7.1 TINJAUAN UMUM
Batupasir (sandstone) merupakan suatu kategori batuan sedimen yang penting. Batupasir membentuk sekitar 1/4 volume batuan sedimen, belum termasuk pasir karbonat (carbonate sand) dan pasir vulkanik (volcanic sand). Selain volumenya, pasir dan batupasir juga memiliki kebenaan tersendiri karena sebagian pasir dan batupasir merupakan sumberdaya ekonomi: (1) sebagai material abrasif; (2) sebagai bahan dasar dalam industri kimia, gelas, dan metalurgi; (3) sebagai bahan bangunan, baik sebagai batu yang langsung digunakan dalam pembangunan maupun sebagai bahan campuran tembok dan beton; (4) sebagai molding sand, paper filler, dsb. Pasir juga merupakan reservoar yang penting untuk minyakbumi, gasbumi, dan air tanah. Sebagian pasir plaser merupakan sumber mineral bijih dan batu mulia. Erosi dan pengendapan pasir memegang peranan penting dalam dunia rekayasa di wilayah pantai, sungai, dan gumuk.
Batupasir relatif lebih banyak memberikan sumbangan pengetahuan mengenai sejarah bumi dibanding jenis-jenis batuan lain. Komposisinya menjadi petunjuk provenansi, struktur terarah yang ada didalamnya banyak memberikan informasi mengenai arus purba, sedangkan geometri dan struktur internalnya memberikan informasi penting mengenai lingkungan pengendapan.
Pasir dapat digolongkan menjadi tiga kategori utama: (1) pasir terigen (terrigeneous sand); (2) pasir karbonat (carbonate sand); dan (3) pasir piroklastik (pyroclastic sand).
Pasir terigen adalah pasir yang terbentuk akibat pelapukan dan penghancuran batuan tua. Pasir itu diangkut, dipilah, dan diubah oleh aliran fluida (air atau udara) serta berasal dari daerah sumber yang terletak di luar cekungan pengendapannya.
Sebagian besar pasir karbonat merupakan endapan bahari dan terutama disusun oleh rangka binatang, oolit, serta intraklas yang terbentuk pada tempat yang relatif berdekatan dengan lokasi pengendapannya (partikel intraformasional). Material penyusun pasir karbonat terbentuk dalam cekungan pengendapan serta bukan merupakan material rombakan yang merupakan produk penghancuran batuan tua. Salah satu pengecualian untuk itu adalah partikel-partikel karbonat yang terbentuk akibat erosi yang sangat cepat pada paket batugamping dalam suatu sabuk orogen. Pasir karbonat yang disusun oleh partikel-partikel yang disebut terakhir ini pada dasarnya merupakan pasir terigen yang berasal dari batugamping dan dolomit tua.
Pasir piroklastik adalah pasir yang terbentuk akibat letusan gunungapi. Pasir piroklastik dapat diendapkan dalam lingkungan yang beragam, baik lingkungan terestris maupun lingkungan akuatis. Istilah vulkaniklastik (volcaniclastic) juga diterapkan pada sebagian pasir, yakni pasir yang kaya akan material vulkanik. Pasir vulkaniklastik dapat berupa pasir piroklastik maupun pasir terigen (jika berasal dari volcanic terrane).
Tipe suatu pasir akan menjadi sukar untuk ditentukan apabila pasir itu mengandung material yang asal-usulnya beragam. Pada pasir seperti itu, material piroklastik bisa bercampur dengan material terigen dan karbonat dalam proporsi yang bervariasi.
Pada bab ini kita hanya akan membahas tentang pasir terigen. Pasir karbonat, setelah mengalami litifikasi, umumnya akan dimasukkan ke dalam kategori batugamping, meskipun batuan itu sebenarnya merupakan salah satu spesies batupasir. Batupasir karbonat akan dibahas pada Bab 10. Pasir piroklastik umumnya dianggap sebagai batuan beku. Walau demikian, pasir piroklastik juga sebenarnya layak untuk dimasukkan ke dalam kategori batuan sedimen. Karena memiliki asal-usul yang khusus, pasir piroklastik akan dibahas secara terpisah pada Bab 9.
7.2 PASIR MASA KINI
Pengetahuan kita mengenai batupasir akan meningkat apabila kita memiliki pengetahuan yang mantap mengenai pasir masa kini, khususnya mengenai cara pembentukan dan pengakumulasiannya.
Dimana pasir ditemukan pada masa sekarang? Dengan pengecualian untuk pasir karbonat dan pasir piroklastik, pasir terutama ditemukan di sungai dan pesisir. Dalam jumlah yang lebih sedikit, pasir juga ditemukan pada gumuk dan laut dangkal. Pasir aluvial mencakup pasir yang ditemukan pada kipas aluvial, alur sungai, dataran banjir, delta danau, dan delta laut. Sebagian besar pasir sungai berasosiasi dengan alur sungai, meskipun sebagian diantaranya dapat keluar dari alur dan mem-bentuk endapan limpah banjir pada dataran banjir. Pasir pesisir tidak hanya mencakup gisik, namun juga gosong lepas pantai, delta pasut, dan (pada beberapa kasus) pasir dataran pasut. Pasir eolus mencakup gumuk pantai dan medan gumuk di gurun. Pasir laut umumnya berupa pasir paparan. Walau demikian, sebagian pasir diangkut melewati tepi paparan oleh arus turbid untuk kemudian diendapkan pada tonjolan benua serta lekukan-lekukan terisolasi yang ada di laut-dalam.
Pendeknya, tidak ada daerah geomorfologi di muka bumi ini yang tidak ditempati oleh pasir. Cekungan laut-dalam, meskipun merupakan daerah geomorfologi yang paling luas di muka bumi ini, hampir tidak mengandung pasir. Pasir dalam cekungan itu hanya berupa partikel-partikel hasil hembusan angin serta pasir turbidit tipis yang tersebar pada daerah yang relatif dekat dengan benua. Pendeknya, pasir merupakan sedimen kontinental; sebagian besar berasal dari wilayah benua dan diendapkan pada wilayah benua.
Perlu dijelaskan disini bahwa tempat-tempat akumulasi pasir yang paling umum pada masa sekarang bersifat linier (gisik dan sungai). Walau demikian, sebagian pasir purba membentuk endapan stratiform yang tersebar luas. Perbedaan antara lokasi pengendapan pasir masa kini yang umumnya bersifat linier dengan pasir purba yang memperlihatkan penyebaran yang luas mengindikasikan bahwa tubuh pasir yang memiliki penyebaran luas merupakan produk pergeseran lokasi pengendapan dari waktu ke waktu, akibat migrasi sungai pada arah lateral, atau akibat transgresi dan regresi garis pantai. Penyebaran pasir yang demikian luas di wilayah paparan mungkin merupakan pengecualian untuk “aturan” di atas. Walau demikian, pasir paparan mungkin merupakan pasir sisa (relict sand); mungkin merupakan endapan fluvial yang terbentuk pada saat posisi muka air laut relatif rendah pada jaman es (Emery, 1966). Medan gumuk yang dewasa ini terlihat memiliki penyebaran demikian luas agaknya kurang terepresentasikan dalam rekaman geologi. Namun, jika Kuenen (1959a) benar dalam meyakini bahwa pembundaran pasir kuarsa merupakan hasil aksi angin, maka banyak pasir dalam rekaman geologi pernah berperan sebagai pasir eolus selama sejarah pengendapannya. Kuenen memperkirakan bahwa 2 x 106 km2 gurun diperlukan untuk mencapai kebundaran rata-rata pasir yang ada di dunia ini dan jika kebundaran itu bersifat konstan. Angka itu diperlukan untuk mengkompensasikan munculnya partikel-partikel pasir yang menyudut setiap tahunnya.
Tidak semua lingkungan pengendapan pasir terepresentasikan secara seimbang dalam rekaman geologi. Dalam endapan Paleozoikum di bagian tengah Pegunungan Appalachia, dimana pasir membentuk sektiar 23% total penampang stratigrafi di daerah itu (Colton, 1970), diperkirakan bahwa setengahnya atau lebih dari setengahnya merupakan endapan sungai, sekitar 1/4 diantaranya merupakan turbidit bahari, dan sisanya merupakan endapan litoral dan laut-dangkal. Tidak satupun diantara pasir itu yang merupakan endapan eolus.
Pasir masa kini, dengan beberapa pengecualian, merupakan material yang terpilah baik hingga terpilah sedang. Selain itu, dengan pengecualian untuk pasir yang berasal dari pasir tua yang sangat matang, pasir masa kini umumnya tidak membundar. Banyak ahli telah mencoba untuk mengaitkan tekstur pasir dengan lingkungan dan/atau agen pengendapan. Sebagai contoh, banyak penelitian dilakukan untuk membedakan pasir gisik, pasir gumuk, dan pasir sungai dengan menggunakan beberapa parameter besar butir atau nisbah beberapa parameter besar butir (Friedman, 1961, 1967; Moiola & Weiser, 1968). Udden (1914) adalah orang yang pertama-tama memakai distribusi besar butir secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari distribusi itu, misalnya apa yang dia sebut sebagai “indeks pemilahan”, untuk menafsirkan lingkungan pengendapan sedimen. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini disarikan oleh Pettijohn dkk (1972). Secara umum, dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha itu tidak terlalu berhasil. Metoda-metoda yang ada agaknya memang dapat memberikan hasil yang menggembira-kan untuk pasir yang berasal dari daerah tertentu, namun tidak memberikan hasil apapun untuk daerah lain (Klovan & Solohub, 1968; Schlee dkk, 1964). Pada kasus umum, keberhasilan metoda tersebut sangat tergantung pada teknik-teknik analisis. Teknik-teknik itu umumnya hanya bisa diterapkan pada pasir masa kini yang tidak tersemenkan, namun tidak dapat diterapkan pada kuarsit purba.
Komposisi, baik komposisi mineral maupun komposisi kimia, pasir masa kini juga sangat bervariasi. Komposisi pasir masa kini tampaknya lebih tergantung pada ukuran partikel dan litologi batuan sumber, bukan pada iklim, lingkungan, atau agen pengendapan. Komponen penyusun sebagian besar pasir berupa kuarsa, felspar, dan fragmen batuan. Berapa besar proporsi komponen-komponen tersebut dalam pasir masa kini? Sayang sekali kita belum memperoleh data yang cukup banyak mengenai hal tersebut karena sebagian besar penelitian mineralogi pasir masa kini mengabaikan fraksi mineral ringan yang menjadi material penyusun dominan serta lebih terkonsentrasi pada mineral berat yang berperan sebagai material penyusun minor. Suatu kompilasi yang didasarkan pada hasil penelitian terhadap lebih dari 400 sampel pasir masa kini di Amerika Utara (Pettjohn dkk, 1972) memperlihatkan bahwa kadar felspar dalam pasir masa kini rata-rata berharga 15,3%. Angka itu mirip dengan angka yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap 434 sampel batupasir yang berasal dari Russian Platform (Ronov dkk, 1963). Pasir masa kini mengandung felspar dalam kisaran 1–77%. Pasir sungai mengandung felspar 22%, sedangkan pasir gisik dan pasir gumuk masing-masing mengandung felspar sekitar 10%. Tingginya kadar felspar dalam pasir sungai mungkin dapat dinisbahkan pada inklusi material glasial dalam jumlah yang “terlalu” banyak. Relatif rendahnya kadar felspar dalam pasir gisik dan pasir gumuk mungkin terjadi karena masuknya pasir yang lebih matang dari batuan-batuan yang ada di sekitar dataran pantai, sebagaimana yang terlihat pada kasus sampel yang berasal dari pantai Atlantik dan Gulf Coast.
Data untuk kadar fragmen batuan dalam pasir masa kini lebih tidak memuaskan lagi dibanding data kadar felspar. Fragmen batuan tersebar sangat luas dalam pasir masa kini, namun jumlah total dan jenisnya jarang dinyatakan secara spesifik. Selain itu, sebagian besar fragmen batuan tidak tembus cahaya, kecuali dalam sayatan tipis dan, oleh karena itu, seringkali diabaikan. Untuk dapat mengenal fragmen batuan, pasir yang diteliti harus cukup kompak sedemikian rupa sehingga dapat disayat dan diamati dengan metoda dan teknik yang biasa digunakan dalam analisis sayatan tipis batupasir purba. Data hasil penelitian seperti itu, sebagaimana yang kita miliki saat ini, memperlihatkan bahwa pasir sungai masa kini banyak mengandung fragmen batuan. Sebagai contoh, pasir Sungai Ohio rata-rata mengandung fragmen batuan 31% (Friberg, 1970). Sebuah kompilasi yang tidak lengkap (Pettijohn dkk, 1972) memperlihatkan angka rata-rata 20% untuk pasir sungai. Dua puluh hingga 30 persen agaknya merupakan nilai taksiran yang cukup layak untuk menyatakan proporsi fragmen batuan dalam pasir sungai masa kini. Berbeda dengan kadar felspar, kadar fragmen batuan sangat tergantung pada besar butir. Pasir kasar secara khusus jauh lebih kaya akan fragmen batuan dibanding pasir halus (Allen, 1962; Shiki, 1959).
Dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa pasir sungai masa kini rata-rata mengandung 22% felspar, 20% fragmen batuan, dan—dengan menganggap bahwa pasir masa kini hanya disusun oleh felspar, fragmen batuan, dan kuarsa—58% kuarsa. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pasir sungai merupakan kategori pasir masa kini yang proporsinya paling tinggi. Dengan demikian, sebagian besar pasir masa kini tidak matang atau paling banter setengah matang. Hasil modal analysis yang dapat dianggap mewakili proporsi mineral dalam pasir masa kini disajikan dalam tabel 7-1.
Sebagaimana yang mungkin telah diperkirakan, komposisi kimia pasir masa kini mencerminkan komposisi mineralnya. Hasil analisis komposisi kimia pasir masa kini, yang dapat dianggap mewakili proporsi unsur-unsur kimia dalam pasir masa kini, disajikan dalam tabel 7-2. Karena tidak mengandung semen, komposisi ruah pasir terigen masa kini memperlihatkan kadar silika yang agak lebih rendah serta kadar CO2 dan CaO yang jauh lebih rendah dibanding batupasir terigen purba.
Kesimpulan apa yang dapat diambil dari pembahasan singkat mengenai pasir masa kini sebagaimana telah disajikan di atas? Pasir masa kini berbeda dari pasir purba dalam beberapa hal penting. Berbeda dengan graywacke yang menjadi material penyusun rekaman geologi, pasir masa kini tidak mengandung matriks. Hal itu mengindikasikan bahwa matriks merupakan produk diagenesis atau produk proses-proses pasca-pengendapan. Secara komposisional, pasir masa kini umumnya tidak matang atau setengah matang. Satu-satunya pengecualian untuk kesimpulan yang disebut terakhir ini adalah pasir yang berasal dari batupasir purba yang sangat matang. Kuarsit murni (ortokuarsit) banyak ditemukan dalam rekaman geologi, namun agaknya tidak terbentuk pada masa sekarang. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, akumulasi pasir masa kini umumnya memiliki penyebaran linier. Pasir masa kini tidak memiliki penyebaran yang luas sebagaimana pasir purba. Terakhir, komposisi dan tekstur pasir masa kini hanya memiliki sedikit hubungan dengan lingkungan pengendapan. Tekstur dan komposisi pasir masa kini lebih merupakan produk dari komposisi batuan sumber. Aksi arus memang mampu meningkatkan pemilahan, namun pembedaan pasir gumuk, pasir gisik, dan pasir sungai berdasarkan parameter-parameter besar butir paling banter dapat dikatakan tidak pasti (kalau bukan tidak memberikan hasil apa-apa). Provenansi merupakan faktor utama yang menentukan komposisi pasir masa kini.
7.3 SIFAT-SIFAT BATUPASIR
7.3.1 Kemas
Pasir terutama disusun oleh unsur-unsur rangka (framework elements), yang merupakan fraksi detritus, dan void yang membentuk sistem ruang pori (pore system) atau ruang kosong diantara unsur-unsur rangka. Sebagian atau semua void atau ruang pori dalam batupasir tua dapat terisi oleh material padat. Dengan demikian, pemelajaran terhadap pasir atau batupasir berpusat pada unsur-unsur rangka (komposisi dan mikrogeometrinya) serta pada khuluk dan volume ruang pori dan material pengisi ruang pori.
Menurut definisinya, rangka disusun oleh material berukuran pasir dengan diameter 1/16–2 mm. Material itu biasanya dikemas sedemikian rupa sehingga setiap partikel berhubungan dengan partikel lain yang bersebelahan dengannya serta keseluruhan rangka itu membentuk suatu struktur yang stabil di bawah pengaruh medan gravitasi bumi. Berbeda dengan partikel-partikel penyusun batuan beku dan batuan metamorf, yang satu sama lain berada dalam kontak menerus, partikel-partikel penyusun pasir hanya saling berhubungan dengan kontak tangensial. Konsentrasi stress pada titik-titik kontak itu dapat menyebabkan terjadinya pelarutan pada titik kontak dan pengendapan di tempat lain. Hal itu pada gilirannya menyebabkan bertambah luasnya bidang kontak antar partikel dan berkurangnya volume ruang pori. Produk akhir dari aksi tersebut adalah terbentuknya batuan yang partikel-partikel penyusunnya berada dalam kontak menerus serta memiliki porositas nol. Perubahan-perubahan pasca-pengendapan dalam kemas pasir akan dibahas pada sub bab 7.6.
Sebagian pasir tidak memperlihatkan geometri rangka-void yang sederhana. Pasir seperti itu bukan dibentuk oleh rangka detritus dan sistem ruang pori yang sebagian atau seluruhnya terisi oleh semen, melainkan memperlihatkan suatu kontinuum besar butir mulai dari butiran pasir hingga lanau dan lempung. Endapan seperti itu dinamakan wacke dan salah satu contoh yang paling terkenal dari wacke ini adalah graywacke. Dalam wacke, tidak ada batas besar butir yang jelas antara fraksi pasir dengan fraksi yang lebih halus daripadanya. Material berukuran pasir tertanam dalam suatu matriks. Walau demikian, batas arbitrer yang dibuat untuk membedakan butiran dengan matriks merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan penafsiran. Batas itu diletakkan pada 1/16 mm (0,0625 mm) atau pada 0,05 mm, bahkan pada 0,03 mm. Berapa proporsi matriks dalam suatu pasir agar pasir itu dinamakan wacke? Sebagian ahli memilih angka 15%; ahli lain memilih angka yang lebih rendah dari itu (Dott, 1964; Williams dkk, 1954). Asal-usul matriks agak tidak pasti; matriks itu mungkin merupakan gejala primer yang terbentuk pada saat pengendapan, namun mungkin pula terbentuk oleh proses-proses diagenesis pasca-peng-endapan. Karena sebagian besar pasir masa kini tidak mengandung matriks, maka matriks dalam pasir purba kemungkinan besar merupakan produk diagenesis atau proses-proses sekunder lain.
Rangka pasir atau batupasir biasa dapat dicandra berdasarkan geometri dan komposisinya. Geometri berkaitan dengan sifat-sifat butiran atau unsur-unsur rangka—besar butir, pemilahan, bentuk butir, kebundaran, dan tekstur permukaan—serta terutama dengan pembandelaan dan orientasinya. Distribusi besar butir dapat diungkapkan dengan ukuran-ukuran statistik dari besar butir serta dengan ukuran keseragaman besar butir. Karakter-karakter itu berkaitan dengan rezim hidrolik tertentu yang menentukan pengendapan pasir serta dengan besar butir material yang ada dalam arus pengendap. Nilai pendekatan untuk pemilahan adalah nisbah butiran terbesar terhadap butiran terkecil. Dalam pasir yang terpilah baik, nisbah itu berharga kurang dari 10; dalam pasir yang terpilah buruk, nisbah itu berharga lebih dari 100. Butiran-butiran pasir memperlihatkan bentuk dan derajat pembundaran yang beragam. Penafsiran distribusi besar butir dan sifat-sifat geometri lainnya telah dibahas pada Bab 3.
Pasir cenderung memiliki pembandelaan yang ketat. Butiran-butiran yang tidak bulat cenderung mengendap dengan sumbu panjang terletak sejajar dengan bidang pengndapan; pada beberapa kasus, butiran-butiran seperti itu memperlihatkan imbrikasi. Pada kebanyakan kasus, butiran-butiran dalam penampang yang sejajar dengan bidang perlapisan memperlihatkan kesejajaran yang lemah dengan arah aliran arus pengendap. Pada kasus yang relatif jarang terjadi, orientasinya random akibat gangguan-gangguan pasca-pengendapan, terutama oleh organisme (bioturbasi).
Void membentuk 30–35% volume batupasir biasa. Volume void dapat berkurang akibat terbentuknya matriks atau akibat terpresipitasikannya semen. Dalam batupasir “rata-rata”, porositas berharga sekitar 15%. Pada kasus ekstrim, nilai porositas batupasir dapat mendekati nol. Semen dapat dipresipitasikan sebagai material yang secara kristalografi merupakan kelanjutan dari partikel-partikel detritus (misalnya saja semen kuarsa yang terbentuk pada sisi-sisi partikel kuarsa dan semen kalsit yang terbentuk pada sisi-sisi partikel kalsit), namun dapat pula diendapkan sebagai selimut kristal renik (drusy coating) atau sebagai mozaik mikrokristalin (microcrystalline mosaic) dalam void. Di bawah kondisi yang luar biasa, semen karbonat dapat tumbuh menjadi material kristalin kasar yang menyelimuti satu atau lebih partikel detritus sedemikian rupa sehingga partikel-partikel detritus itu tampak “mengambang” dalam kristal material karbonatan. Kristal seperti itu dinamakan “kristal pasir” (“sand crystal”). Sebagian semen, terutama semen karbonat, menembus unsur-unsur rangka dan menggantikan sebagian diantara unsur rangka itu. Khuluk material penyemen, kemasnya, hubungannya dengan unsur-unsur rangka, serta asal-usulnya akan dibahas lebih mendetil pada sub bab 7.6.
Pasir memiliki tingkat kematangan yang beragam. Produk akhir dari proses-proses pembentukan pasir adalah batupasir yang butiran-butiran penyusunnya tidak saja berupa satu tipe mineral (yakni mineral yang paling stabil, dalam hal ini kuarsa), namun juga memiliki besar butir tunggal (dengan kata lain, pemilahan sempurna), dan benar-benar membundar. Tidak ada satupun pasir di dunia memiliki karakter seperti itu, meskipun sebagian diantaranya memang ada yang mendekati bentuk “ideal” tersebut. Konsep kematangan (maturity)—baik kematangan komposisi maupun kematangan tekstur—sangat penting. Setiap ahli geologi hendaknya selalu berusaha untuk selalu memberikan penilaian terhadap kematangan suatu pasir (Folk, 1951).
7.3.2 Struktur Sedimen
Batupasir dapat memiliki struktur sedimen yang beragam. Struktur sedimen itu paling jelas terlihat pada singkapan. Struktur internal dari individu-individu lapisan batupasir sangat penting artinya. Batupasir umumnya memperlihatkan perlapisan silang-siur. Skala perlapisan silang-siur dalam suatu tubuh batupasir merupakan fungsi dari kekasaran partikel penyusun batupasir itu serta ketebalan lapisannya. Banyak pasir memperlihatkan perlapisan gelembur (ripple bedding) berskala kecil. Batupasir lain memiliki struktur graded bedding. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, graded bedding dan perlapisan silang-siur merupakan dua gejala yang tidak pernah ditemukan dalam satu lapisan yang sama serta mengindikasikan dua fasies batupasir yang jauh berbeda. Graded bedding mengindikasikan pengendapan di bawah alas gelombang dan terutama menjadi penciri batupasir endapan perairan yang dalam. Sebagian batupasir tidak mengandung perlapisan silang-siur maupun graded bedding, bahkan tidak memperlihatkan struktur internal sama sekali. Walau demikian, hasil penelitian dengan menggunakan sinar-X menunjukkan bahwa sebagian besar batupasir yang tampak masif itu sebenarnya memiliki laminasi internal (Hamblin, 1962). Struktur sedimen telah dibahas panjang lebar pada Bab 4.
7.3.3 Mineralogi
Penafsiran sejarah suatu batupasir tergantung pada pengetahuan mengenai komposisi mineralnya. Walau demikian, untuk dapat menafsirkan, kita tidak hanya cukup dengan menyajikan suatu daftar yang memperlihatkan jenis-jenis mineral yang ada dalam suatu batupasir. Kita sebenarnya memerlukan beberapa daftar—beberapa daftar yang didasarkan pada hasil peng-golongan mineral ke dalam katgori-kategori genetik yang berarti, misalnya ke dalam kategori mineral detritus primer (primary detrital minerals), semen, dan produk alterasi pasca-pengendapan. Penggolongan seperti itu melibatkan penafsiran yang didasarkan pada detil-detil karakter mineral yang dapat teramati (sebagian besar berupa unsur-unsur tekstur) serta pada hubungan antar mineral penyusun batupasir. Sebagian spesies mineral dapat muncul dalam beberapa kategori. Kuarsa, misal-nya saja, dapat hadir baik sebagai detritus primer maupun sebagai semen.
Daftar mineral detritus primer yang mungkin muncul dalam suatu batupasir sangat panjang. Jika batuan sumber pasir itu dikenai oleh proses pelapukan yang tidak lengkap dan jika pengangkutannya relatif dekat, maka hampir setiap mineral dapat muncul dalam pasir. Pemerian yang lebih mendetil mengenai mineral detritus yang biasa ditemuikan dalam batupasir telah disajikan oleh Krumbein & Pettijohn (1938), Tickell (1965), Duplaix (1948), dan Russell (1942).
Meskipun daftar nama-nama mineral yang mungkin ditemukan dalam batuasir cukup panjang, namun dalam prakteknya hanya beberapa jenis mineral saja yang sering ditemukan dalam batuan tersebut. Jumlah yang lebih sedikit lagi akan ditemukan dalam sayatan tipis. Kuarsa merupakan mineral dominan dalam kebanyakan batupasir. Dalam beberapa kasus, kuarsa dapat membentuk lebih dari 90% mineral detritus yang ada batupasir. Felspar, meskipun sering ditemukan, memiliki kelimpahan yang relatif lebih rendah dibanding kuarsa. Hal itu berbeda dengan kebenaan felspar dalam batuan beku. Selain kuarsa dan felspar, mika merupakan mineral penyusun batuan sumber yang kemungkinan besar dapat berperan sebagai mineral detritus dengan kelimpahan cukup tinggi dalam batupasir. Fragmen batuan dapat ditemukan dalam beberapa batupasir, bahkan jumlahnya melimpah dalam batupasir tertentu.
7.3.3.1 Kuarsa, Opal, dan Kalsedon
Kuarsa merupakan jenis mineral yang paling sering ditemukan dalam batupasir, bahkan berperan sebagai material utama pada sebagian besar batupasir. Dua per tiga bagian batupasir rata-rata disusun oleh kuarsa. Meskipun biasanya merupakan mineral detritus primer, namun kuarsa juga dapat merupakan mineral autigen. Kuarsa autigen umumnya merupakan hasil overgrowth partikel detritus. Sebagai produk overgrowth, kuarsa berperan sebagai material penyemen yang penting.
Kuarsa detritus pada kebanyakan batupasir memiliki diameter < 1,0 mm dan umumnya memiliki diameter < 0,6 mm (Dake, 1921). Partikel kuarsa yang diameternya > 1,0 cenderung merupakan komposit—merupakan zat polikristalin. Kuarsa penyusun batupasir umumnya merupakan partikel monokristalin. Besar butir partikel kuarsa terutama ditentukan oleh ukuran partikel kuarsa dalam batuan sumber. Batuan plutonik yang mengandung kuarsa, terutama granit, merupakan sumber dari hampir semua kuarsa detritus. Dake (1921) menunjukkan bahwa batuan plutonik jarang menghasilkan partikel mineral yang ukurannya > 1,0 mm. Partikel kuarsa yang ukurannya > 1,0 mm dan ada dalam batuan plutonik umumnya terpecah-pecah dan, menurut Dake (1921), hanya 9% kuarsa batuan plutonik yang akan menghasilkan partikel kuarsa dengan diameter > 1,0 mm. Dua puluh persen diantaranya menghasilkan partikel kuarsa yang diameternya > 0,6 mm.
Bentuk partikel kuarsa sangat bervariasi, namun umumnya agak membundar. Sebagian besar partikel kuarsa memperlihat-kan sedikit pemanjangan. Pemanjangan itu cenderung terjadi pada arah yang sejajar dengan sumbu-c. Wayland (1939) menisbahkan gejala pemanjangan itu pada abrasi vektoral yang disebabkan oleh sedikit perbedaan kekerasan pada arah yang sejajar sumbu-c dengan kekerasan pada arah yang sejajar sumbu-a. Walau demikian, Ingerson & Ramisch (1942) menemukan fakta bahwa partikel kuarsa dalam batuan beku dan batuan metamorf, termasuk granit, cenderung memanjang dan pemanjang-an tersebut umumnya terjadi pada arah yang sejajar dengan sumbu-c. Pemanjangan itu sendiri merupakan suatu ekspresi dari perawakan kristal kuarsa. Dengan demikian, bentuk akhir dari kuarsa sedimen merupakan pencerminan dari bentuk asalnya. Bloss (1957) dan Moss (1966), berdasarkan hasil-hasil penelitian eksperimental yang mereka lakukan, memperlihatkan bahwa kuarsa memiliki belahan prismatik dan rhombohedra yang lemah sedemikian rupa sehingga pemecahan kristal kuarsa akan menyebabkan terbentuknya partikel-partikel yang cenderung memanjang pada arah yang sejajar dengan sumbu-c atau pada arah lain yang membentuk sudut tertentu terhadap sumbu-c. Pemanjangan kristal kuarsa telah digunakan sebagai salah satu kriterion dari provenansi; kuarsa yang berasal dari batuan metamorf lebih memanjang dibanding kuarsa yang berasal dari batuan beku. Kesimpulan seperti itu didukung oleh data hasil penelitian Bokman (1952) yang menemukan nisbah pemanjangan rata-rata (nisbah sumbu panjang terhadap sumbu pendek) yang berharga 1,43 untuk granit dan 1,75 untuk sekis.
Sebagian besar partikel kuarsa detritus mengandung inklusi. Inklusi yang biasanya berukuran kecil itu umumnya tersebar secara random dalam partikel kuarsa, meskipun cenderung untuk terletak pada satu bidang yang sama. Para ahli telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap inklusi sebagai petunjuk provenansi kuarsa. Mackie (1896) menggolongkan kuarsa detritus ke dalam 4 kelompok berdasarkan inklusi yang ada didalamnya. Keempat kelompok itu adalah: (1) kuarsa dengan inklusi berbentuk jarum (acicular); (2) kuarsa dengan inklusi beraturan (regular); (3) kuarsa dengan inklusi tidak beraturan (irregular); dan (4) kuarsa yang tidak mengandung inklusi (inclusionless). Contoh dari inklusi berbentuk jarum adalah jarum-jarum rutil. Inklusi yang beraturan adalah inklusi mineral euhedral. Inklusi yang tidak beraturan adalah inklusi fluida yang mengandung maupun tidak mengandung gelembung gas. Hasil-hasil penelitian Mackie mendorong para ahli untuk menyimpul-kan bahwa inklusi berbentuk jarum dan inklusi tidak beraturan merupakan ciri dari kuarsa batuan beku; kuarsa dalam sekis dan gneis mengandung inklusi yang beraturan. Penelitian yang lebih mendalam dan luas terhadap inklusi, sebagaimana dilakukan oleh Keller & Littlefield (1955), cenderung mendukung kesimpulan tersebut, meskipun mereka tidak menemukan adanya tipe inklusi diagnostik untuk kuarsa batuan beku maupun kuarsa batuan metamorf.
Pemadaman kuarsa bervariasi, mulai dari pemadaman tajam (sharp extinction) hingga pemadaman bergelombang (wavy extinction). Kuarsa yang dikenai oleh tekanan yang cukup tinggi memperlihatkan “strain shadow” atau “undulatory extinction” yang dapat teramati di bawah nikol bersilang. Jadi, secara umum kuarsa batuan metamorf diasumsikan memperlihatkan gejala pemadaman bergelombang yang jelas, sedangkan kuarsa batuan beku tidak memperlihatkan pemadaman seperti itu. Walau demikian, hasil-hasil pengamatan menunjukkan bahwa kuarsa berukuran besar yang berasal dari batuan granitik lebih teregang-kan (strained) dibanding kuarsa berukuran kecil yang kuat (annealed) dari sebagian batuan metamorf. Blatt & Christie (1963) menyimpulkan bahwa undulatory extinction merupakan petunjuk provenansi yang kurang dapat diandalkan.
Berdasarkan satu atau beberapa karakter kuarsa seperti tersebut di atas, banyak ahli kemudian berusaha untuk meng-golongkan kuarsa detritus ke dalam kelompok-kelompok yang mengindikasikan provenansinya. Sorby (1880) dan Mackie (1896) adalah dua orang pionir yang pertama-tama mencoba untuk mempelajari kuarsa batuan sedimen. Penelitian yang relatif baru dilakukan oleh Krynine (1940, 1946). Krynine menggolongkan kuarsa ke dalam tiga kategori: (1) kuarsa batuan beku (termasuk batuan plutonik, batuan vulkanik, dan batuan hidrotermal); (2) kuarsa batuan metamorf (termasuk pressure quartz dan injection quartz); serta (3) kuarsa batuan sedimen (yang mencakup kuarsa autigen hasil overgrowth dan kuarsa pengisi urat atau rongga dalam batuan). Skema penggolongan Krynine sukar diterapkan. Kesukaran itu sebagian timbul karena sifat-sifat yang digunakan sebagai pengenal kuarsa itu tidak bersifat inklusif dan sebagian lain karena tidak memadainya pengetahuan mengenai batuan sumber. Meskipun mungkin ada perbedaan nilai rata-rata statistik untuk beberapa tipe batuan sumber,namun seringkali tidak mungkin untuk menyatakan apakah suatu partikel kuarsa termasuk ke dalam satu kategori atau justru pada kategori yang lain.
Meskipun, misalnya saja, seseorang tidak dapat membedakan kuarsa batuan beku dari kuarsa batuan metamorf, namun orang itu seringkali dapat mengenal kuarsa vulkanik, yakni kuarsa yang berasal dari batuan vulkanik efusif, terutama porfir kuarsa. Kuarsa seperti itu pada dasarnya bebas-strain serta memperlihatkan pemadaman yang tajam. Kuarsa vulkanik dapat memperlihatkan pelekukan ke dalam (embayment) atau pembundaran akibat proses penyerapan ulang (resorption) oleh magma. Pada beberapa kasus, kuarsa vulkanik memperlihatkan sisi-sisi yang lurus dari bentuk heksagonal dipiramidal. Kuarsa vulkanik cenderung berasosiasi dengan fragmen batuan felsik dan mungkin pula dengan partikel felspar yang memperlihatkan zonasi. Pada kasus istimewa, kuarsa vulkanik merupakan material penyusun penting dalam pasir masa kini (Webb & Potter, 1969) maupun pasir purba (Todd & Folk, 1957).
Jenis kuarsa yang lebih penting adalah kuarsa polikristalin, yakni kuarsa yang merupakan komposit dan terbentuk dari dua atau lebih satuan kristal. Dalam banyak pasir, kuarsa polikristalin memiliki kelimpahan yang lebih kurang sama dengan kuarsa monokristalin. Partikel kuarsa polikristalin mungkin berupa rijang mikrokristalin, kuarsit berbutir halus, atau kuarsa kristalin kasar yang berasal dari batuan beku atau batuan metamorf. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini terhadap kuarsa kristalin kasar (Blatt & Christie, 1963; Blatt, 1967; Connoly, 1965; Voll, 1960) menunjukkan bahwa makin besar ukuran partikel kuarsa, makin tinggi kecenderungannya untuk berwujud kuarsa polikristalin. Selain itu, nisbah kuarsa polikristalin terhadap kuarsa mono-kristalin mencapai nilai terendah pada pasir matang. Hal itu mungkin terjadi karena kuarsa polikristalin merupakan bentuk partikel kuarsa yang kurang stabil. Kuarsa polikristalin juga bervariasi dalam hal ukuran dan kemas unsur-unsur kristal penyusunnya. Sebagian kuarsa polikristalin berperawakan poligonal. Maksudnya, sisi-sisi kuarsa itu memiliki batas-batas yang lurus yang satu sama lain dan cenderung untuk bertemu dengan membentuk sudut sekitar 120o. Kuarsa polikristalin lain memiliki batas-batas yang memperlihatkan sutura halus. Kuarsa polikristalin poligonal diperkirakan terbentuk akibat “static annealing”, sedangkan kuarsa polikristalin bersutura diperkirakan terbentuk akibat “cold working” (Voll, 1960).
Tingginya stabilitas kuarsa merupakan faktor yang menyebabkan melimpahnya kuarsa dalam pasir. Batuan beku rata-rata mengandung kuarsa 12% (Clarke, 1924) hingga 20,4% (Leith & Mead, 1915), sedangkan batupasir yang disusun oleh material yang berasal dari batuan beku mengandung 67–70% kuarsa (Leith & Mead, 1915). Pengayaan seperti itu mengimplikasikan tingginya stabilitas mekanis dan stabilitas kimia dari kuarsa. Kuarsa sebenarnya bukan tidak dapat larut sama sekali karena di bawah kondisi tertentu, misalnya dalam beberapa jenis tanah, kuarsa dapat memperlihatkan korosi dan pembundaran (Crook, 1968; Cleary & Conolly, 1971). Walau demikian, dalam batupasir, kuarsa tidak saja stabil namun juga cenderung untuk tumbuh sebagaimana yang diperlihatkan pada kasus outgrowth sekunder. Kuarsa jauh lebih stabil dibanding rijang. Rijang umumnya dikenai oleh pelarutan intrastrata (Sloss & Feray, 1948).
Secara mekanis, kuarsa sangat tahan. Berdasarkan percobaan-percobaan yang dilakukannya, Daubrée (1879) memperkira-kan bahwa kuarsa hanya kehilangan 1/10.000 bagian setiap terangkut untuk jarak 1 km. Penelitian dengan menggunakan abrasion mill oleh Thiel (1940) dan Kuenen (1957, 1959b, 1960) cenderung untuk mendukung gagasan lambatnya kuarsa terabrasi.
Kuarsa juga memegang peranan penting sebagai semen dalam batupasir. Kuarsa merupakan material penyemen dominan dalam kebanyakan batupasir, terutama batupasir Paleozoikum atau batupasir Prakambrium. Semen kuarsa pada banyak kasus tampak sebagai secondary outgrowth pada partikel kuarsa detritus. Gejala outgrowth itu dicandra pertama kali oleh Sorby (1880). Irving & Van Hise (1892) mengemukakan banyaknya contoh pelebaran partikel kuarsa dalam berbagai formasi di Amerika Utara. Fenomenon itu tersebar luas dan mungkin bersifat universal dalam semua batupasir, dimana kuarsa kristalin berperan sebagai semen. Dalam batupasir yang tersemenkan paling lemah, partikel kuarsa mungkin mudah terpecah-pecah dan keberadaan partikel tersebut dapat dipelajari di bawah mikroskop binokuler. Overgrowth kuarsa (gambar 7-1) menyebabkan terpulihkannya bentuk dasar dan kesimetrian kristal kuarsa. Overgrowth itu dapat terlihat dalam sampel genggam sekalipun. Dalam sayatan tipis, overgrowth dapat terlihat sebagai “tambahan” terhadap inti partikel detritus. Batas antara inti kuarsa detritus dengan bagian overgrowth merupakan produk pencampuran antara material tambahan dengan material lain yang semula menyelimuti kuarsa detritus. Garis itu akan menjadi makin jelas apabila partikel detritus itu sebelumnya tertutupi oleh oksida besi sebelum proses overgrowth berlangsung. Walau demikian, dalam better-welded quarzite, perbedaan antara “inti” dengan overgrowth kurang jelas dan dalam beberapa kasus tidak dapat dibedakan sama sekali. Jika sayatan tipis diteliti dengan menggunakan metoda cathodeluminescence, kandungan unsur jejak dari kuarsa akan menyebabkan timbulnya suatu fluorecence yang memungkinkan dikenalnya “inti” dan overgrowth (Sippel, 1968).
Opal dan kalsedon juga sering muncul dalam batupasir sebagai partikel atau, kadang-kadang, sebagai semen. Opal tidak pernah ditemukan dalam batupasir yang sangat tua karena dalam batupasir seperti itu opal akan mengalami devitrifikasi dan rekristalisasi menjadi kalsedon. Semen kalsedon akan tampak sebagai material yang menyelimuti partikel detritus. Semen kalsedon umumnya berbentuk serat, dimana arah penyeratannya tegak lurus terhadap batas-batas partikel detritus.
7.3.3.2 Felspar
Meskipun felspar merupakan jenis mineral yang paling tinggi kelimpahannya dalam batuan beku, namun kelimpahannya dalam batupasir masih lebih rendah dibanding kuarsa. Walau demikian, dalam pasir masa kini, felspar memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibanding kuarsa. Kadar felspar rata-rata dari 404 sampel pasir masa kini yang berasal dari Amerika Utara adalah 15,3% (Pettijohn dkk, 1972). Angka yang mirip diperoleh dari hasil penelitian terhadap 435 sampel batupasir Prakambrium hingga Kuarter yang berasal dari Russian Platform (Ronov dkk, 1963). Unweighted mean kuarsa dari 98 sampel batupasir yang berasal dari Amerika Utara adalah 10,2%.
Pengenalan felspar dan pembedaannya menjadi beberapa tipe sukar untuk dilaksanakan, terutama apabila kita harus melakukan modal analysis untuk setiap partikel. Staining merupakan satu-satunya jawaban yang memuaskan untuk memecah-kan masalah tersebut (Russell, 1935; Laniz dkk, 1964).
Felspar dalam batupasir mencakup K-felspar, terutama mikroklin, dan plagioklas (umumnya termasuk ke dalam sub-spesies albit). Zoned felspar jarang ditemukan dan cenderung berasal dari batuan vulkanik. Demikian pula dengan felspar euhedral dan felspar euhedral yang terpecah-pecah. Felspar detritus (detrital feldspar) mungkin transparan, namun mungkin pula agak kusam karena mengandung produk alterasi. Beberapa ahli telah berusaha untuk mengaitkan jenis felspar dengan batuan sumber (Rimsaite, 1967). Oscillatory zoning mengindikasikan batuan asal vulkanik atau batuan hipabisal (Pittman, 1963). Felspar yang berasal dari batuan vulkanik asam biasanya berupa sanidin, sedangkan yang berasal dari batuan plutonik biasanya berupa ortoklas atau mikroklin. Felspar piroklastik berwujud kristal euhedra yang utuh atau kristal euhedra yang terpecah-pecah. Kristal itu umumnya tertutup oleh gelas atau gelas yang telah mengalami devitrifikasi.
Apabila dibandingkan dengan kuarsa, felspar relatif kurang stabil. Karena itu, residu pelapukan batuan plutonik cenderung mengalami pengurangan felspar dan pengayaan kuarsa. Pengurangan kadar felspar seperti itu, akibat dekomposisi dalam profil pelapukan, dapat menjadi makin hebat akibat terhancurkannya felspar selama terangkut menuju tempat pengendapannya.
Meskipun felspar diperkirakan lebih rentan terhadap penghancuran mekanis dibanding kuarsa, namun data yang menunjang pendapat itu masih kontradiktif. Mackie (1896) mencatat adanya penurunan kadar felspar di Sungai Findhorn (Skotlandia), dari 42 menjadi 21 persen, setelah felspar itu terangkut untuk jarak 30–40 mil (48–64 km). Dia menisbahkan penurunan kadar felspar itu pada abrasi. Plumley (1948) menemukan gejala yang sama, berupa penurunan kadar felspar fraksi pasir kasar ke arah hilir di Black Hills, South Dakota. Di lain pihak, dia menemukan bahwa pasir Sungai Cheyenne hanya mengalami sedikit penurunan kadar felspar (dari 29 menjadi 24 persen) setelah terangkut sejauh 150 mil (240 km). Russell (1937) menyatakan bahwa pasir Sungai Mississippi hanya mengalami sedikit penurunan kadar felspar—dari 25% di sekitar Cairo, Illinois, menjadi 20% di Gulf of Mexico. Penurunan sebesar itu boleh dikatakan dapat diabaikan karena berlangsung pada jarak 1100 mil (1770 km). Data yang terbatas seperti tersebut di atas mengindikasikan bahwa felspar mungkin tereduksi agak cepat apabila diangkut dalam sungai turbulen yang bergradien tinggi dan mengangkut gravel. Di lain pihak, dalam sungai besar, proses penurunan kadar felspar dalam pasir mungkin berlangsung lambat. Aksi gisik yang kuat mungkin mampu untuk menyebabkan penurunan kadar felspar dalam pasir.
Felspar adalah mineral yang secara kimia tidak bersifat stabil. Hal itu dapat ditunjukkan dengan mudah. Data profil tanah yang disajikan oleh Goldich (1938) menunjukkan bahwa ketidakstabilan itu bervariasi, sesuai dengan spesiesnya. Felspar yang kaya akan unsur karbonat relatif kurang stabil, sedangkan alkali felspar (terutama mikroklin) relatif stabil. Stabilitas felspar dalam batupasir tidak sama dengan stabilitasnya dalam tanah. Dalam banyak batupasir, felspar detritus mengalami overgrowth sekunder. Karena hampir murni berupa K-felspar atau Na-felspar, overgrowth kemungkinan besar stabil pada lingkungan akuatis bertemperatur dan bertekanan rendah yang ada dalam sistem ruang pori batupasir.
Kebenaan felspar detritus telah menjadi bahan pembahasan yang berlarut-larut. Masalah itu merupakan inti dari apa yang dikenal sebagai “arkose problem.” Kemampuan felspar untuk bertahan agaknya merupakan fungsi dari intensitas proses peluruhan dan lamanya aksi peluruhan itu berlangsung. Apabila relief tinggi dan erosi cepat, felspar tidak akan terdekomposisi seluruhnya dan akan hadir dalam pasir; apabila relief rendah dan erosi relatif lambat, felspar akan terhancurkan. Iklim tampak-nya hanya memegang peranan sekunder. Walau demikian, penghancuran felspar akan terhambat apabila berlangsung pada daerah beriklim sangat kering atau sangat dingin. Masalah ini, dan bukti-bukti yang berkaitan dengannya, akan dibahas lebih jauh pada bagian 7.5.1.
Sebagaimana kuarsa, felspar dapat memperlihatkan secondary enlargement. Karena itu, hingga tingkat tertentu, felspar dapat berperan sebagai semen. Dalam batupasir, pembedaan antara inti detritus dari felspar dengan cincin sekunder yang merupakan hasil pertumbuhan baru relatif mudah dilakukan. Inti itu biasanya membundar dan mengalami kaolinisasi atau terubah sedemikian rupa sehingga inti itu tampak jelas berbeda dengan bagian overgrowth. Dalam pertumbuhannya, material yang terletak di pinggir cenderung membentuk bidang kristal sedemikian rupa sehingga menyebabkan terbentuknya kristal yang teratur, biasanya bentuk rhombik sederhana. Berbeda dengan kuarsa sekunder, felspar autigen (authigenic feldspar) hanya terbentuk pada suatu fraksi kecil dari keseluruhan batuan.
Inti dari kebanyakan partikel felspar yang mengalami overgrowth agaknya berupa felspar berperawakan triklin (mikroklin). Material overgrowth yang tumbuh pada sisi-sisi inti itu biasanya berupa K-felspar yang tidak memiliki kembar. Overgrowth juga dapat terjadi pada plagioklas detritus. Material overgrowth yang tumbuh pada sisi-sisi plagioklas biasanya berupa soda felspar murni (albit). Meskipun material overgrowth memperlihatkan kesinambungan kristal dengan inti yang diselimutinya, namun material itu umumnya memperlihatkan sangat sedikit perbedaan dalam sudut pemadaman. Hal itu mengindikasikan adanya sedikit perbedaan dalam komposisinya. Felspar autigen hampir selalu berupa K-felspar murni. Para ahli telah mengetahui, berdasarkan bukti-bukti petrologi dan hasil-hasil percobaan eksperimental, bahwa felspar campuran (mixed feldspar), baik soda-lime feldspar maupun potash-soda feldspar, hanya terbentuk pada temperatur tinggi. Felspar sedimen yang terbentuk di bawah temperatur rendah merupakan jenis felspar yang paling murni (Baskin, 1956).
Secondary growth terjadi setelah material yang menjadi intinya diendapkan, ketika felspar baru diendapkan diantara partikel-partikel kuarsa. Walau demikian, pada beberapa kasus, diperoleh bukti adanya beberapa perioda secondary growth (gambar 7-2). Cincin yang pertama kali diendapkan itu sendiri mungkin telah terhancurkan sebelum tumbuhnya felspar pada perioda pertumbuhan selanjutnya (Goldich, 1934; Stewart, 1937).
Kondisi-kondisi yang mendorong pembentukan felspar autigen belum dipahami sepenuhnya. Sebagian besar ahli saat ini berkeyakinan bahwa felspar autigen terbentuk oleh proses-proses diagenesis serta memandang bahwa felspar autigen tidak terbentuk oleh proses-proses metamorfisme atau proses-proses hidrotermal (Goldich, 1934), meskipun ada beberapa kasus yang mengindikasikan adanya hubungan antara felspar sekunder dengan intrusi batuan beku (Heald, 1956a). Para ahli mengatakan bahwa pembentukan felspar sekunder memerlukan air laut dan, oleh karena itu, kehadiran felspar sekunder merupakan indikator pengendapan pada lingkungan laut (Crowley, 1939).