BAB II
TATA CARA PENDESKRIPSIAN
2.1 Jumlah Unsur Simetri
Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik pusat dari kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam penggambarannya.
Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah sebagai berikut:
¨ Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar kristal dengan poros pada sumbu utamanya.
¨ Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.
¨ Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal.
¨ Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya titik pusat kristal.
¨ Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.
2.2 Herman-Mauguin
Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara umum (simbol Internasional).
Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.
Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan cara penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.
1. Sistem Isometrik
¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4.
¨ Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111, apakah bernilai
3 atau 3.
¨ Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai
yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat
diantara dua buah sumbu utama.
2. Sistem Tetragonal
¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau
4.
¨ Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
¨ Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat
diantara dua sumbu utama lateral.
3. Sistem Hexagonal dan Trigonal
¨ Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.
¨ Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
¨ Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak
tepat diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.
4. Sistem Orthorhombik
Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari sumbu a, b, dan kemudian c.
5. Sistem Monoklin
Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6. Sistem Triklin
Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat simetri kristal.
Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m” (bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis dengan “m” saja.
Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian kristal :
¨ 6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
¨ 6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus terhadapnya.
¨ m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
2.3 Schoenflish
Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka yang masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada masing-masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik. Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik
Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.
¨ Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O (Octaheder)
¨ Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)
Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka diberi notasi huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.
¨ Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.
2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan
Triklin
Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan, ada 2
kemungkinan :
¨ Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)
¨ Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)
Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan
menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C
(dari bagian 1) dan ditulis agak kebawah.
Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan
menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka dinotasikan dengan huruf h.
¨ Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf v.
¨ Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.
Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish
No | Kelas Simetri | Notasi (Simbolisasi) |
1 | Hexotahedral | Oh |
2 | Ditetragonal Bipyramidal | D4h |
3 | Hexagonal Pyramidal | D6h |
4 | Trigonal Pyramidal | C3v |
5 | Rhombik Pyramidal | C2v |
6 | Rhombik Dipyramidal | C2h |
7 | Rhombik Disphenoidal | C2 |
8 | Domatic | Cv |
9 | Pinacoidal | C |
10 | Pedial | C |
4.2 Indeks Miller-Weiss
Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.
Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri. Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu kristal.
BAB III
SISTEM KRISTAL DAN DESKRIPSI
3.1 Sistem Isometrik
Gambar 3.1 Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut ancer regular, atau bahkan sering dikenal sebagai ancer kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, system Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, copper, pyrope, platinum, halite dan spinel.
4.2 Sistem Tetragonal
Gambar 3.2 Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, ancer ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Tetragonal ini adalah zircon, beryl, apatite, erionite dan nepheline.
4.2 Sistem Hexagonal
Gambar 3.3 Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, ancer Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Hexagonal ini adalah calcite, alunite, dolomite, siderite, dan smithsonite.
4.2 Sistem Trigonal
Gambar 3.4 Sistem Trigonal
Beberapa ahli memasukkan ancer ini kedalam system Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada ancer Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Trigonal ini adalah quartz, brulite, bentonite, gratonite, dan tourmaline.
4.2 Sistem Orthorhombik
Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga ancer Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Orthorhombik ini adalah brite, celestite, aragonite, cerussite, dan witherite.
4.2 Sistem Monoklin
Gambar 3.6 Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, kernite, malachite, colemanite dan ferberite.
4.2 Sistem Triklin
Gambar 3.7 Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.2 Kesimpulan
Dengan mempelajari dan melakukan praktikum tentang Kristalografi yang menjadi bagian dari praktikum Kristalografi dan Mineralogi. Dapat saya ambil kesimpulan bahwa betapa pentingnya untuk dapat mengenal, mengetahui dan menguasai ilmu tentang kristal dalam studi Geologi. Karena kristal sendiri adalah merupakan salah satu dasar yang paling penting dalam ilmu Geologi itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan oleh kristal menjadi salah satu dasar untuk mempelajari ilmu tentang mineral yang akan dipelajari pada tahap selanjutnya. Jika tidak menguasai dan mengenal tentang kristal, akan sangat sulit untuk selanjutnya memmahami Mineralogi, dan mineral itu sendiri adalah pembentuk batuan, sedangkan batuan itu adalah inti dari Geologi. Hal ini juga menyebabkan Kristalografi dan Mineralogi menjadi syarat untuk dapat melanjutkan studi pada mata kuliah dan praktikum Petrologi yang akan dipelajari selanjutnya.
Selama melakukan praktikum Kristalografi, praktikan diharapkan mampu mengenal, mengklasifikasi, mendeskripsi serta menggambar sketsa dari masing-masing ancer kristal yang ada, yaitu, Isometrik, Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin serta Triklin. Dan tentu saja praktikan diharapkan mampu untuk mengetahui defenisi dari kristal itu sendiri, proses-proses pembentukkannya, dan juga mengetahui ancer-unsur yang ada pada kristal itu sendiri. Seperti sumbu simetri, sudut simetri, dan juga bidang simetri. Selain itu praktikan juga harus mengetahui aplikasi dari Kristalografi itu sendiri, khususnya dibidang Geologi.
Dalam praktikum Kristalografi yang dilakukan dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi pada jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan. Digunakan proyeksi Orthogonal dalam melakukan penggambaran atau sketsa kristal. Metode penggambaran ini dilakukan dengan menggunakan persilangan sumbu yang akan menghasilkan sketsa tiga dimensi dari kristal. Penggambaran kristal dilakukan sesuai dengan hasil deskripsi kristal yang telah dilakukan. Pendeskripsian dilakukan dengan langkah-langkah menentukan jumlah ancer-unsur simetri, kelas simetri, simbolisasi Herman-Mauguin, simbolisasi Schoenflish, indeks Miller-Weiss serta menentukan nama bentuk kristal dan contoh-contoh mineralnya.
Setelah mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, diharapkan untuk kedepannya dalam mempelajari Mineralogi akan dapat lebih mudah dengan memiliki dasar-dasar yang telah didapat pada Kristalografi.
4.2 Saran
Selama mempelajari dan melakukan praktikum Kristalografi, telah banyak yang dapat kita pelajari. Baik dalam hal ilmu tentang kristal itu sendiri pada khususnya serta tentang aplikasi dan manfaatnya dalam bidang Geologi dan juga dikehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan praktikum Kristalografi, dapat kita sadari bersama ada beberapa kekurangan yang cukup menghambat berjalannya proses praktikum. Salah satu yang paling dapat dirasakan adalah kurangnya jumlah sampel (contoh) kristal yang ada dilaboratorium Kristalografi dan Mineralogi. Maka diharapkan agar kedepannya kekurangan tersebut dapat ditutupi sehingga proses praktikum yang dilakukan dapat berjalan ancer. Dan satu hal lagi yang juga perlu diperhatikan adalah waktu praktikum yang kadang tidak tepat pada waktunya. Diharapkan agar untuk kedepannya kita dapat sama-sama untuk menjaga hal tersebut agar tidak terulang atau paling tidak dikurangi. Dengan begitu diharapkan praktikum yang dilakukan dapat lebih baik lagi.