Kata Rabb sebagai salah satu nama Allah memiliki makna yang sangat luas. Kata itu mancakup seluruh makna tarbiyah. Bahwa Allah lah yang mengurus seluruh mahluk dengan berbagai nikmat yang Dia berikan. Dialah yang memiliki, menguasai, mencipta, mengatur, menghidupkan, memberi rezeki, mematikan dan sebagainya. Sehingga, seluruh kenikmatan yang ada pada seluruh mahluk, hanyalah dating dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari dari Allah-lah(datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl:53)
Maka Allah adalah Dzat yang Maha Kaya, tidak butuh kepada selain-Nya, sedangkan mahluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan, selalu butuh kepada yang lain. Oleh karena itu, tatkala Allah menyatakan tujuan penciptaan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya, Dia menegaskan bahwa hal itu bukan karena Allah, butuh kepada peribadahan yang mereka lakukan, bahkan Allah-lah yang memberi rezeki kepada mereka.
Allah berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)
Kebutuhan Duniawi Kebutuhan seorang hamba kepada Allah dalam hal keduniaan, tidaklah samar. Bahkan setiap orang pasti mengakuinya, kecuali orang-orang yang sombong dan takabbur.
Allah Ta’ala berfirman tentang pengakuan orang-orang musyrik, “Katakanlah, siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka (orang-orang musyrik) akan menjawab, Allah. Maka katakanlah, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”(Yunus:31)
Dan pengakuan seperti ini menuntut seorang hamba untuk beribadah kepada-Nya dan mengesakan-Nya dalam ibadah. Karena dzat yang memiliki kepemilikan, kekuasaan dan pengaturan yang mutlak, adalah Dzat yang berhak dan wajib diibadahi. Sedangkan Dzat yang memiliki sedikit saja kebutuhan kepada yang lain, maka tidak layak untuk dijadikan sesembahan. Maka seorang hamba yang memperhatikan bahwa kebutuhan dunianya hanya berada pada Allah, tidak ada yang menguasainya selain Dia, dia akan meminta hanya kepada Allah, bertawakal hanya kepada Allah, beribadah hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Dan dia akan senantiasa mengagungkan dan mencintai Allah Ta’ala. Kebutuhan Ukhrawi Kehidupan dan kebahagiaan yang abadi di akhirat, hanya akan digapai dengan taat dan beribadah hanya kepada Allah.
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”(An-Nisa: 13-14)
Dan di sini, kita harus memahami bahwa seorang hamba tidak akan mungkin mampu melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada Allah melainkan taufik dan pertolongan dari-Nya. Syekh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah ketika menafsirkan kalimat iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in dalam surat Al-Fatihah, berkata,”Dia (Allah) menyebutkan isti’anah (permohonan pertolongan) setelah menyebutkan ibadah –padahal isti’anah termasuk ibadah-karena seorang hamba dalam seluruh ibadah yang dilakukannya senantiasa butuh kepada pertolongan Allah. Jika Allah tidak memberikan pertolongan kepadanya, niscaya dia tidak mampu mewujudkan kehendaknya untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.” (Lihat Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Man-nan)
Perhatikan pula wasiat Rasulullah kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, demi Allah aku mencintaimu. Kemudian aku wasiatkan kepadamu wahai Mu’adz, janganlah engkau tinggalkan pada akhir setiap shalat untuk mengucapkan (doa yang artinya), ‘Wahai Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu dan memperbagus ibadah kepada-Mu.’”(Hadist Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasa’i)
Setelah kita memahami ini, adakah sedikit celah bagi kita untuk merasa tidak butuh kepada Allah, lalu melupakan dan meninggalkan-Nya? Bahkan, setiap saat dan setiap detik kita senantiasa butuh kepada-NYa. Lalu, kenapa terus bermaksiat?!
Wallahul musta’an.
***
Diketik ulang dari Majalah Nikah Vol. 7, No. 1, Apr-Mei 2008, Hal. 20-21