Alkisah, ada seekor kucing dewasa yang sudah berkecukupan. Ia hendak menunaikan ibadah haji karena merasa ada sebuah kewajiban dan tentu untuk menyambut seruan Tuhan. Berangkatlah ia dengan semangat ketertundukan.
Setelah menunaikan segala macam rukunnya, pulanglahlah ke tempat tinggal semula. Setelahnya, lebih banyak berdzikir, tak lupa “mengenakan” aksesoris layaknya para pelaku haji. Dan di luaran, tampilan mendadak shaleh. Berhajinya seekor kucing itu terdengar sampai berbagai penjuru. Termasuk sampai terdengar pada sarang segerombolan tikus. Pemimpin tikus, sebagai yang dituakan, berinisiatif untuk berekonsiliasi dengan sang kucing.
“Wahai rakyat tikus semuanya, dengarlah, sang kucing telah berhaji, sudah saatnya kita berdamai dengannya.”
Salah satu rakyat tikus menjawab, “Tuanku, jangan, kucing tetap kucing, dia tetap akan memburu kita.”
“Apa salahnya kita mencoba menjalin komunikasi, siapa tahu ada peta jalan damai antara warga tikus dan kucing.”
Walaupun rakyat tikus amat gelisah dengan pendapat pemimpin tikus, tapi tetap memutuskan untuk berangkat menemui sang kucing.Berangkatlah ia dengan hati-berdebar- debar. Sesampainya di sarang kucing, pemimpin tikus mencoba tersenyum dan menyampaikan niat baiknya untuk berdamai. Awalnya, sang kucing diam saja. Semakin lama didiamkan, pemimpin tikus mulai gelisah.
Lalu, sang kucing memandangi sang tikus dengan tatapan beringas, lantas melompat, mencoba menerkam dan memangsa tikus. Untung sang tikus sudah siap sedia dan berhasil meloloskan diri dari terkaman sang kucing. Berlari dan terus berlari meninggalkannya. Sampai di sarang tikus, rakyat yang sejak awal khwatir bertanya,
“Bagaimana, tuanku, apakah perdamaian berhasil?
“Celaka, benar katamu, sang kucing tetap kucing, dia tetap akan memangsa kita.”
Renungan :
Kisah ini adalah sindiran bagi kita semuanya. Haji bagi umat Islam memang sebuah kewajiban untuk yang mampu. Kita pasti mempunyai niat untuk menunaikannya, alangkah bahagianya kita bisa pergi ke tanah suci.
Tapi, ada dimensi lain yang patut kita ingat. Haji bukanlah sebuah trend atau bahkan sebuah gaya hidup agar dipandang “wah”. Juga bukan melulu berdimensi ketuhanan semata. Ada dimensi lain yang perlu kita amalkan, yaitu dimensi sosial dengan menterjemahkan simbol-simbol haji yang telah dilaksanakan.
Salah satunya seperti dituturkan Ustadz Quraish Shihab, “pakaian biasa” ditanggalkan dan “pakaian ihram” dikenakan.
Artinya, menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan.Dengan berhaji, kita belajar menghargai sesama manusia, tidak melakukan lagi penghisapan atau penindasan terhadap manusia lain. Kita semua hakikatnya sama, miskin kaya, pejabat tinggi atau rakyat biasa.
Dan, kita juga perlu meninggalkan karakter-karakter jahat yang barangkali sudah melekat erat dalam diri sekian lamanya. Kalau setelah berhaji tetap punya karakter dan perilaku sama, maka sia-sialah semuanya.