Rabu, 05 Oktober 2011

oktober

MOTIVASI : Kakak..,Aku Capek ( reply : LARA ADINDA )

“Kakak, kakak…” kata Sang adik berlari menghampiri sang kakak.

“Ada apa, dinda..?” tanya Sang Kakak.

“Aku capek, sangat capek. Aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek, aku mau menyontek saja! aku capek, sangat capek..

Aku capek karena teman-teman meledekku gak gaul, tidak punya pacar, sendirian dimalam minggu, padahal teman2ku pergi ke bioskop dan jalan2 ke mall…

Aku capek karena harus pergi halaqoh mencari ilmu sedang tempatnya jauh, sedang waktuku tersita utk mengurus kegiatan kuliah..

Aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! Aku capek, sangat capek.

Aku capek karena aku harus istiqomah dengan jilbab dan baju panjangku, ribet dan gerah, padahal teman2ku begitu bebas berpakaian apa saja yg dia mau..

Aku capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati…

Aku capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman-temanku, sedangkan teman-temanku seenaknya saja bersikap kepadaku..

Aku capek Kakak, aku capek menahan diri. Aku ingin seperti mereka. Mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka Kak ! ..” sang adek mulai menangis.

Kemudian sang Kakak hanya tersenyum dan mengelus kepala adeknya sambil berkata, ”Dinda, ayo ikut Kakak, kakak akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang kakak menarik tangan sang adek.

Kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri dan kerikil tajam, serangga, lumpur, dan ilalang. Lalu sang adek pun mulai mengeluh.

” Kakak mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku benci jalan ini kak”, sang kakak hanya diam dan terus berjalan.

Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu-kupu, taman dengan bunga-bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang.

“Wwaaaah… tempat apa ini Kak? aku suka! aku suka tempat ini!” teriak sang adek kegirangan. sang kakak hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.


“Kemarilah adikku, sini duduklah di samping kakak” ujar sang kakak lembut, lalu sang adik pun ikut duduk di samping kakaknya.

” Adekku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? Tak ada yg tahu tempat ini, padahal tempat ini begitu indah…”

” Tidak tahu kak, memangnya kenapa?”

” Itu karena orang-orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tahu ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu. Dulu kakak pernah mengajak teman kakak kesini. Dia 2 tahun lebih muda dari usiamu, tapi kakak sudah menganggap dia adek kakak sendiri. Saat itu dia mengalami masalah yg hampir sama denganmu. Kakak mengajak dia ketempat ini tp belum sempat mengajakmu kesini.”

” Ooh… berarti kita orang yang sabar ya Kak? Alhamdulillah”

”Nah, akhirnya kau mengerti..”

”Mengerti apa? aku tidak mengerti…”

” Adekku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh istiqomah dalam bersikap baik, butuh keuletan dalam rintangan, butuh perjuangan dalam setiap perubahan kearah kebaikan, agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi.
Bukankah kau harus sabar saat ada duri dan kerikil tajam melukai kakimu, kau harus istiqomah melangkah saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus berjuang melewati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga, dan akhirnya semuanya terbayar kan? Ada telaga yang sangat indah. Seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? Kau tidak akan mendapatkan apa apa adekku, oleh karena itu bersabarlah Dinda dengan jalan yg kau tempuh..”

” Tapi kak, tidak mudah untuk bersabar ”

” Kakak tau, oleh karena itu ada kakak yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat. Begitu pula hidup, tetap ada ayah dan ibumu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu. Tapi, ingatlah adekku… kakak tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh. Masih ada banyak “adek-adek” kakak diluar sana yg butuh bimbingan kakak. Suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri. Maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain,jadilah dirimu sendiri, jadilah seorang muslimah yang kuat, kaffah dan tertarbiyah, yang tetap tabah dan istiqomah karena tahu ada Allah di sampingmu. Maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang. Maka kau tau kan akhirnya seperti apa?”

” Ya kak, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini. Sekarang aku mengerti. Terima kasih Kakak , aku akan tegar saat yang lain terlempar ”.

" Bagus adekkku, jadilah kebanggaan kakak. Kebanggaan orang tuamu, sahabat2mu, dan terutama kebanggaan buat agamamu. Kau tentu masih ingat kata2 sahabatmu: "Kehilangan adalah sebuah keniscayaan" ? yang dikatakannya itu benar sekali. Kalau nanti bukan kamu yg meninggalkan kakak, maka suatu saat kakak yg akan meninggalkanmu. Tapi bukan meninggalkan dalam arti utk selamanya, tapi sebuah proses metamorfosa utk menempa dirimu agar lebih mandiri dan dewasa tanpa bergantung pada siapapun. Pada saat itu teman terbaikmu hanya ilmu dan Allah saja..".

Sang kakak mengakhiri nasehatnya, kemudian mencium pipi adeknya. Sang adek hanya bisa diam tanpa kata. Sang kakakpun hanya tersenyum sambil menatap wajah adinda kesayangannya.
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan telaga dan taman yg indah tersebut.

Sampai jumpa adekku..
Semoga kita selalu..
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Sahabat sejatiku hilangkan dari ingatanmu
Dihari saat kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi
Aku datang menghampirimu
Kan kuperlihatkan semua hartaku

Aku raja kaupun raja, aku hitam kaupun hitam
Aku dan kamu..darah abadi.

( gubahan; Sheila On7..^.^ )

Barakallahufikum..semoga bermanfaat
Banyak sayang dan cinta,
Wassalam
--------------------
_Ifta_

Kisah Ini Menghapus Sosok Pangeran Mimpiku

Add caption
Sore itu, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya- tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahuku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.

“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya. Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing. Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendirilah”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”

Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya

“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.

“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya.

Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Baigaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaan.

Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.

Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku.
Mengambil tas laptopnya,, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.

Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..

Subhanallah..

Leave a Reply

 
 

Daftar Blog Saya

Blogger news