TEMPO Interaktif, Jakarta: Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan bahwa banyak orang pintar Indonesia yang mendapat gelar doktor dari luar negeri, yang kemudian memilih tinggal dan bekerja di Malaysia, Singapura atau Brunei. “Parahnya, mereka ini yang benar-benar jago-jago. Doktor-doktor lulusan Yale, Cranfield, Stanford, MIT dan lain-lain,” ujar Satryo ketika ditemui seusai acara Seminar Nasional Hasil Penelitian Perguruan Tinggi di Komplek Bidakara, Jakarta, Kamis (19/6) siang.
Menurut Satryo, mereka yang kabur ini semuanya adalah doktor bidang ilmu eksakta seperti teknik, fisika, computer dan sejenisnya. Data yang pada pihak Dikti, saat ini sekitar 20-an doktor Indonesia lulusan luar negeri telah “diculik” Malaysia. “Sisanya, sekitar 2-3 orang bekerja di Brunei dan sekitar lima orang bekerja di Singapura,” katanya.
Eksodus orang-orang jenius ini, menurut Satryo, disebabkan PTN tempat mereka bekerja sebelumnya tidak mampu memberikan renumerasi yang layak. “Guru besar (profesor) seperti saya hanya menerima Rp 2,5 juta per bulan. Sementara gaji mereka di Malaysia, kalau dikonversi ke rupiah, sekitar Rp 50 juta per bulan. Itu belum termasuk fasilitas perumahan dan pendidikan gratis untuk anak mereka,” katanya dengan senyum miris.
Selain alasan renumerasi, banyak dari mereka yang merasa membutuhkan situasi tempat kerja yang benar-benar membawa tantangan. Mereka, kata Satryo, ingin sekali agar ilmu yang mereka dapatkan benar-benar dapat didayagunakan secara optimal.
“Dan harus diakui, Malaysia dan Negara-negara lain mampu menghadirkan hal tersebut,” ujar Satryo. Salah satunya contohnya, adalah Malaysia saat ini telah mengembangkan Pusat Biotech Valley di Petaling Jaya, Kuala Lumpur, semacam Silicon Valley di Amerika Serikat.
Pihaknya, menurut Satryo, sebenarnya sudah mencoba habis-habisan untuk membujuk mereka tetap tinggal. Tetapi karena kebanyakan dari mereka sudah menyelesaikan ikatan dinas mengajar selama sembilan tahun, maka ia tidak punya kekuasaan untk menahan.
“Bahkan saat ini saya sudah menerima 20-an permohonan ijin dari doktor-doktor lain untuk bekerja di Malaysia. Bahkan perusahaan disana, sudah bersedia mengganti biaya kompensasi beassiwa pendidikan dan ikatan dinas yang sudah dibayar pemerintah,” katanya lagi-lagi dengan nada miris.
Padahal biaya yang telah dikeluarkan pihak penyedia dana di luar negeri (tempat belajar sebelumnya) dan pemerintah tidaklah sedikit. “Untuk satu tahun pendidikan doktor di luar negeri, mereka bisa menghabiskan biaya sekitar US $ 30 ribu,” ujar Satryo.
Satryo menilai, hal ini harus mendapat perhatian yang serius karena kalau ini dibiarkan, Indonesia akan kehilangan banyak SDM berkualitas yang notebene tidak mudah untuk menghasilkannya. “Sementara Malaysia yang akan ongkang-ongkang kaki menikmati kerja keras kita,” ujarnya.
Pihak Dikti sebenarnya hendak mengusulkan agar pemerintah melakukan langkah khusus dengan meluncurkan crash program untuk memperbaiki renumerasi mereka. “Banyak dari mereka yang bicara sama saya, asalkan digaji Rp 7 juta sebulan, mereka mau bekerja di sini,” kata Satryo. Ia mengusulkan dana yang diterima Dirjen Dikti yang hanya Rp 4 milliar pertahun, menjadi Rp 14 milliar pertahun. (Amal Ihsan-TNR)