Suatu hari Abdullah bin Umi Maktum menghadap kepada Rasulullah saw melaporkan keadaannya yang buta dan tidak ada orang yang menuntunnya untuk shalat berjama’ah di masjid. Padahal rumah ibnu Ummi Maktum dengan masjid lumayan jauh. Untuk itulah Ibnu Ummi maktum meminta keringanan untuk diizinkan tidak menunaikan shalat secara berjama’ah di masjid. Mendengar penuturan itu Rasulullah pun mengizinkannya. Namun kemudian ketika orang itu berpaling, Rasulullah saw memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat?” Dia menjawab: “Ya”. Maka beliau saw bersabda: “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas sangat jelas disebutkan bahwasannya Rasulullah saw tidak memberikan izin bagi orang yang buta tersebut untuk meninggalkan shalat secara berjama’ah. Alasannya sederhana, sebab ia masih mendengar panggilan adzan.
Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa dapat mendengar adzan adalah ukuran jarak rumahnya dari masjid. Jadi selama dia masih mendengar adzan, dia masih dianggap dekat dan tidak ada keringanan baginya.
Mungkin ada yang akan mengatakan, bahwa adzan jaman dahulu kan ndak pakai pengeras suara, jadi selama masih mendengar teriakan berarti masih dekat. Ya, memang demikian, tetapi coba kita bandingkan dengan orang di daerah yang masih alami, tidak banyak gedung tinggi, berapa jarak teriakan seseorang bisa didengar. Apalagi kalau adzan dikumandangkan dari tempat yang lebih tinggi, maka jarak dengar suara menjadi cukup jauh.
Ibnu Ummi Maktum ternyata bukan hanya mempersoalkan jarak, tetapi juga mempersoalkan kondisi perjalanan yang masih rawan. Dalam teks hadits yang lain tentang permintaan izin Abdullah bin Umi Maktum, ditambahkan penjelasan bahwa perjalanan antara masjid dengan rumahnya masih banyak binatang buas atau binatang berbahaya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Abdullah bin umi Maktum, bahwa ia mengatakan:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah ini masih banyak binatang-binatang buas dan binatang yang berbahaya. Maka Nabi saw bertanya: “Apakah engkau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya ‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!” (HR. Abu Dawud).
Di dalam hadis ini bukan hanya jarak yang jauh, tetapi medan yang berat dan berbahaya pun tidak menjadikan toleransi untuk meninggalkan shalat berjama’ah. Sedangkan sekarang, mungkin jangkauan mikropon sedikit lebih jauh dari adzan dengan suara non-mikropon, tetapi kondisi jalan sangat bagus, sudah dipaving, dibeton, atau aspal. Sementara di masa Rasulullah saw, Ibnu Ummi Maktum harus melewati semak-semak yang mungkin ada ular, atau binatang berbahaya lainnya. Meskipun demikian rasulullah tetap tidak mengizinkan Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat jama’ah.
Ibnu Khuzaimah menyebutkan hadits tersebut di dalam dua tempat yang berdekatan. Pertama diletakkan di bawah judul “Bab perintah bagi orang yang buta untuk mengikuti shalat jama’ah walaupun rumahnya jauh dari masjid, tidak ada penuntunnya yang mau menuntun ke masjid”, setelah itu beliau menambahkan komentar, “Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah adalah faridlah (wajib hukumnya) bukan fadlilah (keutamaan saja)”.
Yang kedua Ibnu Khuzaimah menyebutkan hadits ini dalam judul “Bab perintah bagi orang yang buta untuk menghadiri shalat jama’ah walaupun ia khawatir terhadap binatang-binatang berbisa/buas jika menghadiri jama’ah”.
Selain alasan jarak dan bahaya, telah masyhur di telinga kaum muslimin bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang shahabat yang buta. Tempat tingga jauh, medan berbahaya, buta, tidak memiliki keluarga untuk menuntun ke masjid, tetapi Rasulullah saw tetap memerintahkan shalat ke masjid. Jika orang yang buta saja tidak mendapatkan izin untuk meninggalkan shalat jama’ah, maka orang yang memiliki penglihatan normal lebih tidak diizinkan meninggalkan jama’ah.
Berdasarkan riwayat inilah Imam Al Khathabi berkata, “Hadits ini menjadi dalil bahwa menghadiri shalat jama’ah adalah wajib. Kalau saja shalat jama’ah itu hanya anjuran, maka yang lebih pantas untuk meninggalkannya adalah orang yang memiliki udzur dan kelemahan atau orang yang seperti Abdullah bin Umi Maktum.
Tetapi persoalan shalat berjama’ah saat ini sangat diacuhkan oleh kaum muslimin. Kita lihat kebanyakan masjid hanya terisi penuh ketika shalat jum’at. Padahal pada hari-hari biasa pun masyarakat yang beragama Islam juga ada di rumah. Lalu mengapa untuk shalat lima waktu enggan berjama’ah di masjid? Mengapa mereka lebih suka untuk shalat di rumah daripada shalat di masjid dengan berjama’ah.
Apakah hadis dari Ibnu Ummi Maktum kurang tegas? Apakah masih mencari dalil dari al-Qur’an? Kalau ya, sesungguhnya al-Qur’an pun telah memberikan isyarat kewajiban shalat berjama’ah di dalam firmanNya, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
Al-Baidhawi di dalam tafsirnya menjelaskan, makna ruku’lah beserta orang yang ruku’ maksudnya adalah, “Bersama jama’ah mereka”. Abu Bakar Al-Kisani berkata, “Ini adalah perintah untuk ruku’ bersama-sama dengan orang-orang yang ruku’, dan ini menunjukkan adanya perintah untuk menegakkan shalat berjama’ah. Sedangkan perintah yang mutlak menunjukkan wajibnya perkara tersebut”.
Senada dengan petunjuk rasulullah saw, al-Qur’an pun memerintahkan untuk tetap menjaga shalat berjama’ah meskipun di tengah peperangan, sebagaimana firman-Nya, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat untuk mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (An-Nisaa’: 102)
Kalau ketika dalam keadaan perang saha Allah memerintahkan untuk shalat berjama’ah, dengan shalat khauf, tentunya dalam keadaan aman lebih diwajibkan”. Kalau saja shalat berjama’ah tidak diwajibkan, tentu perang merupakan udzur yang sangat besar untuk meninggalkan shalat jama’ah.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya diperintahkannya shalat khauf bersama jama’ah dengan tata cara khusus yang membolehkan perkara-perkara yang pada asalnya dilarang tanpa udzur seperti tidak menghadap kiblat dan banyak bergerak -dimana perkara-perkara tersebut tidak boleh dilakukan jika tanpa udzur dengan kesepakatan para ulama-, atau meninggalkan imam sebelum salam menurut jumhur, demikian pula menyelisihi perbuatan imam seperti tetap berdirinya shaf belakang ketika imam ruku’ bersama shaf depan, jika musuh ada di hadapannya. Para ulama berkata: “Perkara-perkara tersebut akan membatalkan shalat jika dilakukan tanpa udzur. Kalau saja shalat jama’ah tidak diwajibkan namun hanya merupakan anjuran, niscaya perbuatan-perbuatan di atas membatalkan shalat, karena meninggalkan sesuatu yang wajib hanya karena sesuatu yang sunnah. Padahal, sangat mungkin shalat dilakukan oleh mereka secara sempurna jika mereka masing-masing shalat sendirian (bergantian). Maka jelaslah shalat berjama’ah merupakan perkara yang wajib”.
Maka dengan alasan apa lagikah kaum muslimin meninggalkan shalat jama’ah ke masjid, padahal mereka dalam keadaan tidak buta, kuat badannya, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya dengan masjid?
Tidakkah mereka takut terkena penyakit di dalam hatinya, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.”
Hadis tersebut setidaknya memberikan dua pelajaran kepada kita. Pertama, bahwa orang yang malas melakukan shalat berjama’ah di masjid di dalam hatinya terinveksi virus kemunafikan. Kalau seseorang tertular virus cikungunya, DB, atau HIV sudah ribut untuk mengobatinya, mengapa ketika terkena virus kemunafikan ini malah senang? Tidakkah berfikir bagaimana nasib di akhirat kelak?
Kedua, shalat berjama’ah, khususnya subuh dan Isya’ memiliki mkeutamaan yang sangat besar. Di dalam hadis rasululah menyebutkan besarnya pahala berjama’ah, “Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh kali”. (HR Muslim)
Atau mungkin banyak di antara kaum muslimin sudah tidak membutuhkan pahala dari Allah, sehingga ketika Rasulullah saw menunjukkan keutaman shalat berjama’ah, petunjuk itu tidak menarik.
Selain hadits merangkak di atas, Rasulullah saw juga bersabda tentang keutamaan shalat jamaah dalam hadits lainnya, seperti hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya, kemudian mendatangi masjid di mana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan kesalahannya hingga dia masuk masjid….dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia berada pada tempat shalatnya seraya berdoa, “Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia….” (HR Muslim)
Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Ibnu Mas`ud ra berkata bahwa “aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan.” (HR Muslim)
Dengan adanya hadits-hadits di atas, tidakkah hati kita tergerak untuk hadir di majelis yang mulia, dalam rangka menunaikan shalat secara berjamaah? Atau kita biarkan saja penyakit kemunafikan bersarang di dalam hati kita?
***
Oleh Sahabat: Abah Zacky as-Samarani