Oleh:
Prof. Dr. Ir. Kabul Basah Suryolelono,
Dip.H.E., D.E.A.
Yang terhormat Ketua dan para Anggota Majelis Wali
Amanat Universitas Gadjah Mada,
Yang terhormat Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah
Mada,
Yang terhormat Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru
Besar, Universitas Gadjah Mada,
Yang terhonnat Ketua,
Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada,
Yang terhormat segenap Sivitas Akademika Universitas Gadjah
Mada,
Yang terhormat para Para tamu undangan dan hadirin yang saya
honnati,
Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Pertarna‑tarna perkenankanlah saya mernanjatkan puji syukur ke
hadirat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena limpahan berkah dan
rahmat‑Nya‑lah, pada hati ini saya dapat menyarnpaikan pidato pengukuhan
jabatan Guru Besar. Pada kesernpatan yang sangat baik ini, saya ingin
menyarnpaikan terima kasih
kepada ibu serta bapak sekalian atas kesediaannya hadir untuk mengikuti
upacara ini. Pada kesempatan ini pula saya dengan segala kerendahan hati, akan
menyarnpaikan uraian tentang Bencana
Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik
Hadirin yang terhonnat,
Ilmu teknik sipil dewasa ini telah berkembang dernikian luas, antara
lain dalain bidang teknik konstruksi, hidro, transportasi, lingkungan, hingga
yang berkaitan dengan bidang ilmu lain seperti bahan konstruksi teknik, yang
menitik beratkan pada masalah bahan‑bahan yang digunakan untuk konstruksi
bangunan; geornaterial, yang lebih berkonsentrasi pada bangunan yang berasal
dari bahan tanah dan batuan; teknik sipil tradisional, yang berkaitan bangunan‑bangunan
tradisional dan tingkat budaya masyarakat kita. Selain itu, bidang geoteknik,
yang merupakan bidang ilmu tersendiri dan menitikberatkan pada aplikasi teknik
sipil dalam masalah‑masalah yang berhubungan dengan sifat mekanis tanah dan
batuan (Suryolelono, 1996a). Geoteknik sebenamya
merupakan gabungan beberapa disiplin ilmu yaitu mekanika, yang mempelajari
karakteristik mekanis atau tingkah laku massa benda, bilamana dikenai gaya;
bahan, yang mernpelajari karakteristik fisis (ukuran butiran, komposisi,
gesekan, lekatan, kepadatan, permeaWlitas,
dan sifat plastisnya); hidraulika, yang mempelajari karakteristik
hidraulisnya terutama berkaitan dengan aliran air melalui media porus; dan
lingkungan, yang mempelajari pengaruh/dampaknya terhadap lingkungan.
Geoteknik itu sendiri terdiri atas dua bidang pokok, yaitu
ilmu dasar dan aplikasinya (Holtz dan Kovacs, 1981). limu dasar dalam bidang
geoteknik adalah mekanika tanah (soil mechanics), yang mempelajari sifat‑sifat
fisis dan mekanis tanah; mekanika batuan (rock mechanics), yang mempelajari
sifat‑sifat fisis dan mekanis batuan, serta geologi teknik (engineering
geology), sedangkan aplikasi ilmu. dasarnya adalah teknik fondasi (foundation
engineering), yang mempelajari fondasi dari berbagai bangunan baik bangunan
gedung dari tingkat sederhana sampai dengan bangunan tinggi, bangunan air,
bangunan lepas pantai, bangunan jalan, lapangan terbang, dermaga dan lain‑lain;
teknik batuan (rock engineering), yang seperti teknik fondasi namun orientasi
fondasi tidak pada tanah tetapi pada batuan (konstruksi terowongan, pusat
tenaga listrik bawah muka tanah, reservoir bahan energi bawah muka tanah, atau
suatu galian dalam, dan lain‑lain); stabilitas lereng, yang mempelajari tentang
kondisi lereng dalam keadaan labil atau mantab, lereng dalam sekala kecil
maupun besar, lereng alam atau buatan, dalam tinjauan dua dimensi atau tiga
dimensi, serta mitigasi dan penanggulangannya.
Hadirin yang saya hormati,
Akhir‑akhir ini, sering te~adi bencana tanah longsor, yang
dikaitkan dengan datangnya musim hujan. Bencana tanah longsor (landslides) pada
tahun lalu maupun di saat musim penghujan sekarang ini, banyak terjadi di
Indonesia seperti di daerah Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Jawa Tengah, Jawa
Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Surnatera dan lokasi lainnya di tanah air,
bahkan tedadi di tengah kota seperti di Jakarta, Semarang, Jogjakarta dan di
kota lainnya. Peristiwa tanah
longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya,
sering terjadi pada lerenglereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan
fenomena alam, yaitu alarn mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan
atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan te~jadinya pengurangan kuat
geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Anonim, 2000).
Kontribusi pengurangan kuat geser tanah pada lereng alam yang
mengalami longsor disebabkan oleh faktor yang dapat berasal dari alam itu
sendiri, erat kaitannya dengan kondisi geologi antara lain jenis tanah, tekstur
(komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng sangat berpengaruh terjadinya
longsoran, misalnya sensivitas sifatsifat tanah lempung, adanya lapisan tanah
shale, loess, pasir lepas, dan bahan organik. Bentuk butiran tanah (bulat,
ataupun tajam) berpengaruh terhadap friksi yang terjacli dalam tanah, pelapisan
tanah, pengaruh gempa, geomorfologi (kemiringan daerah), iklim, terutama hujan
dengan intensitas tinggi atau seclang, dengan durasi yang lama di awal musim
hujan, atau menjelang akhir musim hujan, menimbulkan perubahan parameter tanah
yang berkaitan dengan pengurangan kuat gesernya. Pada batuan pengurangan kuat
geser dapat diakibatkan oleh adanya diskontinuitas, sifat kekakuan, arah
bedding,joint, orientasi lereng, derajat sementasi batuan misalnya
konglomerat, batuan pasir, breksi, dan lain‑lain. Variasi muka air di reservoir
bendungan seperti yang terjadi pada bendungan Vaiont di Italia, merupakan salah
satu contoh penyebab lemahnya bidang kontak pelapisan batuan (bedding)
pembentuk lereng di sekitar waduk (reservoir) dengan orientasi miring ke arah
waduk. Selain tekstur tanah, pengaruh fisik dan kimia dapat mempengaruhi,
terhadap pengurangan kuat geser. Pengaruh fisik antara lain lemahnya retakan‑retakan
yang terjadi pada tanah lempung, hancurnya batuan breksi (disintegrasi) akibat
perubahan temperatur, proses hidrasi terutama pada jenis tanah lempung
berkaitan dengan meningkatnya tegangan air pori, oversaturation lapisan tanah
berbutir halus (loess). Pengaruh kimia dapat diakibatkan oleh larutnya bahan
semen dalam batuan pasir dan konglomerat.
Kontribusi peningkatan tegangan geser disebabkan oleh banyak
faktor antara lain phenomena variasi gaya intergranuler yang diakibatkan oleh
kadar air dalam tanah/batuan yang
menimbulkan tedadinya tegangan air pori, serta tekanan hidrostatis dalam tanah
meningkat. Variasi pembentuk batuan dan tekstur tanah, retakan‑retakan yang terisi butiran halus,
diskontinuitas, pelapukan dan hancurnya batuan yang menyebabkan lereng
terpotong‑potong, atau. tersusunnya kembali butiran‑butiran halus.
Faktor lain yang berpengaruh adalah bertambah berat beban pada
lereng dapat berasal dari alam itu sendiri, antara lain air hujan yang
berinfiltrasi ke dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup
vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat, tanah menjadi
jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan beban pada lereng semakin
berat. Pekerjaan timbunan di bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng
dapat menyebabkan lereng menjadi rawan longsor. Pengaruh hujan dapat te~adi di
bagian lerenglereng yang terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama
berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan
dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang memperhatikan pola‑pola
yang sudah ditetapkan oleh pernerintah. Penebangan hutan yang seharusnya tidak
diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan‑lahan pada kondisi ler'eng
dengan geomorphologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng menjadi
rawan longsor. Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan
tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan‑lahan baru di lereng‑lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentukbentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan
perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng‑lereng bukit) yang
tidak sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada
lereng (surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat
aliran sungai, atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki
lereng, tedadinya kernbang susut material pembentuk lereng, dan lain‑lain
menyebabkan terjadinya peningkatan tegangan geser.
Pengaruh gempa juga menyebabkan kondisi lereng yang sebelumnya
cukup stabil menjadi labil. Kondisi ini dapat terjadi, akibat goncangan pada
lapisan tanah di bumi, menimbulkan struktur
tanah menjadi berubah. Pada jenis‑jenis tanah berbutir kasar
dalam kondisi kering akan menyebabkan butiran‑butiran ini merapat, namun untuk
jenis tanah yang sama dalam kondisi jenuh dan te~ebak dalam lapisan tanah
lempung yang membentuk lensa‑lensa pasir, apabila terjadi gempa akan mengalami
peristiwa 1equefaction. Akibat pengaruh gempa tegangan pori (u) dalam lapisan
tanah pasir (lensa‑lensa pasir) ini meningkat, mengakibatkan tegangan efektif
tanah (C;') menurun dan bahkan mencapai nilai terendah (= 0). Hal ini berarti
tanah kehilangan kuat~ dukungnya, berakibat tanah pembentuk lereng di atas
lapisan ini runtuh, timbul masalah tanah longsor. Selain itu, apabila lapisan
tanah lempung terletak di atas lapisan batuan keras (bed rock), akibat pengaruh
gempa pada ke dua massa yang berbeda (tanah dan batuan) mempunyai percepatan
yang berbeda, sehingga bidang kontak ke dua lapisan ini menjadi bagian yang
lemah.
Munculnya sumber‑sumber air di bagian kaki lereng akibat
te~adi rembesan air menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping). Pada
kondisi ini tanah di bagian kaki lereng kehilangan kuat dukungnya dan bahkan
mendekati harga sama dengan nol, sehingga perlawanan terhadap gaya yang
melongsorkan menurun, dan lereng menjadi rawan longsor.
Demikian pula pada lereng buatan dapat berupa lereng galian,
lereng bendungan, lereng timbunan sampah (Chowdhury, 1978). Keruntuhan lereng
buatan dapat terjadi disebabkan oleh faktor‑faktor yang sama dengan lereng alam
yaitu pengurangan kuat geser dan penambahan tegangan geser pada lapisan tanah
pembentuk lereng. Lereng galian merupakan lereng yang direncanakan dengan menentukan
rerata tinggi galian dan kerniringan galian tersebut, sehingga lereng tetap
stabil (aman) sementara itu aspek ekonomi tetap menjadi pertimbangan. Umur
lereng galian harus dijaga agar tetap stabil sesuai dengan tipe peke~aan
seperti tambang dan bangunan teknik sipil lainnya. Kesulitannya adalah
meramalkan terhadap kontrol stabilitas dan pemeliharaan. Lereng timbunan dan
bendungan tergantung pada sifat mekanis dari bahan yang digunakan untuk
konstruksi timbunan dan bendungan yang diperoleh dari hasil uji di laboratorium
atau in situ untuk menentukan komposisi tanah dan timbunan batu, derajat
pernadatan. Konstruksi timbunan dan bendungan pada tanah dasar fondasi
merupakan tanah kohesif membutuhkan tahap‑tahap konstruksi sesuai dengan
tin9kat kOnsolidasi dengan kontrol kecePatan (rate) pembebanan agar diperoleh
tingkat kepadatan tanah dasar fondasi mampu mendukung beban di atasnya.
Konsolidasi tanah inipun dapat dipercepat dengan menempatkan drain vertikal
(Suryolelono, 2000a).
Hadirin yang terhormat
Gerakan lereng tidak stabil merupakan gerakan yang dibedakan
sebagai gerakan guguran (falls), runtuhan (top~les), longsoran (slides), penyebaran
(lateral spreads), aliran (flow), dan gerakan kompleks yang merupakan kombinasi
dari berbagai gerakan tersebut (Varnes, 1978) dalam Giani, 1992. Semua bentuk
gerakan ini sangat ditentukan oleh formasi geologi yaitu lapisan batuan,
lapukan batuan dan tanah. Ungsoran yang terjadi akan membentuk suatu pola baik
di permukaan lereng maupun bentuk bidang gelincimya. Pola longsoran di bagian
permukaan lereng akan membentuk pola tapal kuda, bidang ,longsor seJaiar arah
kaki lereng, hummocky (bentuk busur‑busur keeil) (Suryolelono, 1995b), sedang
bentuk bidang longsor dapat merupakan satu atau lebih permukaan bidang longsor
dengan bentuk silindris (tampang lingkaran) atau datar (tampang garis).
Longsoran dengan bentuk bidang gelincir datar (translation slides), apabila
bentuk bidang gelincir adalah bidang datar ke arah kaki lereng. Hutchinson
(1988) dalam Giani (1992) membedakan dalam beberapa tipe yaitu sheet, slab,
debris slides, dan sudden spreadfailure. Longsoran dengan bentuk bidang
gelincir dengan tampang lingkaran (rotation slides) sering dengan bentuk
seperti bagian lengkung silinder, cekung ke atas, dan terJadi pada lereng
dengan material lempung homogen, material granuler, atau batuan masif. Namun
bentuk tersebut sering tidak cekung ke atas, karena adanya pengaruh joint,
bedding, faults, atau tidak homogennya lapisan tanah, mengakibatkan bidang
longsor tidak mengikuti bentuk busur lingkaran, tetapi merupakan bidang
lengkung dan datar. Hutchinson (1998) dalam Giani (1992) membedakan tiga tipe
utama bentuk tampang bidang gelincir adalah satu lingkaran, lebih dari satu
lingkaran, dan terbentuk secara berturut‑turut. Bentuk bidang gelincir yang
umum terjadi di Indonesia merupakan tipe longsoran dengan bidang gelincir
bentuk lingkaran (rotational slides), dan datar dengan tipe slab slides atau rock slides. Kadang‑kadang gerakan Iongsor merupakan gerakan yang
sangat kompleks yaitu kombinasi dari rotational
slides, translational slides atau
bentuk‑bentuk lainnya.
Hadirin yang terhormat,
Dalarn bidang geoteknik, untuk
menyatakan lereng aman terhadap terjadinya longsoran, dilakukan analisis dengan
pendekatan model matematik dua dimensi untuk berbagai bentuk bidang longsor
datar, lengkung (lingkaran), atau kombinasi ke duanya. Dalarn analisis ini
umumnya dicari besarnya angka aman (factor
of safety‑FOS) yang merupakan fungsi tegangan geser (T). Pendekatan
yang digunakan dalarn metode ini adalah keseimbangan batas, dan bentuk bidang
longsor dalam dua dimensi, namun lereng tanah perlu dipertimbangkan sebagai
suatu sistem tidak kenyang air sampai dengan kenyang air. Letak muka air tanah (phreatic water surface) di daerah
perbukitan umumnya dalarn atau dangkal, sehingga kondisi tanah pada waktu‑waktu
tertentu kering (musim kemarau) dan di waktu musim hujan, tanah menjadi kenyang
air. Di awal musim hujan, kondisi tanah sebagian pori tanah terisi air atau
dalam kondisi tidak kenyang air. Selain itu, jenis tanah merupakan parameter
yang harus dipertimbangkan pula, berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis
tanah akibat pengaruh air.
Analisis mekanisme tanah longsor
yang selama ini digunakan, umumnya untuk lereng jenuh dengan memperhitungkan
tegangan air pori positif, namun pada kondisi tanah belum cukup kenyang air (unsaturated), tegangan air pori dapat
bemilai negatif menimbulkan terjadinya gaya sedot (soil suction atau matrix
suction) dan berpengaruh terhadap kuat geser tanah (shear strength). Oleh karena itu, dalam melakukan tinjauan
analisis mekanisme tanah longsor, harus dipertimbangkan kondisi lereng yang
merupakan suatu sistern menyeluruh dari kondisi tanah tidak kenyang air sampai
dengan kenyang air. Abramson, dkk. (1996), Rahardjo, dkk. (2002) menyatakan ada
dua parameter bebas yang berpengaruh terhadap tegangan dalarn tanah dengan
kondisi tidak kenyang air (ruang pori tanah sebagian terisi udara dan sebagian
air), tegangan netto (a ‑u,,), dan matrix
suction (Ua U,) (dengan cy : tegangan total, Ua : tegangan
udara (gas) pori, dan u, : tegangan air pori). Pada kondisi tanah kenyang air,
maka seluruh ruang pori tanah terisi air, tegangan air pori (u,) akan sama
dengan tegangan udara pori (u.), sehingga matrix
suction (u,, u,,) diabaikan (= 0). Oleh karena itu, parameter tegangan
dalarn tanah menjadi tegangan efektif ((Y ‑ u,). Tampak pengaruh air terutama
air hujan yang berinfiltrasi ke dalam tanah, menimbulkan perubahan pada. ke dua
parameter ini, dan memberikan pengaruh terhadap tegangan geser serta volume
tanah yang merubah sifat‑sifat tanah.
Tegangan air pori (u,) di atas zona
muka air tanah (phreatic surface) umumnya te~adi akibat tegangan air
pori berada di bawah tegangan atmosfir (udara). Besarnya tegangan pori negatif
atau dikenal sebagai soil suction atau
matrix suction tergantung besarnya
tegangan permukaan pada batas udara dan air yang menyelimuti butiran tanah.
Umumnya untuk tanah berbutir halus mempunyai matrix suction yang tinggi (Wong, 1970 dalam Abramson, dkk. 1996). Matrix suction meningkatkan tegangan
efektif dalam seluruh massa tanah dan memperbaiki stabilitas lereng
(peningkatan matrix suction berdasarkan
hubungan c = c' + (Ua ‑ UO‑ tan(Pb (Ho & Fredlund, 1982, dalarn Abramson,
dkl~., 1996) dengan c : kohesi total tanah, c' : kohesi efektif, (Ua ‑ UO :
matrix suction, (Pb : suatu sudut
yang menunjukan variasi pertambahan kuat geser relatif terhadap matrix suction (Ua U')). Matrix suction berkurang apabila kondisi tanah
berangsur‑angsur menjadi kenyang air (selama dan sesudah hujan lebat dengan
durasi lama). Pada kondisi tanah kenyang air, besarnya kuat geser tanah (shear strength of soil) dinyatakan
sesuai hubungan Coulomb (,r = c' + cr'tan(p' dan cr' = cy ‑ u, (Coulomb, 1776,
dalam Braja, 1994 dengan ,r : kuat geser tanah, c' kohesi efektif, (Y' tegangan
efektif, cr : tegangan total, u, : tegangan air pori, dan (p' sudut gesek
internal efektif tanah). Untuk kondisi tanah tidak kenyang air (unsaturated), besarnya kuat geser tanah
dipengaruhi oleh matrix suction (Tff = c' + (CFf ‑
Ua)f.tan(P' + (u,, ‑ u,)f. tanW, dan c = c' + (Ua ‑ U,)f‑ tanTb dengan c :
total kohesi tanah, c' kohesi efektif, (ua ‑ u,)f : matrix suction pada. kondisi runtuh, ((Tf Ua)f : tegangan normal netto
pada kondisi runtuh, (p' : sudut gesek internal efektif atau sudut gesek
internal berhubungan dengan tegangan normal netto (Abramson, dkk., 1996;
Fredlund, dkk., 1978)). Tampak pada kondisi tanah tidak kenyang air, besarnya
kuat geser tanah meningkat dengan bertambalmya nilai kohesi, dan ada tambahan
akibat matrix suction, sehingga
pada kondisi ini lereng menjadi lebih aman. Oleh karena itu, salah satu metode
untuk membuat lereng menjadi aman (stabil) adalah kondisi tanah dibuat tidak
kenyang air. Salah satu usaha untuk mernbuat lereng tidak kenyang air adalah
menempatkan suatu sistern drainase bawah permukaan lereng (sub surface drainage) dengan
memperhitungkan curah hujan yang terjadi di daerah tersebut. Tujuannya adalah
agar sistem drainase mampu mengalirkan sebagian air yang meresap ke dalam tanah
untuk mengurangi kandungan air dalam tanah.
Selain analisis dengan pendekatan
model matematik dua dimensi, model matematik tiga dimensi untuk keruntuhan
lereng telah dikembangkan dengan memanfaatkan mekanika kontinum. Dasar
pernecahan analisis ini menggunakan persamaan Navier‑Stokes, pengembangan
persamaan kontinuitas untuk cairan tidak pampat, dan criteria Coulomb (Fathani,
dkk., 2002). Pengembangan model analisis ini dengan membuat suatu program
komputer LSFLOW yang masih terus dilakukan.
Hadirin yang
saya honnati,
Keruntuhan lereng dapat terjadi karena
berkurangnya/menurifnnya kernampuan kuat geser tanah secara perlahan‑lahan atau
mendadak atau perubahan kondisi geometri lereng akibat galian misalnya,
sehingga lereng menjadi curam. Parameter penting yang dibutuhkan dalam analisis
stabilitas lereng adalah kuat geser, geometri lereng, tegangan air pori atau
gaya rembesan, dan beban serta'kondisi lingkungan sekitar lereng. Konsep
stabilitas lereng menggunakan metode analisis dalarn memprediksi kestabilan
lereng tanah untuk dua dimensi telah banyak dikembangkan oleh ahli‑ahli
geoteknik. Umumnya untuk menyatakan lereng dalarn kondisi stabil (mantab)
dinyatakan dengan angka aman (FOS) yang merupakan rasio antara gaya atau momen yang
melawan terjadinya longsor dan gaya atau momen yang melongsorkan. Besamya angka
aman disesuaikan dengan beban yang bekerja, untuk kondisi beban normal artinya
beban yang beketja terus menerus pada lereng mempunyai nilai 1,5‑2, sedang
untuk beban sernentara (misal : beban gernpa) digunakan angka. arnan lebih
rendah yaitu 1,1‑1,2, karena. beban ini bekerja dalam waktu relatif pendek.
Konsep stabilitas lereng adalah menggunakan metode keseirnbangan batas (limit equilibrium) dengan lereng yang
diperkirakan akan runtuh dibagi‑bagi menjadi 8‑15 pias. Metode ini antara. lain
: Ordinary Method of Slice (OMS)
dikembangkan oleh Fellenius (1927, 1936). Dalam analisisnya Fellenius
mengabaikan keseirnbangan gaya. di kedua sisi pias dan massa tanah yang
diperkirakan akan runtuh sebagai satu kesatuan. Metode ini merupakan metode
dengan prosedur paling sederhana serta sebagai dasar sernua metode selanjutnya.
Bishop simplified (1955) meniadakan
sernua. gaya geser antar pias, narnun keseirnbangan gaya horisontal diperhitungkan
secara keseluruhan. Janbu (1954, 1957, 1973) dengan anggapan seperti metode
Bishop simplified narnun tidak
meninjau keseirnbangan. mornen, Lowe dan Karafiath (1960) menganggap gaya‑gaya.
antar pias membentuk sudut sebesar rerata sudut alas dan atas pias. Corps of Engineers (1982) dengan anggapan.
kemiringan gaya‑gaya. antar pias sarna dengan kerniringan lereng atau sama
dengan rerata. Sudut kerniringan. ujung‑ujung pennukaan bidang runtuh. Spencer
(1967, 1973) dalarn Winterkorn dan Fang, 1975, beranggapan. besarnya. gaya‑
gaya antar pias adalah sarna, narnun tidak diketahui arahnya. Sarma. (1973),
dan Morgenstern & Price (1965) dalam Winterkorn dan Fang, 1975, menggunakan
fungsi distribusi gaya antar pias. Fredlund dan Rahardjo (1993) cenderung
meninjau kondisi lereng sebagai suatu lapisan tanah yang tidak kenyang air (unsaturated), sedang metode lainnya.
dengan anggapan tanah dalarn konsidi kenyang air (saturated) atau kondisi kering. Dua metode yaitu Fellenius dan
Bishop hanya dapat digunakan, apabila. bentuk bidang gelincir berbentuk
tarnpang lingkaran, sedangkan bentuk bidang gelincir tidak berbentuk lingkaran
menggunakan metode Janbu, Corps of
Engineers, Lowe dan Karafiath, sedang analisis stabilitas lereng untuk
lereng tidak kenyang air menggunakan metode Fredlund dan Rahardjo, narnun untuk
mengetabui metode mana yang paling cocok, digunakan metode GLE (General Limit Equilibrium) yang
mendasarkan pada keseimbangan gaya. dan keseirnbangan momen. Cara analisis ini
baru dapat dilakukan, apabila sudah didapatkan parameter‑perameter tanah dari hasil
uji geoteknik di lapangan maupun di laboratorium. Dalam melakukan uji lapangan
perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan data yang akurat, danmewakili
seluruh daerah yang diuji. Berbagai uji lapangan dapat digunakan untuk
mendapatkan letak bidang gelincir antara lain dengan alat uji penetrasi statis
(Suryolelono, 1996b), atau dinamis, dan selanjutnya diambil sampelnya untuk uji
laboratorium guna mendapatkan parameter tanah.
Konsep metode analisis tiga dimensi
keruntuhan lereng adalah tegangan geser pada setiap titik selalu berubah
berdasarkan waktu dan lokasinya, dengan bidang longsor yang tidak selalu
berbentuk busur lingkaran. Perbedaan konsep metode analisis dua dimensi dengan
tiga dimensi keruntuhan lereng adalah pada metode dua dimensi tegangan geser
sepanjang permukaan bidang longsor adalah konstan, sedang pada metode tiga
dimensi, pada setiap titik tinjauan selalu berubah berdasarkan. fungsi waktu.
dan tempatnya (Nakamura, dkk., 1989; Sasa, 1987).
Hadirin yang
terhonnat,
Dari hasil analisis tersebut, apabila
lereng dinyatakan labil, maka. diperlukan usaha untuk mengantisipasinya. Metode
stabilitas lereng umumnya, mengurangi gaya yang melongsorkan atau menyebabkan
lereng tanah tersebut longsor (bergerak turun) ke arah kaki lereng, memperbesar
gaya perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan, atau kombinasi ke duanya.
Secara umum metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis,
khemis, dan bio engineering dengan
memperhatikan kondisi lereng yang labil, sehingga dapat ditentukan metode yang
paling tepat.
Metode stabilitas lereng secara fisis
merupakan metode yang paling sederhana, namun hasilnya dapat diandalkan. Usaha
stabilisasi dengan membuat lereng lebih landai, sehingga lereng menjadi tidak
curam, atau mengurangi beban di bagian atas lereng dengan memindahkan material
di bagian puncak lereng ke kaki lereng, menempatkan konstruksi bahu lereng (benn) merupakan usaha untuk melandaikan
lereng. Penempatan pratibobot (counterweight‑merupakan konstruksi timbunan batu
atau tanah di bagian kaki lereng), memberikan hasil yang memuaskan, namun
diperlukan ruangan (space) yang cukup luas, karena berkaitan dengan usaha
galian dan timbunan. Teknik ini adalah mengurangi gaya yang melongsorkan akibat
massa tanah yang bergerak turun atau menambah besamya perlawanan geser.
Usaha lain untuk membuat lereng tetap
stabil dengan menempatkan sistern drainase permukaan (surface drainage) atau bawah permukaan (sub surface drainage) yang mampu untuk mengevakuasi sebagian air
terutama air hujan yang berinfiltrasi ke dalarn tanah, agar tanah/batuan
pembentuk lereng tidak menjadi dalam kondisi jenuh air. Air hujan yang
berinfiltrasi ke dalain tanah menyebabkan muka air tanah naik, sehingga
memperbesar tekanan hidrostatis pada lereng tersebut. Selain itu, akibat
tekanan rembesan dapat menimbulkan terjadinya peristiwa erosi buluh (piping) di bagian lereng, dan semakin
lama semakin besar sesuai dengan perkembangan debit aliran rembesan. Pada
lereng‑lereng yang menunjukan gejala munculnya mata air rembesan di bagian kaki
lereng setelah te~adi hujan, merupakan suatu indikasi bahwa lereng ini tidak
mantab (labil). Berbagai bentuk drainase permukaan dapat berupa selokan atau
parit drain, dan drainase bawah permukaan antara lain drain horisontal, lapisan
drain, relief drain dan terowongan
drain telah banyak digunakan, dan hasilnyapun dapat diandalkan (Suryolelono,
1993, 1999).
Cara mekanis dalarn usaha stabilisasi
lereng dilakukan apabila ruangan yang tersedia sangat sempit, artinya bila cara
fisis sangat sulit untuk diterapkan, barulah dilakukan dengan cara mekanis.
Cara ini dengan menempatkdn konstruksi penahan tanah konvensional, atau metode
baru yaitu perkuatan tanah (soil reinfoercement),
pengangkeran tanah (soil nailling), namun
keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik, apabila didukung dengan sistern
drainase permukaan maupun bawah permukaan, dan pada konstruksi penahan tanah
itu sendiri. Kegagalan konstruksi penahan tanah konvensional yang te~adi di
kota Semarang (Forum, Maret 2002; Kedaulatan Rakyat, 17, 18, 20, 23 Februari
2002), runtuhnya candi Selogriyo (Suryolelono, 1995b; 1996), karena buruknya
sistern drainase pada. konstruksi penahan tanah, dan sistern drainase di
sekitar konstruksi itu. Cara lain untuk mengantisipasi gerakan tanah ini dengan
memancang tiang atau turap (sheet pile) di
bagian lereng yang longsor, namun tiang atau turap harus cukup panjang dan
melewati bidang longsor, sehingga efektif untuk menghambat turunnya material
tanah yang longsor.
Metode stabilisasi dengan cara khemis
merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cement‑shotcrete), atau bahan kapur, abu sekarn padi (ASP‑abu
sekarn padi‑RHA‑rice husk ash) (Suryolelono
& Fathani, 2000), abu terbang (fly ash),
sementasi (grouting) untuk
meningkatkan kuat geser tanah, namun pemanfaatan bahan kimia ini perlu
dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan.
Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup
lereng‑lereng yang terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini, agar air
hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera
infiltrasi ke ' dalarn tanah, namun metode ini membutuhkan waktu lama. Umumnya
metode ini digunakan apabila lereng diindentifikasi rawan terhadap erosi dan
berakibat lanjut lereng longsor. Jenis tanaman yang direkomendasi oleh Bank
Dunia seperti jati, akasia, johar, pinus mahoni, kemiri, damar dan lainlain,
perlu disesuaikan dengan kondisi lereng setempat dan atas saransaran dari para
ahli di bidang yang berkaitan. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras
bangku di lereng‑lereng rawan longsor tanpa dilengkapi dengan saluran
pembuangan air (SPA) dan saluran drainase bawah permukaan tanah untuk
menurunkan muka air tanah, mengurangi intensifikasi pengolahan tanah di daerah
rawan longsor (Soedjoko, 2000) merupakan salah satu usaha stabilisasi lereng
rawan longsor. Umumnya usaha penanggulangan kelongsoran lereng yang digunakan
merupakan kombinasi baik cara fisis, mekanis, khemis atau bio engineering, untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Hadirin yang saya hormati,
Keruntuhan lereng yang terjadi di
Indonesia didominasi akibat sistim drainasi lereng yang buruk atau sistem
drainasi yang ada mengalami gangguan. Keruntuhan lereng yang terjadi di dusun
Klepu desa Banjararurn Kecamatan Kallbawang tahun lalu, sebagai salah satu
contoh terganggunya sistem drainase alam (torrencial
river, avfoer, gully) yang ada, akibat tertutup/terpotong jalan aspal yang
menghubungkan dusun Klepu dengan daerah lainnya Degan, Nogosari (Kedaulatan
Rakyat, 30 November, 2001). Jika terjadi hujan, air yang jatuh di pen‑nukaan
lereng akan tertahan oleh jalan ini, sehingga terjadi akumulasi air di bagian
kaki lereng (sebagian menyebar mencari jalannya sendiri, dan sebagian
infiltrasi ke dalmn tanah), akibatnya tanah di bagian kaki lereng menjadi
kenyang air, berakibat karakteristik tanah menurun drastis, terjadi penurunan
kuat geser tanah, dan lereng menjadi
rawan longsor. Dernikian pula halnya runtuhnya Candi Selogroyo di desa
Kembangkuning, Kecarnatan Windusari, Kabupaten Magelang, akibat terjadinya
akumulasi air di bagian kaki lereng. Penyebab utarna keruntuhan lereng di
lokasi Candi Selogriyo adalah bangunan pelimpah konstruksi pengambilan air (captering) yang terletak di sebelah
hulu Candi Selogriyo tidak mampu mengalirkan air yang melimpah ke sungai torrencial, sehingga air menyebar secara
horisontal. masuk melewati bidang kontak antara lapisan tanah keras (bed rock) dan tanah residual di atasnya
(Suryolelono, 2000). Bencana tanah longsor di Desa Penusupan Kecarnatan Sruweng
Kabupaten Keburnen, juga didahului dengan munculnya mata air di kaki lereng (piping) yang dalam bahasa daerahnya
adalah "lernahe ngetuk" (Kedaulatan Rakyat, 8 Oktober, 2001),
dernikian pula bencana tanah longsor di daerah Kulonprogo, Purworejo dan tempat‑tempat
lainnya selalu didahului dengan tandatanda munculnya mata air di bagian kaki
lereng. Bencana di lokasi pernandian air panas di kaki Gunung Welirang, Pacet,
Mojokerto, baru‑baru ini merupakan satu contoh lagi terganggunya sistern
drainase yang ada. Sistern drainase (sungai) alarn yang ada tidak marnpu
mengalirkan debit aliran sungai pada saat itu, sehingga air mencari jalannya
sendiri dengan menggerus lapisan tanah yang merupakan endapan vulkanik. Tanah
yang telah bercarnpur air bergerak sangat cepat dikenal dengan lahar dingin
atau mud (earth) flow, mernpunyai
kernarnpuan merusak sangat dahsyat. Keruntuhankeruntuhan lereng yang dipicu
oleh hujan umurnnya disebabkan oleh buruknya sistern drainase yang ada, bahkan
tidak ada, sehingga air mencari jalannya sendiri. Munculnya aliran air
dernikian besar, sehingga sungai‑sungai (dr~inase) alarn tidak marnpu
melewatkan debit aliran, disebabkan oleh faktor‑faktor antara lain rusaknya
daerah penyangga hujan di sebelah hulu….
-- berlanjut ---
Sage Support Number
Call Toll-free Sage support Number 1855-548-3394 (US/Canada). By utilizing SAGE Tech Support client can get master exhortation and aides in improving ROI of their business by SAGE accounting software.
Our support team at QuickBooks Payroll Support Phone Number +1-855-548-3394 helps you deal with the issues that pop up in this software. When it comes to errors, there are so much that you may face.
QuickBooks payroll support Phone Number
QuickBooks payroll support Number
QuickBooks payroll tech support Number
24×7 QuickBooks Enterprise Support Phone Number 1855-548-3394 and get connected with the Best and the most experienced QuickBooks ProAdvisors of the USA.
QuickBooks Enterprise Support Phone Number
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
sage 50 live chat Support
liamulZmissn Josh Larson click
teethnementto