A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan suatu masyarakat dan bangsa tidak lepas kaitannya dengan pendidikan.Pendidikan mencetak generasi yang intelektual dan kritis terhadap permasalahan yang ada. Sehingga semakin baik pendidikan suatu Negara maka bukan tidak mungkin kemajuan suatu bangsa itu akan mudah tercapai. Pendidikan adalah fenomena fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Kita dapat mengatakan, bahwa di mana ada kehidupan manusia, disitu juga pasti ada pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting manusia selain sandang, pangan, papan dan kesehatan. Pendidikan merupakan usaha sadar dan teratur secara sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat serta tabiat yang sesuai dengan cita-cita pendidikan. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak, dalam pertumbuhan jasmani maupun rohani untuk mencapai tingkat dewasa dan pandangan sosiologi melihat pendidikan dari aspek sosial sehingga diartikan sebagai usaha pewarisan generasi ke generasi berikutnya (Soekirno Dkk, 2000: 28)
Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan aspek-aspek kelakuan lainya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.(S. Nasution, 1994:10-11)
Pendidikan sebagai fenomena universal, merupakan sebuah keharusan bagi manusia , karena disamping pendidikan sebagai gejala sekalipun demikian pendidikan merupakan media memanusiakan manusia itu sendiri. Menurut. M.J. Langeveld dalam Dr Kartini Kartono (1955) pendidikan merupakan upaya manusia dewasa, membimbing manusia yang belum dewasa kepada kedewasaan. Disamping itu sebagian orang berpendapat bahwa pendidikan adalah segala sesuatu bersamaan dengan pertumbuhan, pendidikan tidak mempunyai tujuan akhir dibalik dirinya. Sedangkan menurut Encyclopedia America dalam Dr. Kartini Kartono (1978), pendidikan merupakan sembarang proses yang dipakai individu untuk memperoleh pengetahuan, wawasan, mengembngkan sikap-sikap ataupun ketrampilan-ketrampilan. Sejarah peradaban umat manusia membuktikan bahwa dunia akademik selalu memainkan peranan sentral dalam kemajuan suatu bangsa. Semakin baik pendidikan suatu bangsa maka kemajuan suatau bangsa semakin mudah tercapai. Dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini pendidikan bangsa kita tidak mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Hal ini ditunjukan dengan penurunan mutu serta disorientasi pada pendidikan kita dimana peserta didik kurang mendapatkan ketrampilan yang lebih signifikan. Tantangan ilmu pendidikan dalam usaha mengembangkan dan mengokohkan dirinya semakin nampak urgensinya, mengingat semakin tidak menentunya dampak negatif berbagai usaha pembaharuan pendidikan atau ilmu yang berpangkal pada ilmu-ilmu tentang pendidikan atau ilmu kependidikan yang bersifat parsial daripada menggunakan kaca mata pendidikan secara utuh. Di negara sedang berkembang (NSB) pendidikan dapat memiliki peranan yang sangat besar dalam kenaikan pendapatan nasional dan kebahagiaan manusia, hal ini dapat tercapai apabila dalam program-program jangka panjang untuk pembangunan pendidikan berimbang dengan sektor pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi dapat dipecahkan dengan pemusatan investasi pada wilayah yang peka tersebut. Dalam perkembangan kebudayaan manusia, timbulah tuntutan adanya pendidikan yang terselenggara secara baik, lebih teratur dengan fasilitas penunjang yang memadai, didasarkan atas pemikiran yang matang dan sistematik. Namun guna mewujudkan ide atau gagasan tersebut tentunya diperlukan anggaran/biaya yang sangat besar, dimana masalah anggaran merupakan kewajiban negara untuk mencukupinya, hal ini sesuai dengan amanat pembukaan undang-undang dasar 1945 bahwa salah satu kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian setiap warga negara berhak atas pendidikan, pernyataan ini diperkuat dengan penjabaran pasal 31 UUD 1945 ayat 1 bahwa:” Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan, menggemban tugas dalam penyelenggaraan pendidikan, hal ini sesuai dengan tujuan negara yang termaktub dalam Undang-Undang 1945 yang salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan suatu bangsa. Demikian juga dalam hal penyelenggaraan proses belajar mengajar bahwasanya anggaran guna penyelenggaraan kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab negara. Pada UUD 1945 dijelaskan pula bahwa untuk menunaikan kewajibannya menjamin pendidikan kepada setiap warga negara, secara tegas Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen ke-4) mensyaratkan pengalokasian 20% anggaran negara/daerah (APBN/APBD) untuk proses pendidikan. Prosentase itupun murni untuk pelayanan publik/masyarakat, tidak termasuk keperluan dinas. Kebijakan pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009 meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan lebih berkualitas melalui pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarkat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik atau masyarakat penyandang cacat. Walaupun sebelumnya telah ada upaya dari pemerintah khususnya pada masa pemerintahan presiden soeharto dengan program pemberantasan buta huruf melalui kejar Paket A untuk anak usia setara SD, kejar Paket B untuk anak usia setara SMP serta kejar Paket C untuk anak usia setara SMA. Namun demikian program itupun kurang dapat berjalan secara maksimal karena berbagai factor dan kondisi. Sehingga pada awal tahun 1994 pemerintah kembali mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, akan tetapi sampai dengan tahun 2003 masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan sebagimana diharapkan. Sebagiamana dipaparkan dalam temuan dinas pendidikan nasional bahwa jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum pernah sekolah masih sekitar 693,7 ribu orang atau sekitar 1,7 % sementara itu yang tidak bersekolah lagi baik karena putus sekolah maupun karena tidak melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah sekitar 2,7 juta orang atau sekitar 6,7 % dari total penduduk usia 7-15 tahun. Secara komulatif jumlah siswa putus sekolah dalam kurun waktu 2 tahun terakhir mencapai 1,39 juta untuk jenjang SD/MI, 535,7 ribu untuk jenjang SMP/MTs dan 352, 6 ribu untuk jenjang SMA/ SMK/MA. Untuk itu, sejak tahun 1998, pemerintah telah melakukan berbagai langkah antisipasi dalam mencegah meluasnya dampak krisis moneter khususnya untuk kalangan keluarga miskin dalam mengakses pendidikan yaitu dengan kebijakan Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) bidang pendidikan, pemerintah memberikan beasiswa secara besar-besaran kepada siswa dari kalangan keluaraga kurang mampu yaitu sebanyak 1,8 juta siswa SD/MI, 1,65 juta siswa SMP/MTs dan 500 ribu siswa SMA/SMK/MA. Kemudian program ini ditingkatkan jumlah penerimanya sejak tahun 2001 dengan tambahan sumber biaya dari Program Pengurangan Subsidi BBM(PKPS-BBM). Meskipun program JPS telah berakhir pada tahun 2003 , pemerintah tetap melanjutkan pemberian beasiswa tersebut melalui PKPS-BBM. Kebijakan pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai tanggal 1 Maret 2005 dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin. Hal ini lebih lanjut akan menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Dasar Sembilan Tahun karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan akan biaya pendidikan. Oleh karena itu program PKPS-BBM bidang pendidikan perlu dilanjutkan pelaksanaanya.
Undang-undang Sisdiknas mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat). Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak pada tahun 2005, sejalan dengan penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, pemerintah memprogramkan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB negeri /swasta dan Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non islam setara SD dan SMP yang menyelenggarakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang selanjutnya disebut sekolah. Dengan adanya program Bantuan Operasional Sekolah ini peserta didik di tingkat pendidikan dasar akan dibebaskan dari beban biaya operasional sekolah atau dengan kata lain tidak dipungut biaya. Asumsi sebagian besar masyarakat bahwa bantuan operasional sekolah (BOS) berarti sekolah gratis, memang tidak selalu salah. Dengan kisaran angka BOS sebesar Rp 20.000,00 per murid per bulan untuk siswa SD dan Rp 30.000,00 per murid per bulan untuk SLTP yang dihitung dari hasil perhitungan biaya satuan (unit cost) rata-rata yang ditanggung oleh masyarakat/orang tua, sehingga kalau biaya yang dibebankan pada orang tua ini ”diambil alih “ oleh pemerintah melalui penyediaan dana BOS, mestinya secara logika masyarakat sudah tidak perlu membayar lagi. Namun besarnya kebutuhan sekolah untuk melayani satu murid tidak sama dengan biaya yang ditanggung masyarakat. Untuk SD, kisarannya bisa mencapai Rp 50.000,00 - Rp 100.000,00 per murid per bulan yang dihitung dari penyedia layanan atau tingkat sekolah. Sebelum Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan ini digulirkan oleh pemerintah, pada tahun-tahun sebelumnya telah terdapat paket bantuan dana pendidikan berupa Dana operasional sekolah yang bersumber dari anggaran pemerintah (pusat, Propinsi dan kabupaten/kota) dan orang tua murid. Dana dari pemerintah ini berupa dana operasional dan pemeliharaan (DOP) sekolah, subsidi pembiayaan penyelenggaraan atau sumbangan biaya penyelenggaraan pendidikan (SPP/SBPP) dan dana bantuan operasional (DBO). Namun bantuan ini tidak setiap tahun dan setiap sekolah menerima ketiga jenis dana operasional tersebut sekaligus. Kontribusi rutin dana pendidikan lebih tepatnya datang dari orang tua murid dalam bentuk dana/iuran Badan Pembantu Pengelolaan Pendidikan (BP3).
Melihat realitas tersebut, pemerintah mencoba meminimalisir berbagai bentuk kesenjangan yang mungkin terjadi dengan berusaha merealisasikan pengalokasian dana APBN sebesar 20% untuk meningkatkan kualitas pendidikan .Selain itu, kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk dialihkan pengalokasianya dalam bentuk kompensasipun dilaksanakan. Salah satunya alokasi pada sektor pendidikan dengan pengadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), program ini merupakan konsekuensi yang menjadi tanggung jawab pemerintah atas pengurangan subsidi BBM yang tujuannya untuk secara bertahap membebaskan sebagian biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua siswa. Pennyaluran dana BOS tersebut dilaksanakan oleh Tim Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) tingkat propinsi melalui kantor pos atau bank pemerintah. Untuk penyaluran dana tersebut Menteri Pendidikan Nasional seringkali melakukan inspeksi mendadak (Sidak) guna pengecekan disekolah-sekolah, sebagaimana dilakukan di Surabaya serta peninjauan di beberapa Propinsi. Bambang Sudibyo (Menteri Pendidikan Nasional) menyatakan untuk saat ini penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) relatif aman dari aneka bentuk penyimpangan dan tidak ditemukan hal-hal mencurigakan dilapangan, beliau hanya menemukan beberapa sekolah yang belum memiliki rekening. Namun, menurut Fajar Kurnianto (2003:1-3) pernyataan Mendiknas tersebut belum tentu benar karena justru dana BOS sangat rawan dengan penyimpangan. Fajar berpendapat bahwa :”(1) Jumlah sekolah yang ia tinjau langsung tidak menjamin penyimpangan dana BOS itu diselewengkan pada sekolah-sekolah lain. Karena institusi-institusi pendidikan, terkhusus sekolah-sekolah bukan institusi yang jauh dari praktik-praktik penyelewengan dana. Sama halnya dengan yang lain, institusi ini berpotensi menilap dana. Terutama, jika dana yang diterimanya lumayan besar, (2) Adanya beberapa sekolah yang ternyata belum memiliki rekening, bakal menimbulkan kekhawatiran akan masuknya dana BOS ke rekening kepala-kepala sekolah. Hal ini sangat berbahaya, apabila tidak ada pemantauan secara cermat oleh semua kalangan, khususnya pemerintah. Kepala sekolah adalah sentral sekolah, ia berpotensi melakukan tindakan apapun atas nama jabatan itu, demi keuntungan pribadi. Aliran dana ke rekening kepala sekolah patut menjadi perhatian serius guna menyelamatkan penyaluran dana BOS hingga aman sampai ke tangan siswa,(3) Ada sekolah-sekolah yang berniat mengembalikan dana BOS. Alasan yang dikemukakan antara lain karena sekolah-sekolah tersebut merasa mampu mencukup kebutuhannya sendiri dari dana wali siswa. Sehingga dana BOS tersebut dianggap salah sasaran.
Pernyataan Menteri Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa penyaluran dana BOS relatif masih aman dari aneka bentuk penyimpangan. Pernyataan tersebut ternyata tidak sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan. Hal ini terbukti dengan berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat seperti yang terjadi pada:
Dinas Pendidikan Sumatra Utara menyatakan bahwa sudah 90% dana BOS untuk tingkat SD dan SLTP telah dicairkan. Namun banyak Kepala Sekolah di Sumut terpaksa menalangi biaya operasional sekolah karena dana BOS tersebut ternyata belum turun. Seperti halnya yang dikeluhkan oleh Kepala SD Negeri Sambirejo Timur, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang , “Pangkat Sembiring” mengatakan hingga saat ini sekolah belim menerima dana BOS. Sekolahnya memang belum membuat RAPBS sebagi syarat untuk mencairkan dana BOS. Ia bingung membuat RAPBS sebab belum jelas ketentuan alokasi penggunaan dana BOS. Katanya tidak boleh digunakan untuk membeli mebel, tepi boleh untuk perbaikan fisik, ini sangat rancu. (Bambang Suhari 2002:1)
Program BOS diamanatkan pemerintah guna mewujudkan pendidikan murah bahkan gratis. Namun dalam implementasinya pemerintah masih terlihat kurang serius, hal ini tergambar dari petunjuk pelaksanaan yang di edarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (depdiknas) dan Departemen Agama (DEPAG) masih terkesan membuka peluang atau kesempatan bagi sekolah untuk tetap melakukan pungutan terhadap orang tua siswa. Melihat kondisi sekolah-sekolah yang masih seperti ini, potensi menguapnya dana BOS semakin besar, setidaknya ada dua fase dalam program dana BOS yang memungkinkan terjadinya praktek korupsi, yaitu (1) Saat penyaluran dana BOS dilakukan secara langsung ke sekolah, model penyaluran seperti ini memungkinkan adanya praktek korupsi dengan dalih meminta fee atau”uang semir” terutama dari sekolah untuk dinas atau juga sekolah memberikan uang sukarela sebagai investasi kepada dinas agar sekolah tersebut terus dipertimbangkan menerima dana proyek atau program lainnya, (2) Saat penggunaan dana BOS di sekolah. Hal senada juga dikemukakan oleh Indonesia Corruption Watch :
“Bahwa praktek korupsi di sekolah sangat mungkin terjadi. Indra berpendapat kekuasaan Kepala Sekolah yang besar, tidak terkontrol komite sekolah , serta tidak adanya rekening khusus sekolah memungkinkan terjadinya praktek korupsi terhadap kegiatan akademis dan finansial yang berkenaan dengan penggunaan dana BOS, dana BOS yang masuk ke rekening Kepala Sekolah bias saja di salah gunakan untuk kepentingan pribadi.” (Indra Djati Sidi, 2005:11)
Fenomena inilah yang menarik penulis untuk meneliti tentang Implementasi Penyaluran Dana BOS di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta terutama terkait pelaksanaanya di sekolah baik terkait pemanfaatannya maupun ketepatan sasaran. Selain itu, terkait dengan pelaksanaan dana BOS itu sendiri peneliti tertarik apakah dana BOS sudah tersalurkan keseluruhan atau masih terdapat sekolah yang bersikukuh tidak mau menerima paket bantuan tersebut.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan penyaluran Bantuan Operasional Sekolah ole Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta ?
- Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penyaluran Bantuan Operasional Sekolah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan penyaluran Bantuan Operasional Sekolah pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta.
2. Mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi penyaluran Bantuan Operasional Sekolah disejumlah sekolah di Kota Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi bagi masyarakat tentang pelaksanaan penyaluran dana Bantuan Operasional di kota Surakarta agar masyarakat semakin tahu tentang dana BOS sehingga nantinya masyarakat di harapkan juga dapat berperan serta dalam mengawasai pelaksanaan dana BOS di sekolah.
b. Bagi peneliti sebagai media menambah wawasan pengetahuan, meningkatkan ketrampilan dalam melakukan penelitian serta mengungkap suatu permasalahan.
E. Kerangka Teori dan Kerangka Berfikir
- Kerangka Teori
- Implementasi Program
Kebijakan dalam dunia pendidikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia haruslah dituangkan dalam bentuk program. Untuk mewujudkan program tersebut perlu adanya pelaksanaan sehingga pelaksanaan aatau implementasi program merupakan suatu hal yang penting dan mendasar dalam pembangunan.
Implementasi merupakan tahap yang paling penting dalam sebuah kebijakanyang disusun oleh pemerintah (sebagai penyusun kebijakan). Pemerintah mengeluarkan suatu kebijkan tentunya berangkat dari adanya suatu permasalahan dalam masyarakat yang memerlukan sauatu pemecahan. Dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut, maka harus diimplementasikan. Jika tidak, maka kebijakan tersebut hanya akan menjadi impian saja sehingga tujuan yang di cita-citakan dalam kebijakan tersebut tidak akan pernah terwujud. Semua yang telah dirumuskan dalam kebijakan tersebut tidak akan tercapai selama tidak dilaksanakan kebijkan tadi. Hal ini senada dengan apa yang di katakana Udoji (dalam solichin Abdul Wahab, 1991:45) yang mengatakan bahwa:
“the execution of policies is as important if not more important than policy-making. Policies will remain dreams or blue prints in file jackets unless they are implemented”
(Pelaksanaan kebijkan adalah sesuatu yang penting , bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan- kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan)
Dari pendapat diatas sudah semakin jelas bahwa implementasi (program) merupakan sesuatu hal yang paling mendasar dan penting untuk dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan yang dalam istilah administrasi disebut sebagai implementasi merupakan proses lanjut dari formulasi dan pengesahan kebijakan.
Sedangkan menurut Daniel A Mazmanian dan Paul Sabtier (dalam Solichin Abdul WAHAB, 1991: 51) implementasi diartikan sebagai berikut: “…memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan- kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian” (Solichin Abdul Wahab, 1991:51)
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi merupakan proses yang menyangkut segala hal baik berupa kejadian-kejadian maupun kegiatan-kegiatan yang timbul setelah kebijaksanaan digariskan untuk menimbulkan akibat atau dampak kepada masyarakat. Fokus dari implementasi di atas adalah berlakunya kebijakan yang telah dirumuskan dengan memahaminya. Setelah perumusan tersebut, kemudian disahkan dan mejadi kebijakan negara yang mempunyai landasan hukum sehingga dapat dilaksanakan dan menghasilkan akibat yang diharapkan maupun tidak diharapkan, dimana dampak tersebut bisa bersifat positif dan negatif. Sedangkan menurut Pariatra westra dalam ensiklopedi administrasi dikatakan bahwa yang daimaksud implementasi adalah:
“Usaha-usaha yang dilaksanakan untuk melaksankan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dengan melengkapi segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa yang akan melaksanakan, dimana tempat pelaksanaaanya, kapan dimulai dan berakhirnya” (Pariatra westra, 1989:210)
Dari paparan diatas maka implementasi kebijakan dapat di simpulkan bahwa implementasi adalah Implementasi Kebijakan adalah sebuah proses untuk mendapatkan sumber daya tambahan sehingga dapat mengukur apa yang telah dikerjakan. Sedangkan secara umum implementasi program adalah suatu proses pelaksanaan program/kebijaksanaan yang dilakukan, baik oleh individu maupun oleh kelompok yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan.
Dalam prosesnya, implementasi kebijakan atau program dijalankan dengan mendasarkan pada beberapa model implementasi. Dengan model-model implementasi tersebut dapat menganalisis secara komprehensif tentang beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu program dan dapat memperlihatkan hubungan antar berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja dari proses implementasi. Terdapat beberapa model implementasi dalam studi implementasi, yaitu:
a. Model Van Meter dan Horn.
Menurut model ini, suatu kebijakan menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh pelaksana kebijakan. Kejelasan stándar dan sasaran tidak menjamin efektifnya implementasi jika tanpa diikuti adanya komunikasi antar organisasi serta pemahaman pelaksana terhadap kebijakan yang menjadi tanggung jawab mereka. Variabel yang ada adalah karakteristik organisasi, kondisi ekonomi, sosial, politik yang membentuk sikap pelaksana dan menentukan kinerja kebijakan. Dalam model ini terdapat enam faktor yang membentuk hubungan antara kebijakan dan pelaksana. Pertama, standar dan sasaran kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian stándar dan sasaran tersebut sehingga perumusan stándar dan sasaran harus lebih spesifik serta kongkrit. Kedua, sumber daya. Ketersediaan sumber daya baik berupa dana maupun insentif lain yang mendukung terwujudnya pelaksanaan kebijakan. Ketiga, komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan. Komunikasi di dalam organisasi adalah proses yang rumit dan sangat potensial terhadap terjadinya penyimpangan. Sehingga terciptanya komunikasi yang baik setidaknya memperlancar kegiatan penyampaian informasi yang akurat dan aktual. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap pemahaman para agen pelaksana terhadap implementasi kebijakan. Selain itu komunikasi yang baik akan memperlancar kegiatan organisasi. Keempat, karakteristik agen pelaksana yang terdiri dari kompetensi dan jumlah staff, rentang dan derajat pengendalian, dukungan politik yang dimiliki, kekuatan organisasi, derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, keterkaitan dengan pembuat kebijakan. Kelima, kondisi ekonomi, sosial dan politik. Variabel kelima ini merupakan implikasi dari perspektif sistematik, suatu kebijakan diterapkan pada suatu lingkungan dan lingkungan tersebut merupakan bagian dari sistem makro. Keenam, sikap pelaksana. Kelima variabel sebelumnya ditentukan oleh individu pelaksana, karena individu pelaksana merupakan motor penggerak terjadinya suatu proses kegiatan. Wujud respon individu pelaksana pada akhirnya akan menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan implementasi.