberapa sub-kelas. Namun, jika skala geometri tetap dipertahankan, maka pembagian kelas itu akan menyebabkan munculnya limit-limit kelas besar butir yang merupakan bilangan irasional sehingga sukar untuk dilibatkan dalam perhitungan. Selain itu, nilai titk-titik tengah (geometric mean) dari setiap kelas dan sub-kelas yang merupakan salah satu unsur kuantitatif yang dilibatkan dalam perhitungan statistik, juga merupakan bilangan irasional.
Untuk menghindarkan munculnya bilangan irasional dan untuk menyederhanakan perhitungan statistik, Krumbein (1934) mengusulkan suatu skala lain yang disebut skala phi (phi scale). Skala itu disusun berdasarkan hasil observasinya terhadap skala Udden, dimana dia melihat bahwa limit-limit kelas besar butir dalam skala Udden dapat dinyatakan sebagai pangkat dua dari dua: 4 adalah 22, 8 adalah 23, 16 adalah 24, 1 adalah 20, ½ adalah 2–1, dsb. Karena itu, dia mengusulkan pemakaian nilai eksponen (logaritma dengan bilangan dasar 2) dari nilai besar butir untuk menyatakan diameter partikel. Selanjutnya, untuk menghindarkan adanya angka negatif dalam nilai logaritma partikel halus, Krumbein mengalikan log itu dengan –1 (gambar 3-6). Jadi, f = 2log diameter (mm).
Selain skala-skala tersebut di atas, ada beberapa skala besar butir lain yang pernah diusulkan para ahli (lihat gambar 3-3). Beberapa diantaranya ada yang bersifat geometris reguler seperti skala Udden. Skala yang lain agak berbeda. Sebagai contoh, skala yang diusulkan oleh Atterberg (1905), selain bersifat geometris reguler, juga bersifat desimal dan siklitis. Dalam skala desimal, angka limit-limit kelas besar butirnya sama, hanya letak tanda komanya yang berbeda. Sebagai contoh, pada skala Atterberg, angka limit-limit kelas besar butirnya adalah … 0.02, 0.2, 2, 20, 200 … Jumlah kelas dalam skala Atterberg tidak cukup banyak untuk dapat dipakai dalam analisis statistika. Bila setiap kelas ini dibagi lagi menjadi sejumlah sub-kelas, dimana nilai limit-limit sub-kelas besar butir itu dibuat sedemikian rupa sehingga mengikuti aturan logaritmik, maka nilai limit-limit sub-kelas besar butir itu akan berupa bilangan irasional yang sukar diingat, kecuali bila dibulatkan, dan kurang sesuai untuk analisis statistik. Karena itu, dilihat dari segi-segi tersebut, skala Atterberg tidak penting. Walau demikian, skala Atterberg pernah dipakai secara luas oleh para ahli ilmu tanah dan ahli geologi Eropa.
Beberapa skala besar butir yang lain tidak bersifat geometris dan tidak pula linier. Skala tidak beraturan seperti itu digunakan oleh U.S. Department of Agriculture dan para ahli ilmu tanah di Amerika Serikat. Skala itu memang memberikan hasil yang memuaskan bila digunakan untuk memerikan material berbutir sedang dan halus, namun kurang sesuai bila digunakan untuk meneliti material berbutir kasar atau untuk analisis statistik.
Meskipun cukup banyak skala besar butir yang telah disusun oleh para ahli, namun hingga saat ini para ahli ilmu tanah, ahli teknik sipil, ahli oseanografi, dan ahli geologi masih belum sepakat untuk memakai salah satu diantara skala-skala itu sebagai skala baku. Bagi para ahli sedimentologi, suatu skala baku harus bersifat geometris agar memungkinkan dilakukannya analisis statistik. Skala Udden dan skala phi yang diturunkan daripadanya dapat memenuhi tuntutan tersebut. Karena itu, skala ini digunakan secara luas oleh para ahli sedimentologi. Skala itu dijadikan dasar untuk menentukan limit-limit kelas besar butir yang disajikan dalam buku ini.
3.1.4.2 Tampilan Distribusi Frekuensi Besar Butir
Unsur-unsur detritus dari sedimen klastika (butir pasir, kerakal, dsb), apabila disusun berdasarkan ukurannya, akan memperlihatkan distribusi yang kontinu. Maksudnya, nilai besar butir dari semua unsur itu akan dapat disusun secara berurutan, dari kecil hingga besar, dimana nilai-nilai besar butir itu hanya sedikit berbeda sedemikian rupa sehingga dapat dipandang berubah secara berangsur dan kontinu. Seperti telah diketahui, secara konvensi biasanya kita membagi distribusi kontinu itu ke dalam sejumlah kelas besar butir. Pembagian tersebut memungkinkan kita untuk membandingkan distribusi besar butir suatu tubuh sedimen dengan tubuh sedimen lain serta untuk menganalisis distribusinya.
Distribusi frekuensi besar butir suatu sedimen dapat ditampilkan dalam bentuk tabel (gambar 3-5) atau grafik. Tampilan distribusi frekuensi secara grafik lebih mudah ditangkap maksudnya daripada tampilan yang berupa tabel.
Bentuk-bentuk tampilan grafis yang sering dipergunakan adalah histogram dan kurva kumulatif (cumulative curve) (gambar 3-7 dan 3-8). Bentuk histogram dan kurva kumulatif yang digunakan dalam sedimentologi agak menyimpang dari bentuk umum. Karena digunakan untuk analisis besar butir, histogram dan kurva kumulatif itu umumnya memperlihatkan prosentase setiap kelas berdasarkan berat material, bukan prosentase jumlah partikel dalam setiap kelas besar butir. Selain itu, pada beberapa tahun terakhir, nilai besar butir yang dirajahkan pada sumbu-x biasanya berupa logaritma besar butir; bukan besar butirnya sendiri. Karena itu, lebar setiap batang pada histogram, yang merepresentasikan kisaran besar butir, dilukiskan sama, meskipun rentang kelas yang diwakilinya sebenarnya tidak sama. Cara ini mempermudah interpolasi kurva kumulatif. Selain itu, arah perubahan nilai skala dalam kedua bentuk tampilan itu bertolak-belakang dengan pola konvensional. Nilai-nilai besar butir dalam histogram dan kurva kumulatif itu menurun ke arah kanan (kita tahu biasanya suatu kuantitas dalam histogram dan kurva kumulatif konvensional bertambah ke arah kanan). Namun, “keanehan” itu justru menambah tingginya nilai praktis dari kedua gambar itu karena memungkinkan dirajahkannya kurva kumulatif dalam kertas log probabilitas (gambar 3-9). Nilai-nilai diameter atau phi dirajahkan dalam skala biasa, sedangkan frekuensi kumulatif dirajahkan pada skala probabilitas. Banyak kurva kumulatif hasil perajahan itu tampak sebagai garis lurus, bukan berbentuk “S” seperti yang biasa tampak dalam plot biasa (bandingkan gambar 3-8 dengan gambar 3-9).
3.1.4.3 Karakter Distribusi Frekuensi Besar Butir
Hasil pembandingan histogram dari beberapa sedimen yang berbeda memperlihatkan adanya kesamaan dan perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut juga terlihat dalam kurva kumulatif, namun sukar untuk ditafsirkan. Udden (1914) membahas masalah ini dan memperkirakan bahwa perbedaan itu muncul akibat adanya hal-hal yang berkaitan dengan agen atau lingkungan pengendapan. Beberapa contoh variasi karakter distribusi frekuensi besar butir dapat dilihat pada gambar 3-10.
Ada beberapa sifat distribusi frekuensi yang penting untuk dipahami. Seperti terlihat pada gambar 3-10, diantara semua kelas besar butir itu terdapat suatu kelas besar butir yang frekuensinya lebih tinggi daripada kelas besar butir lain. Kelas itu disebut kelas modus (modal class). Kelas-kelas lain memiliki frekuensi yang secara berangsur makin rendah dengan makin jauhnya letak kelas itu dari kelas modus. Walau demikian, kadang-kadang ditemukan pengecualian dimana dua atau tiga kelas besar butir yang terletak cukup jauh dari kelas modus memiliki frekuensi yang lebih tinggi dibanding kelas yang berdampingan dengan kelas modus (gambar 3-10F). Kelas seperti itu disebut kelas modus sekunder (secondary modal class). Sedimen yang memiliki lebih dari satu kelas modus disebut polimodus (polymodal).
Dengan mengamati hasil-hasil analisis yang ditampilkan secara grafis, misalnya yang terlihat pada gambar 3-10, kita dapat menemukan beberapa karakter lain, yaitu:
1. Jumlah kelas besar butir tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki derajat pemilahan yang beragam. Perhatikan jumlah kelas besar butir dalam gambar 3-10A ada 5; dalam gambar 3-10D dan E ada 6; dalam gambar 3-10B dan C ada 9; sedangkan dalam gambar 3-10F ada 10.
2. Letak kelas modus terhadap kelas-kelas lain tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki kemencengan (skewness) yang beragam. Berdasarkan letak modus kelas, relatif terhadap kelas-kelas lain, distribusi besar butir sedimen ada yang setangkup (gambar 3-10A, B, C) maupun tidak setangkup atau menceng (gambar 3-10D dan E).
3. Frekuensi kelas modus, relatif dibanding frekuensi kelas-kelas lain, juga tidak selalu sama. Dengan kata lain, sedimen dapat memiliki kemancungan (kurtosis) yang beragam.
Dari pembahasan di atas, jelaslah sudah bahwa ada empat sifat distribusi besar butir, yakni:
1. Besar butir “rata-rata” atau kecenderungan pertengahan (central tendency): mean, median, dan modus.
2. Dispersi atau “pemilahan”. Dalam istilah statistik, dispersi disebut simbangan baku (standard deviation).
3. Kesetangkupan (symmetry) atau kemencengan (skewness).
4. Kemancungan (kurtosis).
Penjelasan yang lebih mendetil tentang sifat-sifat tersebut, yang dapat digunakan untuk memerikan distribusi frekuensi besar butir, dapat ditemukan dalam berbagai buku ajar statistika elementer.
Sudah barang tentu akan sangat baik apabila kita dapat menyajikan sifat-sifat itu dalam bentuk angka. Penampilan yang ringkas seperti itu tidak hanya memungkinkan kita untuk mengatakan apakah suatu sedimen memiliki pemilahan yang lebih baik (memiliki simpangan baku yang lebih kecil) atau lebih buruk (memiliki simpangan baku yang lebih besar) dibanding sedimen lain, namun juga dapat mengungkapkan seberapa baik pemilahannya. Angka-angka seperti itu juga memungkinkan kita untuk merajahkan ukuran partikel rata-rata (atau sifat lain) terhadap jarak endapan dari sumbernya serta menyajikan hubungan antara ukuran partikel dengan jarak angkut secara kuantitatif. Demikian pula, adanya angka-angka seperti itu memungkinkan kita untuk merajahkan nilai-nilai tertentu, misalnya saja median atau parameter besar butir lain, ke dalam sebuah peta. Dalam peta seperti itu, setiap angka berkorespondensi dengan satu parameter besar tertentu yang diketahui dari sampel yang diambil pada lokasi tersebut. Setelah itu, kita dapat membuat sebuah peta kontur yang didasarkan pada angka-angka yang telah dirajahkan pada peta itu. Dengan cara seperti itu, kita akan dapat menafsirkan arah aliran atau hal lain.
Parameter-parameter distribusi frekuensi besar butir dapat dibaca atau dihitung dari titik-titik tertentu yang ada pada kurva kumulatif. Parameter-parameter sejenis juga dapat ditentukan dengan cara melakukan perhitungan tertentu dengan memakai data mentah. Parameter-parameter seperti itu disebut “ukuran-ukuran momen” (“moment measures”).
Banyak usaha telah dilakukan oleh para ahli untuk menelaah distribusi besar butir dan banyak diantaranya kemudian mengajukan berbagai cara untuk menaksir parameter-parameter besar butir. Ikhtisar berbagai usaha para ahli itu, beserta hasil-hasilnya, telah disajikan secara ringkas oleh Folk (1966). Selain itu, perlu juga ditelaah karya tulis Inman (1952), Krumbein & Pettijohn (1938), serta McBride (1971). Tidak mungkin bagi kita untuk membahas dan mengevaluasi semuanya disini. Secara umum, dapat dikatakan bahwa dewasa ini ada kecenderungan di kalangan para ahli untuk menggunakan nilai phi, bukan nilai diameter sebenarnya, dalam mengungkapkan karakter distribusi besar butir serta untuk menghitung parameter-parameter besar butir dari titik-titik tertentu yang ada pada kurva kumulatif, misalnya nilai-nilai kuartil (persentil 25, 50, dan 75) bersama-sama dengan persentil 10 dan 90 atau nilai-nilai persentil 5, 16, 50, 84, dan 95. Tabel 3-6 merupakan ikhtisar dari beberapa rumus yang dapat digunakan untuk menyatakan parameter-parameter besar butir.
3.1.4.4 Khuluk Matematis dari Distribusi Frekuensi Besar Butir
Udden (1914) menemukan fakta bahwa skala besar butir geometris cenderung menyebabkan terbentuknya kurva frekuensi (atau histogram) yang simetris. Dengan kata lain, apabila kita merajahkan distribusi frekuensi bukan dengan memakai nilai besar butir sebenarnya, melainkan nilai log besar butir sebagai variabel bebas, maka distribusi besar butir akan cenderung simetris. Fakta itu mendorong sebagian ahli untuk menelaah khuluk distribusi besar butir serta menentukan jenis fungsi, menyatakan fungsi itu dalam bentuk persamaan, dan mencari faktor-faktor fisik apa yang melatarbelakanginya.
Krumbein (1938) menyimpulkan bahwa banyak sedimen memiliki distribusi besar butir log normal dan dia menyajikan distribusi itu sebagai sebuah fungsi Gauss, di dalam distribusi mana nilai log besar butir digunakan sebagai pengganti nilai besar butir sebenarnya. Krumbein kemudian melakukan sejumlah pengujian untuk meneliti normalitas fungsi tersebut sedemikian rupa sehingga akhirnya dia dapat menemukan sejumlah persyaratan yang dapat dipenuhi oleh kebanyakan sedimen. Karakter log normal dari distribusi besar butir dapat dengan cepat diketahui dari kertas probabilitas yang telah dimodifikasi (Otto, 1939). Distribusi besar butir, yang dinyatakan sebagai prosentase berat, dikumulasikan dengan cara biasa dan kemudian dirajahkan sebagai fungsi dari log besar butir (gambar 3-9). Sedimen pada umumnya hanya memperlihatkan sedikit deviasi dari garis lurus; bahkan ada sebagian yang benar-benar muncul sebagai sebuah garis lurus. Walau demikian, harus diakui bahwa ada sedimen yang tidak memperlihatkan distribusi log normal.
Bagnold (1941) berkeyakinan bahwa distribusi besar butir bukan merupakan fungsi log normal, melainkan fungsi probabilitas lain. Roller (1937, 1941) mengajak para ahli untuk memperhatikan kekeliruan teoritis dan aktual dari hukum probabilitas Gauss untuk partikel kasar dan partikel halus yang ada dalam sedimen. Pada beberapa kasus, distribusi besar butir mungkin lebih mendekati distribusi partikel yang merupakan produk penghancuran random. Distribusi besar butir itu, sebagaimana diperlihat-kan oleh batubara yang dihancurkan, dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan seperti yang diajukan oleh Rosin & Rammler (1934). Beberapa endapan piroklastik kasar, glacial boulder clay atau till, serta produk pelapukan residu yang diamati oleh Krumbein & Tisdel (1940) memiliki distribusi yang mengindikasikan bahwa pembentukannya terjadi akibat proses penghancuran random. Kesimpulan itu didukung oleh hasil-hasil penelitian Kittleman (1964). Lihat gambar 3-11. Bahkan, distribusi besar butir dalam beberapa sedimen biasa (misalnya batupasir arkose dan batupasir kuarsa) mendekati Hukum Rosin (Dapples dkk, 1953). Walau demikian, Roller (1937, 1941) menyatakan bahwa Hukum Rosin juga memiliki beberapa kelemahan teoritis dan praktis.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa banyak, jika bukan sebagian besar, distribusi frekuensi besar butir sedimen alami merupakan gabungan dari dua atau lebih distribusi diskrit. Setiap distribusi itu merupakan sebuah populasi tersendiri, dimana masing-masing mungkin merupakan distribusi log normal. Kombinasi dari sejumlah distribusi itu menyebabkan munculnya distribusi yang cenderung memiliki kemencengan tinggi, bahkan dalam beberapa kasus menyebabkan munculnya distribusi bimodus (atau polimodus). Beberapa usaha telah dilakukan oleh para ahli—misalnya Tanner (1959), Spencer (1963), dan Visher (1969)—untuk “memisahkan” kurva kumulatif dan memisahkan populasi-populasi dfskrit yang membentuk populasi total itu.
3.1.5 Distribusi Besar Butir dan Penyebabnya
Secara umum, penafsiran hasil analisis besar butir dilakukan dengan tiga metoda. Metoda pertama mengaitkan karakter kurva distribusi besar butir dengan hidrodinamika (dengan proses pengendapan). Metodologi ini dikembangkan oleh Udden (1914) untuk menelaah distribusi bimodus yang diperlihatkan oleh banyak sedimen sungai yang berbutir kasar, dimana modus kasar ditafsirkan sebagai produk pengangkutan traksional, sedangkan modus yang lebih halus ditafsirkannya sebagai produk pengangkutan saltasional. Penafsiran kurva-kurva distribusi besar butir dalam kaitannya dengan hidrodinamika dikembangkan lebih jauh oleh Inman (1949), Moss (1962, 1963), Friedman (1967), dan Visher (1969). Metoda kedua didasarkan pada asumsi bahwa distribusi besar butir sedimen pada dasarnya merupakan produk dari proses-proses pembentukan sedimen. Dalam metodologi ini, distribusi besar butir dinisbahkan pada batuan sumber dan distribusi itu sendiri merupakan cerminan dari proses disintegrasi batuan sumber. Breakage theories yang dikembangkan oleh Rosin & Rammler (1934), Kolmogorov (1941), dan Tanner (1959) serta berbagai pengamatan yang dilakukan oleh Rogers dkk (1963) dan Smalley (1966) merupakan contoh dari penerapan metoda ini. Metoda ketiga adalah melakukan penelitian empiris terhadap karakter distribusi besar butir sedimen yang diambil dari berbagai lingkungan geomorfik untuk melihat hubungan, jika ada, antara distribusi besar butir dengan lingkungan pengendapan. Metodologi ini ditemukan pertama kali oleh Udden (1914), kemudian dikembangkan oleh Wentworth (1931a), Sindowski (1957), Friedman (1961, 1962), Moiola & Weiser (1968), dan beberapa ahli lain.
Dalam tulisan di bawah ini kita akan membahas secara lebih mendetil setiap ancangan tersebut di atas dalam mempelajari distribusi besar butir sedimen.
3.1.5.1 Besar Butir dan Provenance
Besar butir tertentu terlihat kurang terepresentasikan secara layak dalam sistem sedimen. Wentworth (1933) mengajak para ahli untuk menelaah masalah itu dan berpendapat bahwa hasil penelaahan itu akan menjadi dasar alami untuk mendefinisikan kelas-kelas besar butir. Dia menyatakan bahwa kurang terepresentasikannya kelas besar butir tertentu, dan lebih terepresentasi-kan kelas besar butir lain, terjadi akibat proses pembentukan partikel dan faktor-faktor hidrodinamika (tabel 3-7).
Apa buktinya bahwa kelas-kelas besar butir tertentu kurang terepresentasikan dalam distribusi besar butir sedimen? Einstein dkk (1940) menyitir hasil penelitian Nesper di Sungai Rhine, Swiss, di tempat mana material dasar sungai disusun oleh partikel dengan diameter 5–100 mm. Selain itu, diantara bongkah yang relatif besar serta pada lubuk yang relatif terlindung ditemukan pasir dengan diameter 1 mm dan material lain yang lebih halus daripadanya. Walau demikian, partikel dengan diameter 1–5 mm tidak ditemukan di sana. Para peneliti itu menyimpulkan bahwa partikel dengan diameter 1–5 mm “jarang ditemukan karena adanya pengaruh faktor-faktor geologi dan hidrolika tertentu”. Di Sungai Rhine, material kasar merupakan bagian dari beban dasar, sedangkan pasir merupakan bagian dari beban suspensi.
Statistik dari sekitar 1000 data analisis besar butir yang telah diterbitkan menunjukkan adanya defisiensi pada kelas granul (2–4 mm) dan pasir kasar (1–2 mm), bahkan mungkin juga pada kisaran pasir halus (1/16–1/8 mm) (Pettijohn, 1940). Bukti yang menyokong kesimpulan tersebut terutama berupa fakta bahwa kelas modus sedimen jarang yang jatuh pada kelas-kelas besar butir tersebut. Kalau memang tidak terjadi defisiensi, maka hasil analisis besar butir yang ada selama ini akan memperlihatkan bahwa kelas modus juga akan sering jatuh pada kelas-kelas tersebut, sesering kelas modus yang jatuh pada kelas-kelas besar butir lain. Hasil analisis terhadap 241 sampel pasir dan gravel aluvial dari bagian selatan California (Conkling dkk, 1934) menunjukkan bahwa kelas modus hanya jatuh tiga kali pada kelas besar butir 2–4 mm. Angka itu jauh lebih kecil dibanding dengan kelas modus ½–1/4 mm yang jatuh sebanyak 63 kali dan kelas modus 32–64 mm yang jatuh sebanyak 41 kali. Hasil-hasil penelitian itu didukung oleh Schlee (1957) yang meneliti gravel aluvial pada bagian hulu sungai di selatan Maryland. Dari 72 sampel alur, tidak ada satupun yang memiliki kelas modus 1–2 mm atau 2–4 mm. Distribusi besar butir komposit, yang dibuat dengan cara menyatakan nilai rata-rata dari 72 sampel tersebut, juga memperlihatkan defisiensi pada kelas-kelas besar butir tersebut (gambar 3-12).
Keanehan tersebut tidak hanya berlaku pada sedimen fluvial karena, sebagaimana diperlihatkan oleh Hough (1942), sedimen pesisir dan sedimen dasar teluk Buzard dan Cape Cod juga memperlihatkan defisiensi seperti itu. Hough menyatakan bahwa median dari beberapa ratus sampel jarang yang jatuh pada kelas 2–4 mm atau kelas 1/16–1/32 mm. Demikian pula, data distribusi besar butir komposit dari 64 sampel sedimen Massachussetts Bay yang dianalisis oleh Trowbridge & Shepard (1932) menunjukkan rendahnya frekuensi pada kelas 1–2 mm. Rendahnya frekuensi itu dijelaskan sebagai kekosongan (gap) antara dua beban sedimen: salah satu beban diangkut oleh gelombang badai, sedangkan beban lain diangkut oleh gelombang yang lebih tenang. Perlu dicamkan bahwa sedimen pada umumnya, baik sedimen lepas pantai maupun sedimen gisik, tidak bersifat bimodus seperti sedimen fluvial yang berbutir kasar dan bahwa defisiensi kelas-kelas besar butir tertentu hanya akan terlihat apabila semua hasil analisis diamati. Tidak semua peneliti merasa yakin bahwa kelas-kelas besar butir 1–2 mm dan 2–4 mm kurang terepresentasikan. Russell (1968) meninta perhatian para ahli terhadap konsentrasi-konsentrasi pasir sangat kasar dan gravel halus pada gisik tertentu, dimana material itu hadir dalam kelimpahan yang luar biasa. Dia menyimpulkan bahwa, secara hidrodinamik, kelas-kelas besar butir itu tidak stabil dalam sungai serta cenderung terpilah dan terangkut dengan cepat menuju laut untuk kemudian terakumulasi pada gisik.
Sedimen eolus tampaknya memperlihatkan defisiensi pada kelas 1/8–1/16 mm. Keanehan itu dikemukakan oleh Udden (1914). Sebagaimana sedimen sungai yang berbutir halus, sedimen eolus jarang yang bersifat bimodus. Walau demikian, kelas modus itu jarang yang jatuh pada kelas 1/8–1/16 mm. Udden tidak menganalisis sebab musabab munculnya keanehan tersebut, namun dia menyatakan bahwa gejala itu mungkin tidak umum dan kita mungkin dapat menemukan endapan eolus lain yang modus kelasnya jatuh pada kelas besar butir itu sehingga apa yang semula tampak merupakan defisiensi itu sebenarnya tidak ada. Bahwa ada suatu kekosongan antara lanau dan pasir juga dikemukakan oleh Rogers dkk (1963) serta oleh Tanner (1958). Masalah itu telah dikaji lebih jauh oleh Wolff (1964). Suatu distribusi komposit yang disusun dari hasil 930 analisis besar butir memperlihatkan defisiensi pada kelas lanau kasar. Wolff mengira bahwa defisiensi itu berkaitan dengan pemakaian teknik analitik untuk lanau dan lempung yang berbeda dengan teknik analitik yang digunakan untuk pasir. Jika bukan merupakan artefak dari perbedaan teknik analisis, maka kekosongan itu mungkin muncul akibat ketidaksempurnaan sampel dan bahwa kekosongan itu mungkin akan hilang apabila sedimen lain dimasukkan ke dalam sampel yang dianalisis.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan defisiensi kelas-kelas besar butir tertentu atau paling tidak defisiensi sedimen dengan modus kelas seperti itu. Kita mungkin dapat mengasumsikan bahwa material yang berada dalam kisaran kelas-kelas besar butir itu dihasilkan oleh pelapukan dan tidak pernah diendapkan sebagai kelas modus untuk alasan-alasan hidrodinamika tertentu atau material itu hilang sewaktu terangkut karena ketidakstabilan mekanisnya. Kita juga dapat menganggap ada suatu defisiensi primer untuk kelas-kelas besar butir tertentu. Mungkin pelapukan tidak menghasilkan berbagai kelas besar butir dalam jumlah yang sama. Sukar bagi kita untuk menentukan hipotesis mana yang dengan tepat memaparkan sebab-musabab munculnya defisiensi tersebut. Jika kelas-kelas besar butir itu dihasilkan oleh pelapukan atau abrasi, apa yang menjadi sumber partikel-partikel tersebut? Faktor-faktor hidrolika mungkin dapat menghambat pengendapan partikel tersebut pada tempat-tempat tertentu, namun tidak mungkin dapat menghambat pengendapannya di setiap tempat. Mungkin partikel itu tersegregasi, sebagaimana diperkirakan oleh Russell (1968), dan kemudian diendapkan secara terpisah pula. Kita juga dapat menganggap bahwa partikel itu memang dihasilkan oleh pelapukan, namun memiliki stabilitas mekanik yang rendah sehingga kemudian terhancurkan. Kita pun tidak dapat menolak perkiraan yang menyatakan bahwa partikel itu mungkin tidak dihasilkan dalam jumlah yang cukup banyak pada lingkungan pelapukan. Hipotesis pertama telah digunakan untuk menjelaskan defisiensi pada kelas 2–4 mm (Hough, 1942). Partikel seperti itu memang dapat terbentuk akibat disintegrasi (namun tidak terbentuk akibat dekomposisi) batuan plutonik. Butiran-butiran mineral yang menyusunnya relatif besar dibanding ukuran total dari partikel tersebut. Karena itu ada sebagian ahli yang berpendapat bahwa partikel granul secara struktural memang lemah dan tidak mampu menyelamatkan diri dari aksi sungai yang keras.
Di lain pihak, bukan tidak mungkin bahwa proses-proses disintegrasi batuan asal menghasilkan lebih banyak partikel dengan ukuran tertentu dan relatif kurang banyak menghasilkan partikel dengan ukuran lain sedemikian rupa sehingga sejak awal memang telah ada defisiensi distribusi besar butir. Ada tiga kategori ukuran partikel yang kemungkinan besar akan terbentuk dari hancuran batuan (disini kita menujukan perhatian pada batuan sumber kristalin; untuk batuan sedimen klastika, pelapukan hanya akan menyebabkan terlepasnya partikel-partikel yang terbentuk pada fasa sedimentasi sebelumnya). Sebagian batuan secara khas menghasilkan blok sewaktu terlapukkan, sedangkan sebagian lain mengalami proses penghancuran lanjut dan menghasilkan partikel berukuran pasir. Contoh batuan yang biasanya menghasilkan blok adalah kuarsit; sedangkan contoh batuan yang biasa mengalami penghancuran tahap lanjut dan menghasilkan partikel berukuran pasir adalah batuan beku asam yang berbutir kasar dan gneiss. Produk disintegrasi yang berukuran pertengahan mungkin relatif jarang. Walau demikian, data yang ada dewasa ini masih inkonklusif; lima sampel batuan granitik yang terdisintegrasi (namun tidak terdekomposisi) yang dianalisis oleh Krumbein & Tisdel (1940) terlihat paling banyak mengandung partikel 2–4 mm (gambar 3-13). Walau demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Dake (1921) dan Smalley (1966), distribusi besar butir partikel kuarsa sangat dibatasi oleh distribusi besar butir kuarsa dalam batuan kristalin faneritik. Partikel yang berukuran lebih dari 1 mm jarang ditemukan. Blok yang dihasilkan akan menjadi material berukuran kerikil; bukan pasir. Selain itu, proses penghancuran lanjut pada umumnya tidak terjadi, kecuali apabila ada gaya-gaya yang luar biasa.
Dekomposisi menghasilkan partikel berukuran lempung. Karena itu, akan tampak adanya defisiensi dalam kelas besar butir lanau. Walau demikian, lanau relatif umum ditemukan dan proses pembentukannya merupakan satu masalah tersendiri. Rogers dkk (1963) memperkirakan bahwa lanau dihasilkan oleh pelepasan partikel berukuran lanau dari partikel kuarsa yang ukurannya lebih besar. Pandangan seperti itu juga dikemukakan oleh Smalley & Vita-Finzi (1968) yang berpendapat bahwa proses itu paling efektif bekerja selama terjadinya pengangkutan oleh angin di daerah gurun. Penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Kuenen (1969) mengenai pengangkutan eolus gagal untuk mendukung gagasan tersebut. Kuenen menisbahkan lanau pada pelapukan batuan berbutir halus yang banyak mengandung kuarsa. Vita-Finzi & Smalley (1970) menyimpulkan bahwa glacial grinding bertanggungjawab terhadap ruah lanau dalam rekaman geologi. Eratnya asosiasi antara loess—yang terutama disusun oleh lanau—dengan glasiasi kontinental sedikit banyaknya memperlihatkan kesesuaian dengan pendapat tersebut.
Hingga sejauh mana komposisi besar butir dari populasi yang lebih besar mempengaruhi kurva distribusi besar butir dari sedimen tertentu? Karakter bimodus yang diperlihatkan oleh sedimen sungai berbutir kasar dinisbahkan pada defisiensi primer dalam kelas-kelas besar butir yang memisahkan kelas-kelas modus (gambar 6-2). Apakah karakter bimodus dari material itu akan dipertahankan dalam endapan yang terbentuk oleh sungai? Agaknya hal itulah yang terjadi pada kasus sedimen yang diendapkan oleh es—boulder clay atau till. Analisis till umumnya memperlihatkan satu atau lebih modus sekunder yang agaknya tidak bersifat random. Modus sekunder itu mungkin merepresentasikan “pembebanan” es oleh material khusus yang pernah terpilah dan terendapkan pada siklus sedimentasi sebelumnya. Es yang bergerak di atas sandy outwash dapat mengambil banyak material penyusun sandy outwash itu sehingga hasil analisis besar butir endapan es akan memperlihatkan bahwa endapan itu hanya mengandung sedikit pasir. Masalah apakah hal yang analog terjadi juga pada sedimen endapan akuatis, hal itu masih belum dapat dipastikan, meskipun sejumlah peneliti berkeyakinan bahwa hal itu juga terjadi dalam sedimen endapan akuatis. Swenson (1942) berpendapat bahwa sedimen penyusun tepi Sungai Mississippi banyak terubah oleh input dari suatu anak sungai utama, yakni Sungai Maquoketa. Curray (1960) berkeyakinan bahwa kurva distribusi besar butir dari banyak sedimen di dasar Teluk Mexico ditentukan oleh proporsi beberapa sedimen yang sebenarnya kecil kemungkinannya untuk diendapkan secara bersama-sama.
3.1.5.2 Besar Butir dan Pengangkutan
Seberapa jauh dan dengan cara bagaimana proses-proses pengangkutan mempengaruhi besar butir dan distribusi besar butir sedimen? Efek-efek pengangkutan belum dapat dipahami sepenuhnya. Konsep-konsep yang ada dewasa ini terutama didasarkan pada penalaran deduktif dan hanya didukung oleh data percobaan atau data lapangan yang jumlahnya sangat terbatas. Meskipun banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui efek-efek pengangkutan terhadap ukuran material yang di-angkut, namun kita masih belum dapat memastikan sebab-musabab timbulnya efek-efek besar butir sebagaimana yang terlihat dalam lingkungan-lingkungan alami. Secara umum, gravel yang diangkut oleh sungai tampaknya mengalami penurunan ukuran ke arah hilir (gambar 3-14). Selain itu, karena sudut-sudut material berukuran besar makin membundar dan karena sisi-sisinya makin halus ke arah hilir, maka diasumsikan bahwa abrasi merupakan proses yang bekerja aktif selama pengangkutan dan, oleh karenanya, penurunan ukuran ke arah hilir disebabkan oleh proses penghancuran seperti itu. Hal itu mungkin ada benarnya. Namun, sebagaimana dikemukakan pada Bab 14, penurunan ukuran dalam beberapa kasus kemungkinan besar tidak hanya disebabkan oleh abrasi, namun merupakan cerminan penurunan kompetensi sungai. Penurunan kompetensi itu sendiri pada gilirannya berkaitan dengan penurunan gradien sungai ke arah hilir.
Pernyataan bahwa pasir dan gravel mengalami penurunan ukuran ke arah hilir selama berlangsungnya pengangkutan hampir merupakan sebuah aksioma. Pembundaran yang terlihat pada semua kecur matang mengimplikasikan terjadinya peng-hancuran dan penurunan berat.
Abrasi merupakan sebuah istilah umum yang berarti penghancuran atau atrisi. Dengan pengertian seperti itu, istilah abrasi dapat diterapkan pada hampir setiap proses penurunan ukuran secara mekanis. Walau demikian, sebagian peneliti mengenal adanya beberapa jenis proses penurunan ukuran dan kemudian mendefinisikan ulang istilah abrasi dalam pengertian yang lebih terbatas. Marshall (1927) menyatakan adanya tiga proses penurunan ukuran: abrasi (dalam pengertian terbatas), tumbukan (impact), dan grinding. Abrasi adalah efek pengeratan yang dilakukan oleh suatu partikel terhadap partikel lain. Abrasi merupa-kan proses penghancuran yang berlangsung paling lambat. Tumbukan adalah pukulan suatu partikel berukuran relatif besar terhadap partikel lain yang ukurannya lebih kecil. Karena itu, tumbukan hanya memegang peranan penting jika ada perbedaan ukuran yang berarti antara partikel yang menumbuk dengan partikel yang tertumbuk. Jika perbedaan ukuran itu cukup jauh dan jika suatu sistem didominasi oleh partikel besar, maka partikel kecil akan mengalami penghancuran dalam waktu relatif singkat. Grinding adalah crushing partikel kecil sewaktu berhubungan terus menerus dengan partikel yang lebih besar daripadanya dan dikenai oleh tekanan partikel-partikel besar itu. Grinding merupakan proses penghancuran yang paling efektif, bahkan lebih efektif dibanding tumbukan sekalipun. Dalam abrasion mill, partikel pasir yang bercampur dengan gravel dalam beberapa jam akan terubah menjadi partikel lanau dan lempung.
Wadell (1932) menyatakan adanya empat proses abrasi: pelarutan (solution), atrisi (attrition), chipping, dan penyubanan (splitting). Perbedaan diantara keempat proses itu terutama terletak pada nisbah ukuran material yang dihasilkan oleh abrasi, relatif terhadap ukuran partikel sebelum terabrasi. Modus abrasi sendiri tidak dipertimbangkan dalam penggolongan tersebut. Jika partikel hasil abrasi berukuran suboptik, maka penghancurannya disebut pelarutan. Pelarutan dapat merupakan peng-hancuran ionik atau penghancuran koloidal. Jika partikel hasil abrasi dapat dilihat, namun ukurannya kurang dari 1/150 kali ukuran partikel asalnya, maka penghancurannya disebut atrisi. Jika partikel hasil abrasi masih cukup besar dan terbentuk akibat hilang-nya sudut-sudut partikel asal, maka proses penghancurannya disebut chipping. Jika proses penghancuran itu menghasilkan fragmen-fragmen yang ukurannya lebih kurang sama, maka proses itu disebut penyubanan.
Atrisi normal pada gravel menghasilkan material berukuran lanau atau lempung, bukan pasir. Chipping dan penyubanan jarang terjadi, kecuali di bawah aliran yang sangat cepat, dimana kondisi itu memicu terbentuknya spalls dan broken rounds. Bretz (1929) mengajak para ahli untuk memperhatikan berbagai broken rounds dari sejumlah gravel yang ada di scabland areas, Washington. Menurut Bretz (1929), persentase kerikil dan kerakal yang dahulu membundar dan sekarang ditemukan terpecah-pecah jauh melebihi jumlah pecahan gravel yang ditemukan dalam gosong-gosong di Sungai Columbia. Dengan demikian, dia menyimpulkan bahwa gravel scabland areas diangkut oleh banjir yang luar biasa besarnya. Sekuat apapun aliran “normal” dalam sungai masa kini, namun gravel yang diangkutnya tidak akan membentuk broken rounds, melainkan hanya akan menyebabkan pembundaran pada gravel itu. Meskipun atrisi normal jauh lebih sering terjadi dibanding penyubanan, namun hal itu tidak berarti bahwa penyubanan jarang terjadi. Sebagai buktinya, kita bisa menemukan broken rounds dalam kebanyakan gravel. Proporsi broken rounds dalam suatu gravel mungkin tidak hanya berkaitan dengan kekuatan aliran, namun mungkin juga dengan ketahanan partikel dan proses-proses pemecahan batuan pasca-pengendapan.
Kuenen (1956) mencoba untuk menganalisis proses abrasi. Dia mengenal adanya tujuh proses penurunan ukuran partikel: penyubanan, crushing, chipping, cracking, grinding, pelarutan, dan blasting. Cracking adalah proses yang bertanggungjawab terhadap pembentukan percussion marks berbentuk bulan sabit pada permukaan kerikil. Sand blasting adalah penghancuran yang disebabkan oleh pasir yang menumbuk suatu kerikil yang sedang diam.
Hingga dewasa ini belum ada penelitian lengkap atau menyeluruh terhadap efek-efek penurunan ukuran butir terhadap parameter-parameter besar butir. Hal itu antara lain terjadi karena proses itu berlangsung secara bersamaan dengan proses pe-milahan sehingga para ahli mendapatkan kesukaran untuk memisahkan efek-efek penurunan ukuran dari efek-efek pemilahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Marshall (1927), di bawah kondisi tertentu, beberapa partikel dikenai oleh proses penurunan ukuran yang lebih cepat dibanding partikel lain. Hal itu banyak menimbulkan perubahan dalam komposisi “campuran” asli dalam abrasion mill. Jika produk abrasi yang berbutir halus dipengaruhi oleh efek-efek pemilahan, maka hasilnya adalah peningkatan besar butir rata-rata dari residu dan peningkatan pemilahan (penurunan simpangan baku).
Para ahli juga makin lama makin tertarik pada laju penurunan ukuran dan faktor-faktor yang mengontrolnya. Sebagian aspek laju abrasi dapat dipelajari dalam abrasion mill dan percobaan lain yang berkaitan dengannya, namun para ahli menemukan kesulitan untuk menerapkan hasil percobaan-percobaan tersebut pada situasi alami dimana penurunan ukuran hanya sebagian (mungkin sebagian kecil saja) yang berkaitan dengan penghancuran. Sebagian besar penurunan ukuran ke arah hilir dinisbah-kan pada pemilahan.
Penelitian-penelitian laboratorium yang terkontrol menawarkan ancangan lain untuk memecahkan masalah itu. Percobaan-percobaan itu pertama kali dilakukan oleh Daubrée (1879) yang memberikan sumbangan pemikiran penting mengenai hal itu. Walau demikian, penelitian eksperimental seperti itu memiliki beberapa kelemahan. Pertama, penelitian itu menyederhanakan permasalahan karena tidak seorang pun yang dapat memastikan bahwa kondisi-kondisi dalam abrasion mill mendekati (karena yang jelas tidak sama) kondisi-kondisi sungai atau pesisir. Hasil-hasil penelitian eksperimental dapat diekstrapolasikan hingga limit-limit tertentu: karena sebagian besar penelitian abrasion mill dilakukan pada fragmen berukuran kerikil, maka berbagai kesimpulan yang diambil daripadanya dapat menimbulkan galat ketika diterapkan pada pasir. Sejak penelitian pionir yang dilaku-kan oleh Daubrée (1879), tidak sedikit ahil mencoba melakukan penelitian sejenis terhadap penghancuran gravel, termasuk Wentworth (1919, 1931b), Marshall (1927), Schoklitsch (1933), Krumbein (1941b), Raleigh (1943, 1944) dan Potter (1955). Lihat gambar 3-14. Penelitian-penelitian itu dilakukan dengan memakai abrasion mill atau tumbling barrel. Penelitian-penelitian ter-akhir (Kuenen, 1955, 1956, 1964; Bradley dkk, 1972) menggunakan circular moat, sebuah alat yang diyakini lebih mendekati kondisi sungai alami.
Penelitian-penelitian eksperimental tersebut di atas memperlihatkan bahwa penurunan ukuran gravel oleh abrasi dan proses-proses lain yang berkaitan dengannya merupakan fungsi dari ukuran partikel, khuluk (ketahanan) partikel, khuluk dan “kehebatan” (rigor; violence) aksi abrasi, ukuran dan proporsi material yang mengalami abrasi, khuluk material dasar dimana gravel bergerak (apakah berupa pasir atau gravel), serta durasi proses abrasi atau jarak abrasi.
Efek besar butir jelas terlihat: gravel dengan cepat terabrasi dan membundar, sedangkan pasir sangat lambat terabrasi. Bahkan, untuk partikel kerikil sekalipun, prosentase material yang hilang untuk suatu jarak pengangkutan tertentu lebih banyak terjadi pada partikel yang ukurannya lebih besar (Kuenen, 1956). Hasil penelitian itu menjadi makin kompleks pada saat diguna-kan sebuah campuran yang terdiri dari beberapa kategori besar butir, bukan material yang hanya disusun oleh satu kategori besar butir. Dalam campuran, justru partikel halus yang lebih banyak mengalami penghancuran. Hal itu mungkin terjadi karena pengaruh gaya-gaya yang diberikan oleh partikel besar terhadap partikel kecil. Sebagaimana diakui oleh semua peneliti, ketahanan (durability) material memegang peranan penting. Secara umum, rijang, kuarsit, dan kuarsa urat merupakan material yang paling tahan terhadap penghancuran; batuan metamorf menempati posisi kedua, sedangkan batupasir dan batugamping merupakan material yang paling lemah terhadap penghancuran (Plumley, 1948; Kuenen, 1956). “Kehebatan” aksi penghancuran juga merupakan faktor penting. Laju penghilangan massa meningkat dengan makin hebatnya aksi penghancuran. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Kuenen (1956) menunjukkan bahwa abrasi sebanding dengan pangkat dua kecepatan aliran. Masalah apakah ada atau tidak ada kecepatan kritis untuk mineral atau batuan tertentu, di atas kecepatan kritis mana chipping dan penyubanan lebih dominan dibanding tipe abrasi lain, sebagaimana dikemukakan oleh Krynine (1942), tidak diketahui. Sebagaimana diperlihatkan oleh Kuenen (1956), khuluk permukaan dasar sungai, di atas mana gravel diangkut, juga memegang peranan penting. Penghilangan massa akan relatif rendah jika material penyusun dasar sungai berupa pasir dan akan relatif tinggi, mungkin sekitar lima kali lipat, apabila material penyusun dasar sungai berupa gravel. Efek bentuk asal dari partikel tampaknya sangat kecil. Walau demikian diketahui bahwa laju penghilangan massa menjadi menurun sejalan dengan ber-tambahnya kebundaran partikel. Pengaruh agen geologi pada penghancuran gravel lebih rendah dibanding pengaruhnya terhadap penghancuran pasir. Penelitian-penelitian eksperimental yang dilakukan terhadap surf action masih sangat sedikit (Kuenen, 1964). Penghancuran gravel oleh surf action agaknya berlangsung cepat.
Semua penelitian eksperimental yang dilakukan selama ini menunjukkan bahwa laju penurunan besar butir mencapai nilai tertinggi pada tahap awal proses pengangkutan dan cenderung menurun secara eksponensial sejalan dengan bertambahnya waktu dan jarak angkut (Krumbein, 1941b; Schoklitsch, 1933).
Penelitian-penelitian eksperimental terhadap abrasi pasir antara lain dilakukan oleh Daubrée (1879), Anderson (1926), Thiel (1940), Kuenen (1959, 1960a, 1960b), serta Berthois & Portier (1957). Semua penelitian itu menunjukkan bahwa, apabila tidak terdapat partikel kasar, abrasi pasir berlangsung dengan laju yang jauh lebih rendah. Daubrée (1879), misalnya saja, menunjuk-kan bahwa partikel pasir hanya akan kehilangan massa sebanyak 0,01% per kilometer jarak angkut. Dengan menggunakan circular moat, bukan revolving mill, Kuenen (1958) menemukan fakta bahwa butiran kuarsa yang berdiameter sekitar 0,5 mm akan kehilangan sekitar 0,0001% material per kilometer jarak angkut. Hasil penelitiani itu mengimplikasikan bahwa pengangkut-an sejauh 10.000 km tidak akan menghasilkan pembundaran yang berarti pada partikel kuarsa dengan ukuran sebesar itu. Karena sungai pada umumnya memiliki panjang sekitar 1000 km, bahkan kurang dari itu, maka 10 siklus abrasi mekanis oleh sungai hanya akan menyebabkan penghilangan massa kurang dari 1%. Penelitian lain, dengan memakai abrasion mill (Berthois & Portier, 1957; Thiel, 1940) menunjukkan penghilangan massa yang lebih besar dari itu, namun hasil penelitian itu tetap menunjukkan bahwa penurunan ukuran yang berarti pada pasir kuarsa tidak dapat dicapai oleh aksi sungai. Untuk mengubah suatu partikel pasir berbentuk kubus dengan panjang sisi 1 mm agar sudut-sudutnya berubah sedemikian rupa sehingga kubus itu berubah menjadi bola dengan diameter 1 mm diperlukan penghilangan massa sebanyak 47,5%. Padahal, penghilangan terbanyak sekalipun yang pernah dilaporkan selama ini tidak menyebabkan terjadinya penurunan besar butir dan perubahan bentuk yang berarti; paling-paling hanya menyebabkan sedikit perubahan kedua sifat itu. Foto-foto partikel kuarsa berukuran pasir yang disajikan oleh Thiel (1940), sebelum dan setelah mengalami abrasi yang setara dengan pengangkutan sejauh 5000 mil (sekitar 8333 km), mendukung kesimpulan tersebut. Foto-foto partikel kuarsa berukuran pasir yang disajikan oleh Kuenen (1958), sebelum dan setelah mengalami abrasi sejauh 248 km, juga praktis tidak memperlihatkan perubahan apa-apa. Efek-efek yang ditimbulkan oleh pengangkutan angin tampaknya beberapa kali lebih kuat dibanding efek-efek pengangkutan air (Kuenen, 1960b). Fakta itu mendorong Kuenen untuk berpendapat bahwa pembundaran partikel pasir harus dinisbahkan pada aksi angin. Partikel yang diameternya lebih kecil dari 0,05 mm sama sekali tidak terabrasi.
Setelah memperhatikan hasil berbagai penelitian eksperimental di atas, ada satu pertanyaan yang perlu dijawab: Apa peran-an abrasi alami dalam mengurangi atau mengubah ukuran individu-individu partikel atau dalam mengubah distribusi besar butir suatu populasi partikel? Jelas bahwa proses itu menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, kebundaran, dan tekstur permuka-an partikel (efek-efek pengangkutan terhadap perubahan sifat-sifat tersebut akan dibahas pada sub bab 3.2). Walau demikian, penurunan ukuran yang berarti ke arah hilir sebagaimana yang teramati pada banyak sungai kemungkinan besar hanya sedikit dipengaruhi oleh abrasi. Penurunan ukuran itu sangat dipengaruhi oleh penurunan gradien dan kompetensi sungai ke arah hilir (lihat Bab 14). Pada lingkungan-lingkungan alami, partikel kuarsa agaknya tidak atau hanya sedikit mengalami penurunan ukuran akibat abrasi. Pendeknya, distribusi besar butir merupakan produk aksi hidrolik, bukan produk abrasi, dan secara umum distribusi besar butir suatu endapan merupakan warisan dari disintegrasi batuan dan bukan merupakan produk agen atau proses pengangkutan.
3.1.5.3 Besar Butir dan Proses-Proses Pengendapan
Gagasan yang menyatakan bahwa sebagian besar distribusi frekuensi besar butir merupakan campuran dari dua atau tiga populasi besar butir yang berkaitan dengan modus pengangkutan sedimen dan bahwa penafsiran kurva distribusi besar butir merupakan sebuah masalah dalam mengenal dan mengaitkan subpopulasi-subpopulasi itu dengan proses-proses hidrodinamika tertentu makin lama makin mendapatkan dukungan (gambar 3-15).
Ancangan ini pertama-tama diterapkan pada endapan sungai yang berbutir kasar. Khuluk bimodus terutama sering ditemu-kan dalam endapan tersebut. Pasir, di lain pihak, cenderung unimodus. Diantara beratus-ratus karya tulis yang menyajikan hasil analisis gravel sungai di California, misalnya saja, 92% diantaranya memiliki lebih dari satu modus (Conkling dkk, 1934). Sedangkan untuk kasus endapan pasir, hanya 42% saja yang memiliki modus lebih dari satu. Secara umum, gravel yang memiliki modus lebih dari satu memiliki kelas modus pada salah satu kelas gravel, sedangkan modus sekunder berada pada kelas pasir. Modus sekunder itu 4 atau 5 kelas lebih kecil daripada kelas modus utama. Dengan demikian, partikel-partikel penyusun utama endapan itu 16 hingga 32 kali lebih besar dibanding partikel sekunder. Gravel aluvial lain juga memperlihatkan sifat bimodus. Krumbein (1940, 1942a) menemukan bahwa 85% gravel endapan banjir di San Gabriel dan Arroyo Seco bersifat bimodus. Dua puluh diantara 23 sampel gravel teras Black Hills juga bersifat bimodus (Plumley, 1948).
Semua data tersebut di atas digunakan sebagai dasar pemikiran adanya dua populasi yang berkorespondensi dengan dua modus pengangkutan partikel. Udden (1914) menyatakan bahwa, “… medium pengangkut… cenderung mengangkut dan meng-endapkan dua kategori besar butir, bukan satu kategori besar butir. Endapan utama yang dihasilkannya akan mengandung partikel-partikel kasar yang jumlahnya lebih sedikit dibanding kelas modus.” Dia mengasumsikan bahwa kelas modus akan terletak pada kelas partikel yang relatif halus, sedangkan kelas modus sekunder akan terletak pada kelas gravel. Sebenarnya, justru yang sebaliknya lah yang sering ditemukan.
Fraser (1935) berpendapat bahwa pengendapan kerakal dan pasir halus secara simultan tidak mungkin terjadi dan dia menjelaskan bahwa kecepatan arus yang mengangkut kerakal berukuran 25 cm harus menurun sebanyak 60% sebelum mampu mengendapkan partikel berukuran 1 mm. Perubahan kecepatan aliran yang drastis seperti itu kemungkinan besar tidak akan terjadi dan Fraser (1935) berkeyakinan bahwa pada satu titik waktu, sungai hanya mengendapkan partikel-partikel dengan kisaran ukuran yang terbatas dan bahwa material relatif halus yang ditemukan dalam gravel sebenarnya terbentuk kemudian melalui infiltrasi. Pendapat seperti itu juga dikemukakan oleh Dal Cin (1967), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap gravel di Sungai Piave, Itali. Plumley (1948) juga menafsirkan material halus, yang merupakan modus sekunder dalam banyak gravel, sebagai material yang terjebak dan mengisi ruang kosong diantara partikel-partikel besar. Untuk mendukung pendapatnya itu, Plumley (1948) menyatakan bahwa jika diasumsikan bahwa ada dua fraksi besar butir dalam suatu endapan—dimana fraksi halus cukup kecil sedemikian rupa sehingga dapat menempati ruang yang terletak diantara fraksi kasar—maka fraksi halus itu akan menempati sekitar 22–32% berat dari keseluruhan endapan, tergantung pada keketatan pembandelaannya. Karena gravel alami rata-rata mengandung 20% modus sekunder dan besar butir yang berkaitan dengannya, agaknya fraksi itu memang terjebak diantara partikel-partikel kasar. Meskipun terdapat perbedaan antara bentuk gravel alami dengan partikel ideal yang berbentuk bola, meskipun dalam suatu gravel sering terdapat dua fraksi besar butir yang ukurannya jauh berbeda, dan meskipun pembandelaan endapan alami tidak memperlihatkan keteraturan geometris sempurna, namun hasil-hasil pengamatan selama ini memperlihatkan banyak kesesuaian dengan hasil-hasil kajian teoritis.
Sudah barang tentu distribusi bimodus dapat muncul akibat prosedur pengambilan sampel dimana material yang dikumpul-kan berasal dari dua lapisan yang berbeda, masing-masing dengan populasinya sendiri-sendiri (Bagnold, 1941). Namun banyak dsitribusi bimodus memang bukan merupakan artefak teknik pengambilan sampel sebagaimana distribusi besar butir yang diperlihatkan oleh sampel-sampel yang berasal dari satu lapisan. Kedua populasi itu tampak diendapkan pada episode peng-endapan yang sama.
Distribusi bimodus hanya merupakan sebuah kasus khusus dari pencampuran dua populasi, dimana pada kasus itu kedua populasi besar butir itu terpisahkan cukup jauh sedemikian rupa sehingga distribusi keseluruhan tampak bimodus. Apabila kelas-kelas besar butir dengan frekuensi yang relatif tinggi itu tidak berjauhan, maka populasi keseluruhan akan tampak unimodus. Walau demikian, populasi komposit akan tampak menceng dan distribusi frekuensi besar butir itu akan berbeda dengan log normal. Peningkatan kesadaran bahwa banyak distribusi besar butir merupakan komposit dari dua atau tiga populasi telah mendorong sebagian ahli untuk mengaitkan subpopulasi-subpopulasi itu pada modus pengangkutan sedimen yang berbeda-beda.
Doeglas (1946) dan Harris (1958a, 1958b) mencoba mengaitkan sifat itu dengan kondisi-kondisi pengangkutan yang ber-beda. Kemajuan besar dalam hal ini terjadi dengan diterbitkannya karya-karya tulis Moss (1962, 1963, 1972). Moss melihat adanya tiga subpopulasi yang berkaitan dengan proses sedimentasi yang berbeda-beda. Populasi-populasi itu dapat diketahui dari kurva distribusi besar butir. Bagian utama dari distribusi besar butir terletak antara persentil 20 dan 80. Populasi itu merupakan beban saltasi utama. “Ekor” kasar dari distribusi besar butir merupakan beban traksi, sedangkan “ekor” halus merupakan material suspensi yang terjebak pada ruang diantara rangka utama endapan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Moss (1962), dalam sejumlah endapan sungai yang berbutir kasar, beban traksi menjadi bagian utama dari endapan itu. Endapan-endapan itu merupakan endapan bimodus yang telah dijelaskan di atas.
Penelitian utama pada beberapa tahun terakhir, yang mengaitkan populasi-populasi distribusi besar butir dengan hidro-dinamika, adalah penelitian yang dilakukan oleh Visher (1969). Dia mengasumsikan bahwa kurva distribusi besar butir dari semua sedimen klastika merupakan komposit dari tiga populasi dasar—populasi yang diangkut dengan cara traksi, saltasi, dan suspensi—dan setiap populasi itu memiliki distribusi log normal sehingga akan tampak sebagai sebuah garis lurus dalam skala probabilitas (dengan menggunakan log diameter atau notasi phi). Lihat gambar 3-15. Hubungan seperti itu diperlihatkan oleh lebih dari 2000 hasil analisis besar butir yang dilakukan pada endapan yang berasal dari lingkungan yang berbeda-beda.
Apa hubungan antara bentuk partikel dan kurva distribusi besar butir—kelimpahan relatif dan karakter komponen-komponen-nya—dengan lingkungan pengendapan yang ditentukan keberadaannya berdasarkan aspek-aspek morfologi? Visher ber-keyakinan bahwa karakter individu kurva distribusi besar butir memberikan dasar untuk mengenal lingkungan, namun dia juga menyatakan bahwa “setiap usaha untuk mendefinisikan secara cermat limit-limit segmen garis yang miring, titik-titik infleksi, dan persentase ketiga populasi dasar untuk setiap lingkungan pengendapan tidak mungkin dapat dilakukan.”
Hingga disini dapat disimpulkan bahwa beberapa ancangan untuk mencari arti dari kurva distribusi besar butir sedimen klastika memiliki kesahihan tersendiri. Faktor-faktor hidrodinamika hingga tingkat tertentu dapat dihubungkan dengan lingkungan geomorfologi. Suatu proses tertentu mungkin bekerja dominan pada suatu lingkungan, namun mungkin hanya berperan sekunder pada lingkungan lain.
3.1.6 Distribusi Besar Butir dan Analisis Lingkungan
Udden berkeyakinan bahwa komposisi besar butir suatu sedimen klastika dikontrol oleh kondisi hidrodinamika yang ada sewaktu sedimen itu diendapkan. Karena itu, jika sedimen purba diendapkan di bawah kondisi yang lebih kurang sama dengan kondisi pengendapan masa kini, maka pemelajaran sedimen modern akan akan mampu mengungkapkan karakter besar butir setiap tipe sedimen, dimana karakter itu selanjutnya dapat digunakan untuk mengungkapkan asal-usul endapan purba. Karena itu pula, Udden melakukan banyak “analisis mekanik”, khususnya endapan angin, dan menerbitkan pada 1914 lebih dari 350 hasil analisis mekanik bersama-sama dengan sebuah ikhtisar mengenai “hukum-hukum” yang menurut dia mengatur komposisi sedimen klastika. Wentworth (1931a) menerbitkan lebih dari 800 hasil analisis mekanik dalam bentuk grafik untuk memperluas hasil penelitian Udden. Pengamatan terhadap pola grafik yang disajikan dalam berbagai histogram yang dibuat oleh Wentworth menunjukkan bahwa pola yang berasal dari lingkungan yang berbeda juga berbeda-beda. Glacial till dan pasir gisik, misalnya saja, sangat jauh berbeda. Di lain pihak, beberapa sedimen yang diendapkan pada lingkungan pengendapan yang berbeda memperlihatkan komposisi mekanik yang mirip satu sama lain, misalnya pasir gisik dan pasir gumuk.
Ketidakmampuan untuk memisahkan lingkungan atau agen pengendapan berdasarkan pola grafik distribusi besar butir tidak menyurutkan hasrat para ahli untuk mencari sifat-sifat distribusi besar butir yang lebih samar. Keller (1945) memakai nisbah kuantitas dua kelas proksimal terhadap kelas modus—apa yang dia sebut sebagai nisbah F : C—untuk membedakan pasir endapan angin dengan pasir gisik. Nisbah yang diajukannya merupakan nilai taksiran dari kemencengan. Sejak itu, usaha-usaha yang lebih canggih dan menggunakan satu atau beberapa parameter besar butir dilakukan untuk membedakan pasir sungai, gisik, dan gumuk. Friedman (1961, 1962, 1967) mencoba untuk membedakan pasir gisik dan pasir gumuk dengan memakai plot kemencengan terhadap mean dan untuk membedakan pasir sungai dengan pasir gisik dengan memakai plot kemencengan terhadap simpangan baku (gambar 3-16). Penelitian yang dilakukan oleh Moiola & Weiser (1968), dengan memakai ancangan yang mirip, mendukung gagasan yang dikemukakan oleh Friedman. Ahli lain juga menggunakan diagram tebar (scatter diagram) yang melibatkan dua variabel. Passega (1957, 1964), misalnya saja, merajahkan persentil 1, C (pada dasarnya ukuran paling kasar), terhadap besar butir rata-rata, M. Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh Bull (1962). Diasumsikan bahwa pola CM tertentu mengindikasikan proses atau agen pengendapan tertentu. Passega (1957, 1964), misalnya saja, mampu memisahkan aksi arus turbid dengan aksi arus biasa.
Pemakaian parameter-parameter besar butir dalam berbagai kombinasi sebagai indikator lingkungan juga pernah dicobakan oleh Mason & Folk (1958), Gees (1965), Schlee dkk (1965), Kolduk (1968), Doeglas (1968), Solohub & Klovan (1970), serta Buller & McManus (1972). Tidak semua penulis itu berhasil memisahkan lingkungan-lingkungan pengendapan pasir dengan ancangan tersebut. Bahkan, pada beberapa kasus, ancangan itu tidak memberikan hasil apa-apa. Pada kasus lain, terjadi pertumpang-tindihan pada diagram tebar. Karena itu, hasil-hasil yang diperoleh menjadi taksa.
Metoda lain yang lebih canggih lagi menggunakan lebih dari dua variabel sekaligus. Teknik itu adalah analisis diskriminan (discriminant analysis) yang dikembangkan oleh Sahu (1964a, 1964b). Klovan (1966) memakai analisis faktor (factor analysis) pada sedimen Barataria Bay, Louisiana, untuk mengisolasi faktor-faktor yang berkaitan dengan proses-proses yang mengontrol pengendapan sedimen di tempat itu: surf, arus dasar, dan pengendapan air tenang.
Pendeknya, dapat dikatakan bahwa usaha-usaha untuk mengaitkan distribusi besar butir suatu sedimen dengan lingkungan pengendapannya hanya berhasil secara terbatas. Agaknya hasil-hasil negatif muncul dari premis bahwa kurva distribusi besar butir dikontrol oleh faktor-faktor hidrodinamika dan bahwa setiap lingkungan dicirikan oleh rezim hidrodinamika yang khas. Tidak satupun diantara kedua premis itu yang sahih. Efek provenansi (maksudnya, karakter besar butir sedimen yang masuk ke dalam lingkungan pengendapan) belum diperhitungkan sewajarnya. Selain itu, proses-proses hidrodinamika yang sama dapat bekerja pada lebih dari satu lingkungan pengendapan. Dengan kata lain, lingkungan hidrodinamika dan lingkungan pengendapan seperti yang biasa didefinisikan berdasarkan geomorfologi mungkin tidak tepat sama (Solohub & Klovan, 1970).
Terakhir, kita dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan berikut:
1. Berbagai pengukuran (misalnya berat dan volume) dapat dilakukan terhadap individu-individu partikel atau pada agregat partikel. Pengukuran itu dapat dilakukan dengan banyak cara, misalnya dengan pengayakan, elutriasi, dan penyerapan gas. Hasil-hasil pengukuran itu kemudian dikonversikan menjadi “diameter” partikel berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Banyak diantara asumsi-asumsi itu hanya merupakan suatu pendekatan yang tidak terlalu dekat.
2. Distribusi besar butir yang diketahui dari hasil pengukuran itu dinyatakan dalam prosentase jumlah partikel atau prosentase berat partikel yang ada dalam setiap kelas besar butir. Kurva distribusi besar butir, baik yang didasarkan pada prosentase berat maupun prosentase jumlah partikel, memiliki bentuk yang beragam.
3. Prosedur-prosedur analitik baku dapat diterapkan dengan baik pada sedimen yang tidak terkonsolidasi, terutama sedimen masa kini. Namun, prosedur-prosedur itu tidak dapat diterapkan pada sedimen purba yang kompak. Karena itu, prosedur-prosedur tersebut memiliki manfaat yang terbatas. Demikian pula, berbagai kesimpulan yang diperoleh dari hasil penerapan prosedur-prosedur itu pada sedimen masa kini juga memiliki penerapan yang terbatas, misalnya dalam membedakan beberapa lingkungan pengendapan berdasarkan parameter-parameter tekstur.
4. Faktor pembatas lain yang lebih serius adalah alterasi diagenetik. Alterasi diagenetik dapat menyebabkan berubahnya distribusi besar butir asli. Alterasi itu muncul akibat peletisasi oleh organisme, degradasi unsur-unsur rangka batuan yang berukuran besar, rekristalisasi, dan proses lain. Karena itu, kita perlu melaksanakan berbagai prosedur analitik seperti disagregasi dan dispersi sebelum melakukan analisis sedimentasi. Distribusi besar butir serpih paling rentan terhadap perubahan diagenetik dan teknik analisis yang digunakan. Karena itu, sebagian besar analisis besar butir dilakukan pada batupasir yang tidak terlalu rentan terhadap perubahan-perubahan seperti itu.
5. Masih perlu dipertanyakan lagi apakah distribusi besar butir memang indikatif untuk agen dan/atau lingkungan tertentu atau tidak. Selain itu, kalaupun distribusi besar butir memang merupakan indikator agen dan/atau lingkungan pengendapan, namun analisis besar butir mungkin tetap tidak dapat diterapkan pada batuan purba yang telah terlitifikasi dengan baik.
6. Pendeknya, meskipun literatur mengenai disrtibusi besar butir sedimen klastika demikian banyak dan tidak sedikit usaha telah dilakukan para ahli untuk mendefinisikan besar butir, mengukurnya, dan menghitung parameter-parameter distribusi besar butir, namun input akhir yang diberikannya dalam pemecahan masalah-masalah geologi sangat mengecewakan dan tidak sesuai dengan begitu banyaknya usaha yang telah dilakukan selama ini.
7. Walau demikian, masih ada aspek besar butir yang bermanfaat. Aspek itu bahkan dapat diketahui dari batuan yang telah terlitifikasi. Aspek yang dimaksud adalah ukuran dan penyebaran ukuran kerikil terbesar yang ada dalam konglomerat, jenis fenoklas (phenoclast, yakni fragmen luar yang mengindikasikan bahwa fragmen itu telah diangkut jauh dari sumbernya), dan unsur-unsur rangka yang, meskipun bukan sekedar sifat besar butir, namun memiliki kebenaan geologi yang penting. Kita juga dapat melakukan penelitian terhadap bentuk, kebundaran, tekstur permukaan, dan komposisi.