Batuan berbutir kasar, baik batuan beku maupun batuan metamorf, tidak muncul sebagai detritus dalam sedimen klastika yang berbutir sedang. Sedimen itu terutama berasal dari hasil disintegrasi batuan plutonik. Di lain pihak, fragmen batuan berbutir halus dapat muncul dalam pasir. Bahkan, dalam tipe batupasir tertentu (yakni lithic arenite), fragmen batuan berperan sebagai komponen dominan yang nilai kelimpahannya melebihi kelimpahan kuarsa. Berdasarkan hasil penelaahan terhadap 85 buah sampel, diketahui bahwa pasir masa kini rata-rata mengandung 20% fragmen batuan (Pettijohn dkk, 1972). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 187 sampel (Friberg, 1971), diketahui bahwa pasir di Sungai Ohio rata-rata mengandung 31% fragmen batuan. Dalam 13 formasi batupasir Paleozoikum yang ada di bagian tengah Pegunungan Appalachia, diketahui bahwa batu-pasir itu mengandung 0–33% fragmen batuan dan rata-rata mengandung 13% (Pettjohn dkk, 1972). Batupasir Mesozoikum Akhir di Sacramento Valley mengandung 20–75% fragmen batuan (Dickinson, 1969).
Jumlah spesies batuan dalam batupasir bervariasi. Sebagai contoh, Kulm Graywacke di Pegunungan Harz, Jerman, mengandung 19 spesies fragmen batuan (Mattiat, 1960).
Fragmen batuan sangat tergantung pada ukurannya. Fragmen batuan memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dalam fraksi pasir kasar, meskipun masih dapat ditemukan dalam pasir yang paling halus sekalipun. Sejalan dengan makin menurunnya besar butir pasir, makin sukar pula bagi kita untuk mengenal spesies fragmen batuan dan makin subjektif proses pengenalannya (Boggs, 1968). Pengenalan fragmen batuan berukuran kecil sukar untuk dilakukan. Dickinson (1970) menyarankan digunakan-nya kriteria operasional, terutama tekstur, untuk menggolongkan fragmen batuan. Dia menggolongkan fragmen batuan ke dalam lima kategori: (1) fragmen batuan vulkanik yang bertekstur afanitik; (2) fragmen batuan klastika yang bertekstur fragmental; (3) fragmen tektonit yang memiliki kemas schistose atau semischistose; (4) partikel mikrogranuler, yakni batuan yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya lebih kurang sama dan bentuknya lebih kurang seperti kubus; dan (5) fragmen batuan karbonat. Setiap kategori tersebut di atas dapat dibagi lebih jauh. Fragmen batuan vulkanik dapat dibagi menjadi (a) fragmen batuan felsik; (b) fragmen batuan microlitic; (c) fragmen batuan lathwork; dan (d) fragmen batuan vitric. Fragmen batuan klastika dapat dibagi menjadi: (a) fragmen lanauan-pasiran; (b) fragmen argilitan; dan (c) fragmen batuan vulkaniklastik. Fragmen tektonit dapat dibagi menjadi: (a) fragmen metasedimen; dan (b) fragmen metavulkanik. Dengan susah payah, partikel mikrogranuler dapat dibagi menjadi: (a) fragmen batuan hipabisal; (b) fragmen hornfelsic; dan (c) fragmen sedimen. Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh cara-cara untuk mengenal partikel-partikel tersebut di atas dipersilahkan untuk menelaah langsung karya tulis Dickinson (1970).
Ada dua masalah identifikasi yang perlu dikemukakan di sini. Pembedaan antara felsit (felsite) dan rijang sangat penting, namun sukar dilakukan. Felsit dapat dicirikan oleh mikrofenokris (microphenocryst), sisa-sisa glass shard (seperti pada welded tuff), sedikit relief internal (karena adanya perbedaan indeks refraksi antara kuarsa dengan felspar) dan, jika sayatan tipis itu stained untuk mengetahui kehadiran felspar, memperlihatkan noktah kuning atau merah. Rijang dapat mengandung sisa-sisa spicule, radiolaria, atau diatom, atau memiliki kemas oolitik. Masalah pembedaan felsit dengan rijang dibahas oleh Wolf (1971).
Masalah identifikasi lain yang perlu dikemukakan di sini adalah pembedaan antara partikel karbonat mikritik dan intraklastik terigen dengan partikel karbonat intrabasinal. Partikel karbonat intrabasinal sering ditemukan dalam kalkarenit. Partikel karbonat terigen umumnya dolomitik kasar. Partikel karbonat terigen cenderung untuk berasosiasi dengan fragmen batuan terigen lain.
Ketahanan (durability) fragmen batuan sangat bervariasi. Rijang dan fragmen felsitik cenderung selamat dari aksi abrasi; fragmen sekis, di lain pihak, sangat rentan terhadap penghancuran (Cameron & Blatt, 1971). Karena itu, pengangkutan yang pendek terimplikasikan oleh pasir yang mengandung banyak fragmen batuan seperti itu.
7.3.3.4 Mika
Mika detritus ditemukan dalam batupasir, terutama lithic sandstone, graywacke, dan arkose. Karena berbentuk lembaran dan, meskipun memiliki densitas yang tinggi dan ukuran yang besar, mika cenderung ditemukan bersama-sama dengan pasir halus dan lanau. Mika tidak ditemukan dalam pasir yang tercuci bersih.
Baik biotit maupun muskovit sering ditemukan dalam pasir. Biotit dalam banyak kasus terubah menjadi klorit atau, pada kasus-kasus istimewa, menjadi glaukonit (Galliher, 1935).
Mika muncul dalam bentuk lembaran utuh atau lembaran yang hancur menjadi partikel-partikel kecil. Apabila bersentuhan dengan partikel yang lebih tegar, lempeng-lempeng mika yang berukuran relatif besar cenderung terlengkungkan atau ter-deformasi akibat kompaksi. Lembaran mika cenderung terorientasi pada arah yang sejajar dengan bidang perlapisan. Mika ditemukan dalam jumlah relatif banyak dalam batupasir halus. Dalam beberapa batuan, lembaran mika terkonsentrasi pada bidang perlapisan sedemikian rupa sehingga memberikan kilau tersendiri pada bidang tersebut dan akan memperjelas penyubanan pada bidang perlapisan tersebut.
Lempeng mika dapat membundar baik. Menurut Krynine (1940), hal itu mengindikasikan aliran lambat, di dalam aliran mana ada unsur-unsur pergerakan maju-mundur. Lempeng biotit berbentuk heksagonal sempurna yang ditemukan dalam beberapa sedimen diperkirakan merupakan bagian dari debu vulkanik (Krynine, 1940).
Mika detritus berasal dari granit dan gneiss yang mengandung mika serta dari sekis mika. Mika detritus banyak ditemukan dalam phyllarenite. Mika digunakan sebagai kriterion sedimentasi kontinental atau litoral (Lahee, 1941). Hal itu sebenarnya terjadi karena sebagian besar aluvium sungai besar dan endapan delta berupa lithic sandstone yang berasal dari provenansi campuran sedimen dan metamorf. Mika pernah ditemukan dalam turbidit, dimana kelimpahan mika pada bagian distal lebih tinggi dibanding kelimpahannya pada bagian proksimal dari kipas bawahlaut (Lovell, 1969).
7.3.3.5 Mineral Berat
Salah satu kategori mineral penyusun batuan sumber yang biasanya mampu bertahan terhadap proses-proses penghancur-an adalah apa yang dikenal sebagai “mineral berat” (“heavy minerals”). Mineral berat merupakan mineral tambahan minor dalam batupasir dan dicirikan oleh berat jenisnya yang relatif tinggi (lebih tinggi daripada berat jenis bromoform yang berharga 2,85). Mineral berat dalam batupasir jarang hadir dalam proporsi > 1% (umumnya < 0,1%). Mineral berat berasal dari mineral tambahan minor dalam batuan sumber. Pada kondisi istimewa, mineral berat merupakan sisa-sisa mineral batuan sumber yang terutama disusun oleh mineral mafik yang tidak stabil. Zirkon adalah salah satu contoh mineral tambahan yang stabil, sedangkan hornblenda merupakan contoh mineral mafik yang dapat hadir dalam jumlah yang cukup melimpah dalam batuan sumber, namun tidak stabil sehingga mungkin hanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam batupasir, bahkan mungkin tidak ditemukan sama sekali. Jumlah dan jenis mineral berat dalam batupasir sangat bervariasi. Dalam beberapa endapan plaser dapat ditemukan 2–20 spesies mineral berat dengan kelimpahan satu per beberapa ratus persen. Dalam kebanyakan batupasir, mineral berat hadir dalam jumlah < 1%.
Apabila berperan sebagai mineral baru yang berasal dari batuan kristalin, mineral berat hanya sedikit terhancurkan. Fragmen yang mengandung belahan dan kristal yang lebih kurang euhedral mencirikan kumpulan mineral berat yang baru. Jika berasal dari sedimen tua, spesies mineral berat yang kurang stabil cenderung tidak ditemukan, sedangkan spesies yang relatif stabil akan muncul dalam bentuk yang membundar.
Demikian jarangnya mineral berat dalam batupasir sehingga dalam satu sayatan tipis kita mungkin hanya akan menemukan 1 atau 2 buah saja. Untuk meneliti mineral berat, kita perlu mengkonsentrasikan dan mengisolasinya dari mineral ringan yang berasoasiasi dengannya. Metoda-metoda untuk memisahkan mineral berat telah dijelaskan dalam beberapa buku ajar baku untuk petrografi sedimen, misalnya karya Krumbein & Pettijohn (1938), Milner (1962), Müller (1964), serta Carver (1971).
Pemelajaran residu mineral berat dalam beberapa kasus terbukti bermanfaat untuk korelasi stratigrafi karena, secara teoritis, setiap satuan stratigrafi mengandung kerabat mineral tambahan minor yang berbeda karakter dan kelimpahannya (Boswell, 1933; Milner, 1962). Bahwa hal itu benar adanya telah terbukti berkali-kali dan menjadi dasar untuk “korelasi petrografi” (“petrographic correlation”). Keberhasilan korelasi seperti itu tidak hanya tergantung pada pengenalan asosiasi mineral tertentu, namun juga pada varietasnya serta pada perubahan proporsi mineral penyusunnya dari waktu ke waktu. Setiap massa batuan baru yang tidak tertutupi oleh batuan lain akan menyumbangkan spesies atau varietas baru pada sedimen atau perubahan-perubahan proporsi spesies yang semula ada. Korelasi itu menjadi makin kompleks karena adanya perombakkan sedimen tua sedemikian rupa sehingga endapan baru dapat memiliki spesies yang sama dengan sedimen asalnya.
Masalah penafsiran kerabat mineral berat lebih terkomplikasikan lagi karena adanya pengaruh pelarutan selektif yang dialami kumpulan mineral tersebut setelah diendapkan. Karena itu, kumpulan aktual dari mineral berat merupakan fungsi dari batuan sumber dan stabilitas mineral (dan, oleh karena itu, kapasitas mineral untuk bertahan dalam profil tanah dan dalam sedimen). Pertanyaan-pertanyaan mengenai stabilitas dan pelarutan intrastrata telah menjadi bahan perdebatan panjang diantara para ahli (Boswell, 1933; Pettjohn, 1941; van Andel, 1952, 1959; Weyl, 1950).
Hingga disini dapat disimpulkan bahwa kerabat mineral berat terbukti merupakan penunjuk yang sangat berharga untuk mengetahui jenis batuan sumber (Boswell, 1933; Feo-Codecido, 1956). Sebagian mineral mencirikan batuan sumber tertentu. Sebagian lain, misalnya kuarsa, boleh dikatakan muncul dalam hampir setiap batuan sumber. Pada kasus ini, gejala tertentu seperti inklusi dan warna berperan sebagai penunjuk batuan sumber. Penelitian Krynine (1946a) terhadap turmalin, dimana dia mengenal adanya 13 varietas atau sub-tipe, serta penelitian Vitanage (1957) terhadap zirkon melukiskan penggunaan gejala-gejala tersebut. Hubungan antara mineral berat dengan provenansi akan dibahas lebih jauh pada Bab 13.
Penyebaran kerabat mineral berat tertentu didefinisikan sebagai mandala petrologi sedimen (sedimentary petrologic province). Pemetaan mandala-mandala seperti itu banyak meningkatkan pengetahuan kita mengenai arus purba dan paleo-geografi. Untuk mengetahui lebih jauh kaitan antara mandala petrologi sedimen dengan arus purba dan paleogeografi, pembaca dipersilahkan untuk menelaah karya tulis Pettijohn & Potter (1963). Contoh pemanfaatan mineral berat untuk mengetahui mandala petrologi sedimen diperlihatkan oleh Füchtbauer (1964) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap batupasir dalam German Molassa. Masalah ini akan dibahas lebih jauh pada Bab 14.
7.3.3.6 Kalsit, Dolomit, dan Siderit
Karbonat paling sering muncul dalam batupasir sebagai semen, meskipun dapat juga muncul sebagai fragmen batuan dan, khusus untuk kalsit, sebagai material penyusun detritus fosil dan rangka.
Kalsit merupakan material penyemen yang biasa ditemukan dalam batupasir. Dalam batupasir Mesozoikum dan Keno-zoikum, batupasir yang tersemenkan oleh kalsit mungkin sama jumlahnya dengan batupasir yang tersemenkan oleh kuarsa (Tallman, 1949). Dalam batupasir yang tersemenkan sebagian, kalsit akan tampak di bawah mikroskop sebagai endapan seperti rumbai-rumbai pada batas partikel pasir. Walau demikian, dalam kebanyakan batupasir yang tersemenkan oleh karbonat, kalsit membentuk mosaik kristalin diantara partikel-partikel detritus. Setiap ruang pori terisi oleh satu kristal tunggal atau, paling banyak, oleh dua atau tiga kristal seperti itu. Dalam beberapa batupasir, kristal kalsit berukuran cukup besar (diameternya ≥ 1 cm). Batupasir seperti itu dikatakan memperlihatkan luster-mottling. Sementasi yang tidak lengkap pada batupasir seperti itu menyebabkan terbentuknya kristal pasir (sand crystal), yakni euhedra kalsit berukuran besar, biasanya scalenohedra, yang dimuati oleh inklusi-inklusi pasir detritus. Pembahasan yang lebih mendetil mengenai kristal tersebut dan tentang konkresi kalsit dalam batupasir dapat ditemukan pada Bab 12.
Dalam beberapa batupasir, partikel-partikel kuarsa “mengambang” dalam medan material karbonat. Batupasir seperti itu ditafsirkan sebagai campuran asli dari kuarsa klastika dengan karbonat klastika. Karbonat klastika itu kemudian mengalami rekristalisasi dan tidak memperlihatkan jejak-jejak asal-usulnya.
Dolomit juga diketahui berperan sebagai penyemen dalam batupasir. Dalam sebagian batupasir, dolomit dapat pula berperan sebagai detritus, baik sebagai fragmen batuan dolomitik maupun sebagai kristal dolomit detritus berukuran besar (Sabins, 1962).
Semen siderit ditemukan dalam beberapa batupasir. Walau demikian, karena tidak stabil dan karena mudah teroksidasi, semen siderit hanya dapat ditemukan dalam inti bor atau dalam sampel batuan yang masih segar. Semen siderit jarang atau tidak pernah ditemukan dalam singkapan.
7.3.3.7 Mineral Lempung dan Mineral Silikat Lain
Mineral lempung tertentu—misalnya kaolinit, monmorilonit, klorit, berbagai jenis zeolit, dan glaukonit—berperan sebagai material pembentuk batupasir tertentu. Sebagian mineral lempung itu merupakan material detritus, meskipun umumnya merupakan material diagenetik.
Kaolinit ditemukan dalam ruang pori beberapa batupasir sebagai semen “membongkah” yang terkristalisasi dengan baik. Mineral ini jelas merupakan presipitat yang berasal dari larutan (Glass dkk, 1956).
Serisit dan klorit merupakan material utama penyusun matriks wacke. Kedua mineral itu dipandang oleh sebagian ahli sebagai lumpur yang diendapkan bersamaan dengan partikel pasir yang ada disekitarnya serta sebagai produk autigen hasil penghancuran fragmen batuan tidak stabil. Masalah matriks dalam wacke ini akan dibahas lebih jauh pada bagian 7.5.3.
Berbagai jenis zeolit juga ditemukan dalam batupasir, terutama pasir vulkaniklastik dan pasir lain yang mengandung material vulkanik (terutama gelas). Zeolit yang biasa ditemukan dalam batupasir adalah analsim, laumontit, heulandit, klinoptilolit, dan mordenit. Mineral-mineral itu merupakan mineral diagenetik (Hay, 1966).
Glaukonit merupakan material penyusun minor dalam beberapa batupasir dan menjadi material utama penyusun greensand. Glaukonit biasanya muncul sebagai partikel berukuran pasir, berbentuk hampir seperti bola, penampangnya berbentuk poly-lobate, dan di bawah mikroskop tampak disusun oleh material mikrokristalin yang berwarna kuning-hijau hingga hijau rumput. Mineralogi glaukonit telah dibahas oleh Gruner (1935), Burst (1958), dan Foster (1969). Burst (1958) secara khusus memper-lihatkan bahwa material yang disebut sebagai “glaukonit” memiliki komposisi dan struktur kristal yang bervariasi. Burst (1958) menyatakan ada empat spesies glaukonit; sebagian diantaranya mengandung kalium dalam jumlah yang rendah. Kandungan besi dalam glaukonit tergantung pada konsentrasi besi dalam lingkungan pembentukannya. Kadar kalium dalam glaukonit juga bervariasi. Rendahnya kadar kalium dalam glaukonit mengindikasikan ketidakmatangan atau degenerasi (Foster, 1969).
7.3.3.8 Kolofan
Beberapa batupasir bersifat fosfatik. Kolofan, yakni fluorapatit karbonat amorf yang kompleks, muncul sebagai fragmen rangka dan/atau nodul fosfat, kadang-kadang juga sebagai ooid. Dalam batupasir yang berasosiasi dengan fosforit, kolofan ditemukan dalam jumlah yang melimpah, baik sebagai unsur penyusun rangka maupun sebagai semen kristal renik yang menyelimuti partikel kuarsa atau sebagai material mikrokristalin pengisi ruang pori (Bushinsky, 1935; Cressman & Swanson, 1964).
7.3.4 Komposisi Kimia Batupasir
Komposisi batupasir dapat dinyatakan dalam komposisi kimia ruah (bulk chemical composition). Analisis kimia ruah seperti itu sangat bermanfaat. Pasir (dan sedimen lain), pada dasarnya merupakan produk dari proses-proses fraksinasi kimia dan mekanis berskala besar yang, meskipun kurang sempurna, seringkali mendorong diperolehnya hasil-hasil yang menakjubkan. Proses-proses tersebut, apabila berlangsung dalam waktu yang lama, akan menyebabkan terpisahkannya unsur-unsur ke dalam produk akhir yang secara kimia lebih kurang homogen. Untuk memahami sepenuhnya proses-proses geokimia dan evolusi berbagai tipe sedimen, kita perlu melakukan analisis kimia. Data analisis kimia seperti itu akan memberikan suatu norma atau “bench mark” untuk mempelajari produk-produk metamorfisme tingkat tinggi serta untuk mempelajari apa yang diperoleh dan apa yang hilang jika proses itu tidak isokimia atau untuk memastikan asal-usul produk akhir pada saat tekstur dan struktur asli dari sedimen tidak dapat dikenal lagi. Analisis seperti itu juga bermanfaat untuk pasir halus atau pasir yang mengandung matriks berbutir halus dimana modal analysis sukar untuk dilaksanakan. Kita memerlukan data kimia, khususnya data kimia rata-rata, untuk mempelajari kesetimbangan massa dan aliran material dalam evolusi bumi secara keseluruhan.
Komposisi kimia pasir (serta batuan lain pada umumnya) biasanya dilaporkan oleh para analis dalam satuan “oksida”. Kadar oksigen sendiri sebenarnya tidak ditentukan secara langsung. Karena itu, praktek untuk melaporkan hasil analisis kimia dalam satuan “oksida” sebenarnya didasarkan pada asumsi bahwa unsur-unsur yang ada berkombinasi dengan oksigen dalam proporsi-proporsi stoikiometris. Asumsi itu sebenarnya tidak selalu sahih. Sebagai contoh, jika sulfida besi hadir dalam batuan, jelas tidak benar apabila kita melaporkan kehadiran besi dalam FeO dan sulfur dalam SO3. Untungnya, dalam kebanyakan sedimen, sulfida jarang ditemukan dan pengecualian seperti itu dan pengecualian lain secara umum tidak penting.
Kehandalan dan kelengkapan analisis kimia sangat bervariasi. Untuk mengevaluasi dan dan memanfaatkan data analisis kimia, kita perlu memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan mengenai metoda analisis kimia. Washington (1930) membahas secara menarik masalah kelengkapan analisis kimia serta metoda untuk mengevaluasinya. Banyak analisis tidak lengkap, bahkan unsur-unsur utama juga tidak ditentukan secara terpisah. Sebagian analis, misalnya saja, melaporkan bahwa sebagian senyawa “hilang terbakar” (“loss on ignition”). Senyawa itu mencakup air (baik air bebas maupun air yang tergabung dengan unsur lain), karbon dioksida, sulfida belerang, dan karbon atau material organik. Titanium, salah satu unsur yang penting, mungkin tidak ditentukan. Jika tidak dilaporkan, nilainya digabungkan ke dalam angka alumina (Al2O3) sehingga menyebabkan nilai alumina menjadi terlalu tinggi. Dalam banyak sedimen, alkali Na2O dan K2O tidak ditentukan secara terpisah. Material penyusun minor—MnO, P2O5, BaO, SO3, S, bahkan CO2—biasanya dilewat. Analisis yang tidak lengkap seperti itu pada gilirannya akan menjadi penghambat dalam pemelajaran sedimen.
Oksida yang dilaporkan oleh seorang analis biasanya tidak muncul dalam bentuk seperti itu,melainkan bergabung dengan oksida lain untuk membentuk mineral. Karena itu, hasil analisis kimia batupasir hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai komposisi mineral batupasir. Selain itu perlu ditekankan disini bahwa hasil analisis kimia ruah batupasir tidak membedakan apakah suatu oksida berasal dari unsur penyusun rangka atau dari semen. Untuk alasan itulah hasil analisis batupasir tidak dapat dibandingkan dengan hasil analisis pasir masa kini yang berasal dari batupasir tersebut. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa komposisi mineral—dan, oleh karena itu, komposisi kimia sedimen klastika—tergantung pada besar butirnya. Sejalan dengan makin menurunnya besar butir, kadar kuarsa juga akan menurun, sedangkan kadar mineral lempung akan bertambah. Dengan demikian, sejalan dengan menurunnya besar butir, akan terjadi pula penurunan kadar SiO2 dan penaikan kadar Al2O3 dan K2O. Hal ini terlihat dengan jelas dalam tabel 8-1.
Berbeda dengan mineral penyusun batuan beku, mineral penyusun batupasir bukan merupakan kumpulan kesetimbangan. Karena itu tidak mungkin bagi kita untuk menghitung suatu komposisi “normatif” dari hasil analisis kimia sebagaimana yang biasa dilakukan dari hasil analisis kimia batuan beku.
Tabel 7-3 memperlihatkan variasi komposisi kimia rata-rata dari pasir terigen yang biasa ditemukan. Dalam tabel itu diserta-kan pula komposisi kimia “batuan beku rata-rata” sehingga para pembaca akan dapat melihat sejauh mana pasir itu telah mengalami fraksinasi. Dari tabel itu jelas terlihat bahwa batupasir kuarsa (quartz arenite atau ortokuarsit) merupakan jenis batupasir yang paling banyak terdiferensiasi dan mengalami pengayaan silika dan paling sedikit mengandung unsur lain. Pasir yang tidak terlalu matang akan mengandung felspar dan mineral lain. Karena itu, jelas sudah bahwa pasir akan memperlihatkan komposisi kimia yang bervariasi, tergantung pada tingkat kematangannya. Selain itu, pasir memperlihatkan komposisi yang jauh lebih bervariasi dibanding serpih. Hal itu terjadi karena pasir merupakan residu batuan sumber yang tidak terubah, sedangkan serpih merupakan produk akhir dari proses-proses dekomposisi. Meskipun khuluk kimia primer dari pasir ditentukan oleh kelengkapan proses-proses pelapukan dan kehebatan fraksinasi mekanis (“pencucian”) yang terjadi selama pengangkutan dan pengendapannya, namun komposisi akhir dari pasir terubah dalam berbagai cara oleh proses-proses diagenesis, terutama dengan masuknya semen pengisi ruang pori.
Ciri-ciri kimia dari setiap kategori utama batupasir dan contoh representatif dari hasil analisis kimia pada setiap kategori itu akan disajikan pada beberapa bagian dari buku ini.
Sebagai kesimpulan, komposisi kimia ruah batupasir tergantung pada, dan terubah cukup besar, oleh sementasi. Komposisi suatu kategori batupasir lebih jauh ditentukan oleh cara-cara pendefinisian kategori batupasir itu sendiri.
7.4 PENGGOLONGAN BATUPASIR
Masalah penggolongan batuan sedimen pertama kali dibahas secara serius oleh Grabau (1904). Masalah itu kemudian dikaji ulang oleh Krynine (1948), Pettijohn (1948, 1954), Shrock (1946, 1948), dan Rodgers (1950). Akhir-akhir ini literatur mengenai penggolongan batuan sedimen, khususnya penggolongan batupasir, telah menjadi sangat banyak. Status peng-golongan batupasir sekali lagi dikaji ulang oleh Klein (1963), McBride (1963), Okada (1971), serta Pettjohn dkk (1972). Para pembaca dipersilahkan untuk menelaah karya-karya tulis tersebut untuk mengetahui sejarah perkembangan penggolongan batupasir serta memahami filosofi yang melandasi penggolongan dan tatanama batupasir.
Sebagian besar ahli sepakat bahwa batupasir paling baik dicandra—dan, oleh karena itu, digolongkan—berdasarkan tekstur dan komposisi mineralnya. Komposisi terbukti sangat bermanfaat dan, dengan beberapa pengecualian, digunakan sebagai dasar dalam semua sistem penggolongan batupasir. Semua ahli sepakat untuk memisahkan mineral penyemen dari mineral yang berperan sebagai unsur rangka batuan serta memakai komponen detritus sebagai parameter untuk mengenal kategori batupasir. Pengamatan terhadap batupasir (atau pasir terigen masa kini) menunjukkan bahwa komponen utama dari batupasir itu adalah kuarsa, felspar, dan fragmen batuan. Fragmen batuan mencakup fragmen batuan beku berbutir halus (misalnya felsit), fragmen batuan sedimen (misalnya rijang dan batugamping mikritik), dan fragmen batuan metamorf (misalnya batusabak) yang berukuran pasir. Komponen detritus lain jarang ditemukan dalam batupasir dan hanya dalam kasus istimewa saja komponen itu berperan sebagai material utama penyusun batuan. Contohnya adalah glaukonit dalam pasir hijau (greensand) dan magnetit dalam pasir hitam (black sand). Dengan demikian, komposisi rangka dapat diungkapkan dengan menyatakan proporsi ketiga tipe komponen utama tersebut di atas yang secara grafis diperlihatkan oleh segitiga sama sisi (gambar 7-3). Kategori utama dari batupasir dapat didefinisikan dengan menyatakan proporsi ketiga komponen utama tersebut. Jika dipandang perlu, segitiga itu kemudian dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian dengan merujuk pada pemikiran tertentu.
Sistem penggolongan di atas dapat digunakan untuk menangani pasir biasa, yakni pasir yang memiliki sistem rangka-pori yang terpisah jelas. Skema itu sukar untuk diterapkan pada pasir yang mengandung matriks dalam jumlah yang cukup banyak, yakni pada apa yang disebut sebagai wacke. Karena itu, untuk tujuan penggolongan, banyak ahli mengusulkan untuk membagi pasir ke dalam dua kelompok dasar: (1) pasir yang mengandung matriks; dan (2) pasir yang tidak mengandung matriks. Setelah itu, setiap kelompok dapat dibagi-bagi lagi dengan menggunakan skema penggolongan tersendiri. Pembagian pasir terigen menjadi dua kelompok dasar seperti itu dikritik oleh Dickinson (1970) karena sebenarnya sulit untuk menentukan definisi operasional dari istilah “matriks” itu sendiri serta karena adanya masalah-masalah penafsirannya. Meskipun ada kesulitan-kesulitan tersebut, namun skema penggolongan yang diusulkan oleh Pettijohn (1954), yang kemudian disempurnakan oleh Dott (1964), akan digunakan dalam buku ini (gambar 7-4).
Meskipun ada konsensus umum yang menyatakan bahwa ancangan untuk penggolongan batupasir seperti tersebut di atas merupakan ancangan yang paling mudah untuk diterapkan dan mengandung arti yang paling jelas, namun ada beberapa variasi penggunaannya. Penempatan batas dan penamaan beberapa kategori batupasir agak bervariasi (lihat, misalnya saja, Dickinson, 1970). Selain itu, ketaksaan juga muncul karena tidak dijelaskan, misalnya saja, apakah kuarsa polikristalin, terutama yang berwujud rijang, hendaknya dianggap sebagai fragmen batuan atau dianggap sebagai mineral kuarsa.
Ketidakseragaman dalam tatanama terutama muncul sejalan dengan adanya istilah graywacke. Istilah yang disebut terakhir ini digunakan oleh Krynine dan Folk untuk menamakan kategori batupasir yang sekarang disebut lithic sandstone. Istilah graywacke sebagaimana yang didefinisikan oleh Folk umumnya tidak digunakan lagi oleh para ahli dewasa ini dan istilah itu sekarang dipakai dalam pengertian klasik, yakni batupasir abu-abu kehitaman yang banyak mengandung matriks.
Perlu ditegaskan bahwa pemilihan parameter-parameter mineral, yang menjadi dasar penggolongan batupasir (termasuk penggolongan dalam buku ini), tidak hanya memadai untuk memerikan dan menggolongkan batupasir, namun juga memiliki kebenaan genetik tersendiri. Nisbah Q/(F + Rx) merupakan ukuran kasar dari kematangan komposisi. Nisbah itu mengukur kedekatan suatu batupasir dengan tipe batupasir yang paling matang, yakni batupasir kuarsa murni. Nisbah F/Rx mencerminkan provenansi serta dapat digunakan untuk memisahkan deep-seated provenance dari supracrustal provenance. Batuan supra-crustal—baik yang berupa batuan beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf—cenderung berbutir halus dan, oleh karena itu, dapat menghasilkan fragmen batuan berukuran pasir. Batuan plutonik yang berbutir kasar hanya menghasilkan partikel mineral berukuran pasir. Sebagian besar batuan beku plutonik mengandung felspar dan hanya menghasilkan felspar sebagai detritus. Nisbah butiran terhadap matriks [(Q + F + Rx)/matriks] agak sukar untuk ditafsirkan. Sedimen dengan matriks melimpah kemungkinan besar merupakan produk quasi-liquid atau produk aliran massa dari suatu campuran pasir-lumpur. Suspensi cair biasa akan menghasilkan pasir yang bebas matriks. Dengan demikian, nisbah butiran terhadap matriks dipadang sebagai indeks kecairan (index of fluidity). Walau demikian, jika sebagian matriks merupakan produk proses pasca-pengendapan (mungkin diagenesis), maka nisbah itu akan memiliki arti yang berbeda—mungkin merupakan ukuran degradasi unsur-unsur rangka.
Gambar 7-4A memperlihatkan bahwa skema penggolongan yang digunakan dalam buku ini relatif sederhana. Beberapa kategori didefinisikan berdasarkan proporsi kuarsa, felspar, dan fragmen batuan serta berdasarkan kehadiran atau ketidak-hadiran matriks. Batupasir yang mengandung matriks ≥ 15% termasuk ke dalam golongan wacke; batupasir yang mengandung matriks < 15% disebut batupasir “biasa”. Batupasir yang tidak atau hanya sedikit mengandung matriks dibagi menjadi tiga kategori: (1) batupasir kuarsa (quartz arenite), yakni batupasir yang mengandung ≥ 95% kuarsa sebagai unsur pembentuk rangka; (2) arkose, yakni batupasir yang mengandung felspar ≥ 25%, dimana kadar felspar itu lebih tinggi daripada fragmen batuan; dan (3) lithic arenite, yakni batupasir yang mengandung fragmen batuan > 25%. Pada kesempatan ini ada baiknya apabila diperkenalkan beberapa subkelas batupasir biasa yang merupakan transisi antara dua kelas utama. Ke dalam kategori ini termasuk apa yang disebut sebagai subarkose dan sublithic arenite. Lithic arenite sendiri dapat dibagi lebih jauh berdasarkan jenis fragmen batuan yang ada didalamnya (lihat gambar 7-4B). Salah satu varietas yang paling umum adalah batupasir yang fragmen batuannya berupa fragmen batuan metamorf tingkat rendah pelitik, misalnya batusabak, filit, dan sekis mika. Batupasir dengan fragmen batuan filoid (phylloid) seperti itu dinamakan phyllarenite (Folk, 1968). Istilah calclithite diusulkan oleh Folk (1968) untuk menamakan pasir terigen yang mengadung banyak partikel detritus batugamping dan dolomit. Istilah itu digunakan untuk membedakan batupasir terigen itu dari kalkarenit (calcarenite). Istilah yang disebut terakhir ini diusulkan oleh Grabau untuk menamakan pasir karbonat yang dihasilkan oleh presipitasi kimia atau biokimia. Jenis lithic arenite yang lain adalah batupasir rijang (chert arenite), jika rijang berperan sebagai fragmen batuan detritus dominan, serta batupasir vulkanik (volcanic arenite), jika fragmen batuan penyusunnya berasal dari batuan vulkanik yang telah mengalami pelapukan dan erosi.
Wacke juga dapat dibagi lebih jauh menjadi beberapa sub-tipe seperti yang diperlihatkan pada gambar 7-4A. Jenis wacke yang paling sering ditemukan adalah graywacke. Graywacke sendiri dapat dibedakan lebih jauh menjadi dua varietas, yakni (1) lithic graywacke jika fragmen batuan yang ada didalamnya memiliki proporsi yang lebih tinggi dibanding felspar; dan (2) feldspathic graywacke, jika felspar yang ada didalamnya memiliki proporsi yang lebih tinggi dibanding fragmen batuan. Tipe wacke lain, yang kelimpahannya lebih rendah dibanding graywacke dan relatif jarang ditemukan, adalah quartzwacke.
Skema penggolongan tersebut di atas terutama didasarkan pada komposisi mineral dan pada dasarnya tidak tergantung pada lingkungan pengendapan batupasir. Batupasir kuarsa, misalnya saja, dapat diendapkan pada gisik, gumuk daratan, atau sungai. Arkose dapat terakumulasi pada kipas daratan atau paparan. Walau demikian, karena karakter batuan sumber merupa-kan faktor utama yang menentukan komposisi mineral, maka skema penggolongan tersebut juga mencerminkan komposisi daerah sumber (provenansi). Karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Krynine (1945), skema tersebut dapat dikaitkan secara tidak langsung dengan tektonik.
Skema penggolongan batupasir hendaknya memperhitungkan pula tekstur dan karakter semen. Aspek-aspek tersebut dapat diakomodasikan dengan pemakaian kata sifat. Sebagai contoh, kita dapat menamakan suatu batupasir sebagai subarkose gampingan yang terpilah baik (well-sorted, calcareous subarkose) atau filarenit silikaan yang terpilah buruk (poorly-sorted, siliceous phyllarenite).
Banyak istilah digunakan untuk menamakah berbagai tipe batupasir yang ditemukan di alam. Sebagian nama itu, misalnya—grit, gannister, flagstone, dan brownstone—berasal dari bahasa sehari-hari (“bahasa pasar”) dan menyatakan sifat tertentu atau manfaat tertentu dari batuan tersebut. Banyak nama seperti itu tidak memiliki nilai atau status petrografi apapun. Istilah-istilah lain diciptakan dan dimaksudkan untuk memberikan penamaan yang lebih cermat terhaap tipe petrografi tertentu, misalnya filarenit gampingan (calcareous phyllarenite). Sayang sekali, tata peristilahan yang ada selama ini cenderung berkembang terlalu jauh; dewasa ini kita dibebani oleh sekian banyak istilah yang sebenarnya sinonim satu dengan yang lain. Dalam tulisan ini kita mencoba untuk menjaga agar tata peristilahan yang digunakan untuk batupasir relatif mudah ditangani. Untuk mengetahui istilah-istilah khusus yang digunakan untuk menamakan batupasir, terutama dalam literatur lama, para pembaca dipersilahkan untuk menelaah berbagai kamus geologi, karya tulis Allen (1963), dan kompilasi yang disusun oleh Pettijohn dkk (1972).
7.5 PETROGRAFI BATUPASIR
Petrografi batupasir, terutama batupasir yang tidak matang, sangat tergantung pada komposisi batuan sumber. Karena kuarsa merupakan material penyusun dominan dalam pasir, maka sumber dasar dari kebanyakan pasir adalah batuan plutonik yang banyak mengandung kuarsa (granit, monzonit kuarsa, dan gneis yang berkaitan dengan granit dan monzonit kuarsa). Arkose, suatu kategori pasir utama, merupakan produk disintegrasi (tanpa dekomposisi yang berarti) batuan tersebut. Pasir yang kaya akan fragmen batuan (yakni lithic arenite) berasal dari batuan yang terletak di bagian atas kerak bumi, bukan dari batuan plutonik. Kuarsa dalam batupasir itu berasal dari batupasir tua, sedangkan fragmen batuan yang ada didalam-nya berasal dari batuan sedimen berbutir halus, batuan metamorf, dan batuan beku efusif. Efek provenansi relatif rendah dalam pasir matang, terutama ortokuarsit atau pasir kuarsa. Semua pasir berevolusi menuju bentuk akhir yang berupa pasir kuarsa. Karena itu, makin dekat karakter dan komposisi suatu pasir terhadap pasir kuarsa, makin sukar kita untuk menentukan sumbernya.
Selain kategori-kategori utama dari pasir tersebut di atas, kita juga mengenal adanya wacke (terutama graywacke) yang juga merupakan salah satu kategori utama dari batupasir. Kita akan membahas graywacke dalam bagian tersendiri nanti.
Petrografi batupasir hendaknya dikaji dengan melakukan pemelajaran dan analisis yagn mendetil terhadap sehimpunan sampel genggam yang dipilih secara hati-hati serta pada sayatan tipis. Para pemula akan banyak memperoleh manfaat apabila menelaah karya-karya tulis utama mengenai pasir dan batupasir, termasuk monograf klasik karya Cayeux (1929) dan Hadding (1929) serta karya-karya tulis yang relatif baru (misalnya karya Pettijohn dkk, 1972). Selain itu, perlu pula dikaji hasil penelitian petrografi yang komprehensif terhadap batupasir di daerah tertentu atau dalam formasi tertentu, misalnya karya tulis klasik Krynine (1940) mengenai Third Bradford Sand (Devon) di Pennsylvania. Sebuah daftar mengenai makalah seperti itu disajikan oleh Pettjohn dkk (1972). Sebagian dari makalah itu juga akan disitir pada sub bab ini.
7.5.1 Feldspathic sandstone dan Arkose
7.5.1.1 Definisi-Definisi
Istilah feldspathic sandstone digunakan untuk menamakan batupasir dimana felspar merupakan detritus penyusun yang penting, biasanya cukup melimpah untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Istilah arkose, di lain pihak, adalah suatu kategori khusus dari feldspathic sandstone. Arkose merupakan istilah lama yang asal-usulnya tidak diketahui secara pasti; orang yang pertama-tama memakai istilah arkose adalah Brogniart (Oriel, 1949). Brogniart (1826) menulis makalah yang pertama-tama membahas tentang arkose dan kebenaan geologinya. Pengertian arkose relatif tidak banyak mengalami perubahan sejak dimunculkan pertama kali hampir dua abad yang lalu. Arkose umumnya berbutir kasar dan disusun oleh partikel menyudut, terutama kuarsa dan felspar, serta diasumsikan berasal dari granit atau batuan yang berkomposisi granitik. Kuarsa biasanya berperan sebagai material dominan dalam arkose, meskipun dalam arkose tertentu felspar memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibanding kuarsa. Material lain penyusun arkose memiliki kelimpahan yang lebih rendah dibanding kuarsa dan felspar.
7.5.1.2 Arkose
Hingga dewasa ini para ahli belum sepakat untuk menentukan berapa jumlah felspar minimum yang harus dimiliki oleh suatu batupasir agar batupasir itu masih dapat dinamakan arkose. Allen (1936) menempatkan limit bawah pada angka 25%; Krynine (1940) menempatkan limit bawah pada angka 30%, namun kemudian (Krynine, 1948) diubah menjadi 25%. Pettijohn (1949) menyetujui limit bawah diletakkan pada angka 25% dan mengusulkan agar istilah feldspathic sandstone digunakan secara terbatas untuk menamakan batupasir yang mengandung felspar 10–25% dari semua material detritus yang ada didalamnya. Istilah subarkose dewasa ini digunakan untuk menamakan apa yang dulu disebut sebagai feldspathic sandstone oleh Pettjohn (1949). Arkose didefinisikan ulang oleh Pettijohn (1954) untuk menamakan batupasir yang mengandung 25% atau lebih material labil (felspar dan fragmen batuan), dimana 50% atau lebih dari material labil itu berupa felspar. Dengan merujuk pada definisi ini, arkose dapat mengandung felspar paling tidak 12,5%.
Definisi arkose yang dikemukakan di atas gagal untuk membedakan arkose yang sebenarnya dari feldspathic graywacke karena sebagian feldspathic graywacke mengandung felspar > 25%. Menurut definisinya, graywacke mengandung matriks dalam jumlah yang relatif banyak, sedangkan arkose mengandung semen (biasanya kalsit). Walau demikian, sebagian arkose juga mengandung lempung diantara parttikel-partikel penyusun rangka. Bagaimana kita dapat membedakan arkose seperti itu dari feldspathic sandstone? Secara umum, arkose memang berasal dari hasil disintegrasi batuan granitik yang kaya akan K-felspar. Di lain pihak, felspar yang biasa mencirikan graywacke adalah Na-felspar. Berbeda dengan arkose, graywacke juga kaya akan berbagai varietas fragmen batuan yang asal-usulnya beragam. Secara umum, matriks graywacke merupakan material kloritik, sedangkan lempung dalam arkosic wacke cenderung berupa lempung kaolinitik dan umumnya berwarna merah karena adanya pigmen besi. Perbedaan komposisi itu secara umum berasosiasi dengan modus keterdapatan yang berbeda serta dengan susunan internal atau struktur yang juga berbeda. Hubungan antara beberapa tipe pasir tersebut di atas dilukiskan secara diagramatis pada gambar 7-5.
7.5.1.3 Kemas dan Komposisi
Arkose umumnya berbutir kasar serta terutama disusun oleh kuarsa dan felspar. Batuan ini biasanya berwarna merah muda atau kemerahan. Warna itu muncul karena pengaruh felspar yang ada didalamnya atau, dalam beberapa kasus, karena adanya matriks lempung merah. Sebagian arkose berasal dari batuan granitik atau gneisik yang mengandung felspar abu-abu atau putih sehingga cenderung berwarna abu-abu atau putih, kecuali apabila didalamnya terdapat material pengandung besi.
Mineral utama penyusun arkose adalah kuarsa, meskipun kadang-kadang felspar dapat berperan sebagai material dominan. Karena cenderung kasar, partikel kuarsa penyusun arkose cenderung berupa kuarsa polikristalin. Sebagian partikel penyusun arkose berupa granul komposit yang disusun oleh kuarsa dan felspar. Partikel penyusun arkose umumnya tidak membundar. Dengan beberapa pengecualian, felspar penyusun arkose berupa mikroklin. Felspar dalam arkose bervariasi mulai dari felspar segar hingga felspar lapuk (terkaolinisasi), atau merupakan felspar yang terlapukkan sebagian. Dalam arkose yang tersemenkan oleh kalsit, felspar penyusunnya dapat memperlihatkan gejala replacement, mulai dari sekedar korosi pada sisi partikel felspar hingga replacement total. Dalam arkose lain, felspar memperlihatkan regenerasi. Maksudnya, felspar dapat memperlihatkan gejala overgrowth, dimana material overgrowth itu jernih dan tidak memperlihatkan perkembaran. Mika berbutir kasar, baik yang berupa muskovit maupun biotit (dan biotit yang terkloritisasikan), merupakan material lain yang biasanya hadir dalam arkose. Mika cenderung sejajar dengan bidang perlapisan. Mika itu umumnya terlengkungkan atau terdeformasi akibat tekanan-tekanan yang diberikan oleh partikel lain yang ada disekitarnya. Biotit dapat mengalami kloritisasi atau terubah akibat oksidasi. Batupasir arkosik dengan provenansi campuran dapat mengandung fragmen batuan dan berubah secara berangsur menjadi lithic arenite berbutir kasar.
Kalsit merupakan material penyemen yang sering ditemukan dalam arkose muda. Sebagian arkose tua memperlihatkan secondary overgrowth pada felspar dan kuarsa yang ada didalamnya. Enlargement seperti itu, jika berlangsung lengkap, akan menghasilkan batuan yang terlitifikasi kuat dan dilihat selintas sangat mirip dengan gneis granit, terutama pada singkapan kecil. Sebagian arkose yang tidak mengandung semen, namun memiliki matriks kaolinitik, umumnya berwarna merah karena adanya pigmentasi oksida besi. Batuan seperti itu dinamakan batumerah (redstone) oleh Krynine (1950).
Komposisi kimia ruah arkose mencerminkan komposisi mineralnya. Dominansi kuarsa dan felspar dalam arkose terlihat dari tingginya kadar SiO2, Al2O3, dan K2O dalam batuan tersebut. Jika tersemenkan oleh kalsit, CaO dan CO2 akan menjadi senyawa dominan. Arkose biasanya dapat dibedakan dari batupasir kuarsa (ortokuarsit) karena kadar SiO2 dalam arkose lebih rendah, sedangkan kadar Al2O3 dan K2O dalam arkose lebih tinggi dibanding ortokuarsit. Arkose berbeda dari graywacke karena relatif kaya akan K2O, namun relatif miskin akan Na2O. Lihat gambar 7-6. Berbeda dengan arkose, graywacke cenderung kaya akan MgO. Kadar besi total dalam graywacke, khususnya FeO, mencerminkan matriksnya yang bersifat kloritik.
7.5.1.4 Varietas dan Cara Terdapatnya
Arkose muncul baik sebagai residuum yang mirip dengan selimut dan terletak di bagian dasar paket batuan sedimen yang menindih granite terrane atau sebagai endapan tebal berbentuk baji yang berselingan dengan konglomerat pengandung granit serta dengan batulanau dan serpih merah.
Basal arkose, karena tipis dan lapisannya relatif tidak berkesinambungan, jarang ditemukan dalam volume yang besar. Ke atas, basal arkose dapat berubah cepat menjadi pasir biasa yang miskin akan felspar. Salah satu contoh terbaik dari arkose adalah bagian bawah Lamotte Sandstone (Kambrium) di daerah Ozark, Missouri, dimana formasi itu terletak di atas granit Prakambrium (Ojakangas, 1963). Basal arkose merupakan residuum yang sedikit terrombakkan. Mundurnya laut ke arah darat di daerah batuan granitik menyebabkan terombakkannya arkose yang semula menyelimuti batuan granit itu. Perombakan dan penghilangan bagian halus yang meluruh menyebabkan tersisanya residu felspatik yang, apabila terkonsolidasi, akan disebut arkose atau subarkose, tergantung kadar felspar yang terkandung didalamnya. Material seperti itu memiliki penyebaran yang terbatas, yakni hanya pada bagian bawah formasi atau pada baji perselingan granite wash di dekat dasar atau berasal dari perbukitan granit yang terkubur. Pada beberapa kasus, residuum itu demikian sedikit terombakkan dan sedikit terdekomposisi sehingga, ketika terlifikasi, endapannya sangat mirip dengan granit. Endapan seperti itu biasa disebut recomposed granite atau reconstitute granite. Batuan seperti itu dapat dikenal secara keliru dalam singkapan kecil, dalam keratan pengeboran, atau dalam inti bor. Pada inti bor, sukar bagi kita untuk mengetahui apakah kita telah mencapai “basement” granitik atau apakah kita baru menembus suatu lidah granite wash. Dalam singkapan sekalipun, terutama dalam beberapa Precambrian terrane dimana batuan-batuan welded akibat metamorfisme, kontroversi dapat berkembang berkaitan dengan meta-arkose: apakah batuan itu merupakan sedimen arkosik, granit, atau sedimen yang mengalami granitisasi. Kontak antara granit dengan arkose yang merupakan residunya mungkin berangsur dan, jika material yang di atas itu benar-benar material sedimenter, maka kontak itu disebut gradational unconformity. Salah satu contoh yang baik dari gradational unconformity adalah kontak antara arkose Arkean dengan granit di Danau Saganaga, perbatasan Ontario-Minnesota. Kontak itu telah dibahas oleh Grant (Winchell dkk, 1899) dan Clements (1903).
Kriteria untuk membedakan granit yang sebenarnya dengan recomposed granite cukup banyak, namun umumnya sukar untuk diterapkan. Granit yang sebenarnya dapat memperlihatkan gnessic foliation samar yang tidak akan hadir jika terjadi disintegrasi lengkap serta hanya mengalami sedikit perombakan. Granit yang sebenarnya juga terpotong oleh aplit dan korok komplementer lain. Recomposed granite, jika kita mencoba melihatnya dalam keseluruhan singkapan, biasanya mengandung beberapa fragmen atau kerikil granit serta gejala perlapisan yang samar. Sifat dari recomposed granite itu jauh berbeda dengan khuluk granit yang berbutir rata atau dengan tekstur porfiritik dari beberapa batuan intrusi. Arkose yang mengalami sedikit atau tidak mengalami transportasi—residual arkose—pada dasarnya tidak terpilah dan biasanya memiliki matriks yang kaya akan lempung, umumnya berwarna merah, dengan kelimpahan ≥ 20%. Istilah redstone digunakan untuk menamakan arkosic wacke tersebut (Krynine, 1950; Hubert, 1960). Batuan yang telah mengalami rekomposisi memiliki prosentase kuarsa yang lebih tinggi dibanding granit. Sedikit pembundaran felspar (felspar ini hendaknya tidak tertukar dengan resorbed phenocryst) juga dapat hadir didalamnya. Keratan pengeboran hanya dapat menawarkan kriteria yang relatif sedikit, meskipun sedikit pembundaran dan melimpahnya kuarsa yang menjadi ciri khas dari sedimen mungkin merupakan kriteria yang paling bermanfaat.
Arkose juga muncul sebagai endapan yang berkaitan dengan pengangkatan tubuh granit. Arkose yang berkaitan dengan pengangkatan dan denudasi pluton granit itu membentuk endapan berbentuk baji yang tebal, biasanya berbutir kasar, dan umumnya konglomeratan. Contoh-contoh yang baik dari tipe arkose itu adalah New Haven arkose, Portland arkose, dan arkose lain yang termasuk ke dalam Newark Series (Trias) di Connecticut dan negara-negara bagian yang terletak di bagian timur Amerika Serikat (Krynine, 1950); endapan arkosik dalam Lyons formation dan Fountain formation (Karbon Awal) di Fort Range, Colorado (Hubert, 1960); Old Red Sandstone di Skotlandia (Mackie, 1948); serta beberapa bagian Molassa Tersier di bagian selatan Jerman dan Swiss (Gasser, 1968). Arkose pada beberapa sabuk mobil bersifat anomali karena felspar yang ada didalamnya merupakan Na-felspar, bukan K-felspar. Gejala seperti itu ditemukan dalam beberapa arkose Arkean (Walker & Pettijohn, 1971) serta Swauk Arkose (Paleosen) di Washington (Foster, 1960). Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak contoh-contoh endapan arkosik dengan tipe dan umur yang beragam dipersilahkan untuk menelaah karya tulis klasik yang disusun oleh Barton (1916).
Wilayah perisai secara umum dicirikan oleh endapan granitik sehingga memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil arkose. Arkose yang agaknya berkaitan dengan wilayah perisai adalah Jotnian sandstone (Prakambrium) di Finlandia (Simonen & Kuovo, 1955) dan Swedia (Gorbatscher & Klint, 1961); Sparagmites di Norwegia dan Swedia (Hadding, 1929), pasir Kapur awal (pra-Aptian) di bagian barat Venezuela yang berasal dari Guayana Shield; Kazan Formation (Prakambrium) di Northwest Territories (Donaldson, 1967); serta bagian bawah Lorrain Quartzite (Huronian) di Ontario (Hadley, 1968).
7.5.1.5 Asal-Usul dan Kebenaan Geologi
Konfigurasi lapangan dan komposisi mineral dengan jelas memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara arkose dengan provenansi granitik. Dengan demikian, pasir arkosik tersebar secara terbatas pada cekungan lokal atau pada daerah yang detritusnya berasal dari bongkah batuan granitik yang terangkat dan terdenudasi atau di sekitar perisai granitik. Secara petrografi, cekungan penyaliran besar menghasilkan endapan yang beragam dan tidak akan menghasilkan pasir arkosik. Meskipun agak felspathic, namun pasir dalam sungai-sungai besar mungkin bukan berupa arkose, melainkan lithic sand. Dengan demikian, arkose memiliki tempat dan waktu yang terbatas dalam rekaman geologi.
Walau demikian, pasir yang kaya akan kuarsa (yakni batupasir kuarsa) juga berasal dari provenansi granitik. Sebenarnya, apabila ditelusuri, semua pasir kuarsa berasal dari batuan pluton yang banyak mengandung kuarsa. Batuan seperti itu merupa-kan “granit” dalam pengertian luas. Jadi, mengapa sebagian pasir sangat kaya akan felspar, sedangkan pasir lain tidak?
Kebenaan felspar detritus telah menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan para ahli. Kehadiran felspar dalam jumlah besar pada beberapa batupasir (arkose) telah mendorong munculnya teori yang menyatakan bahwa kondisi iklim tertentu, yang menyebabkan tertahannya dekomposisi felspar, diperlukan untuk memungkinkan selamatnya dan terakumulasinya felspar dalam sedimen (Mackie, 1899). Karena itu, pembentukan arkose dipostulasikan memerlukan iklim yang sangat kering (yang mengimplikasikan tidak adanya air sedemikian rupa sehingga peluruhan kimia tidak berlangsung baik) atau iklim sangat dingin (yang mengimplikasikan tertahannya aksi kimia). Data yang cukup banyak dewasa ini memungkinkan disenyempurnakannya “teori iklim” itu. Krynine (1935) mengamati pembentukan arkose di bawah kondisi tropis yang lembab, dengan temperatur rata-rata 26oC dan curah hujan tahunan rata-rata 300 cm. Hasilnya menunjukkan bahwa felspar tidak saja terakumulasi dalam sedimen di bawah kondisi sepertii tu, namun pemelajaran yang kritis terhadap endapan feldspathic purba menghasilkan banyak bukti bahwa banyak diantara endapan itu buikan merupakan produk iklim yang ekstrim. Reed (1928), misalnya saja, mencatat bahwa batupasir Eosen di California, yang mengandung hampir 50% felspar, mengandung flora yang hanya dapat hidup di bawah kondisi hangat-lembab. Catahoula Sandstone di Texas (Eosen?), mengandung flora pesisir tropis meskipun batuan itu mengandung felspar hampir 50% (Goldman, 1915). Sebagaimana dikemukakan oleh Barton (1916), batupasir arkosik yang terbentuk di bawah kondisi lembab mengandung felspar yang tidak atau hanya sedikit terlapukkan. Campuran felspar segar dengan felspar yang sedikit terlapukkan atau terubah dalam beberapa sedimen mungkin dapat diterangkan sebagai produk torrential erosion pada daerah tinggi yang dialasi oleh batuan pengandung felspar di bawah kondisi iklim hangat. Arkose yang terbentuk di bawah kondisi iklim yang ekstrim tidak atau hanya akan mengandung sedikit felspar yang lapuk.
Jika kandungan felspar tidak bergantung pada iklim, lalu apa manfaat dari pengetahuan mengenai kandungan felspar itu? Pelapukan felspar memerlukan tidak saja iklim yang sesuai, namun juga waktu yang relatif panjang. Intensitas proses peluruhan dikontrol oleh iklim, sedangkan lamanya proses-proses itu berlangsung ditentukan oleh relief. Daerah berelief tinggi mengalami erosi yang relatif cepat sedemikian rupa sehingga felspar di daerah seperti itu dapat terhindar dari penghancuran. Felspar yang tidak terhancurkan itu kemudian masuk ke dalam cekungan pengendapan. Jika reliefnya rendah, laju erosi juga rendah dan, jika iklimnya sesuai, felspar akan terdekomposisi seluruhnya. Dengan demikian, kehadiran atau ketidakhadiran felspar merupakan hasil kesetimbangan antara laju dekomposisi dengan laju erosi. Jadi, arkose merupakan indeks dari ekstrimitas iklim dan aktivitas tektonik. Apakah sekumpulan felspar lebih mencerminkan kondisi iklim atau kondisi tektonik, hal itu harus dikaji lebih mendalam dengan menggunakan kriteria lain yang lebih dari sekedar kehadiran atau ketidakhadiran felspar.